Sabtu, 10 Desember 2011

PELAYANAN PUBLIK

SEWAKA DHARMA
Landasan Ideal Pelayanan Publik

I Wayan Sukarma


1.      Pendahuluan
Modernisasi di Indonesia lebih dekat disebut pembangunan. Pembangunan merupakan jalan yang dipilih para pemimpin bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat yang makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran (Aziz, 2003:109). Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan ini kemudian, modernisasi diartikan sebagai perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan tradisional atau masyarakat pramodern menuju kepada suatu masyarakat modern. Dengan demikian, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi dan organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis. Dalam hal ini, modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang terarah (direct change) didasarkan pada suatu perencanaan sosial (social planning).
Ciri-ciri modernisasi ditunjukkan, antara lain oleh cara berpikir ilmiah yang melembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat. Sistem administrasi negara yang baik dan yang benar-benar mewujudkan birokrasi. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga. Penciptaan iklim yang menyenangkan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. Tingkat organisasi yang tinggi, walaupun pada satu pihak berarti disiplin, sedangkan pada lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan. Berikutnya, modernisasi memiliki ciri-ciri sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial (Sardjono, 2004:38). Ini menegaskan bahwa birokrasi mempunyai peran strategis dalam perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.
Budaya modern, bahkan telah mendorong manusia modern membangun identitasnya melalui partisipasi sosial yang lebih intens. Manusia modern ditandai dengan munculnya masyarakat berorganisasi (organizational society) dan masyarakat birokrasi (bureaucratic society). Kemunculan masyarakat berorganisasi dan birokrasi ini pada dasarnya seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak asasi, hak-hak demokrasi, dan kebebasan individu. Peran pemerintah sebagai agen perubahan (the agent of change) sesungguhnya telah berpartisipasi dalam membangun masyarakat seperti ini. Oleh karena itu, mau tidak mau, modernisasi selalu berhubungan erat dengan kinerja pemerintah itu sendiri. Hubungan antara masyarakat modern dan pemerintah ditunjukkan Sutopo dan Suryanto (2006:3) sebagai berikut.
(a)      Manusia modern yang semakin cerdas menuntut lebih banyak dari pemerintahnya. Oleh karena itu, juga pemerintah harus berbuat lebih banyak bagi warganya.
(b)     Tingkat pendidikan yang semakin tinggi mengakibatkan masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, juga semakin pintar dalam menuntut hak-haknya, meskipun terkadang tidak diimbangi dengan meningkatnya kesadaran terhadap kewajibannya kepada negara, bangsa, dan pemerintah.
(c)      Kebudayaan yang dicapai semakin lama semakin tinggi. Dalam arti bahwa kesadaran masyarakat terhadap norma-norma kemanusiaan, nilai-nilai sosial, harkat, dan martabatnya, juga semakin tinggi. Ini memberikan tuntutan agar kepribadian dan hak-hak hidupnya dihargai, bukan saja oleh orang lain, tetapi juga oleh pemerintah.
Sebelum budaya modernitas terlalu jauh mengasingkan masyarakat ke dalam suasana ketakberartian pribadi (Anthony Giddens) dan semakin melemahnya kesadaran kolektif (Emile Durkheim) kiranya, diperlukan semacam antisipasi budaya, yaitu upaya penyelarasan perkembangan budaya modernitas dengan budaya tradisional. Selain itu, juga antisipasi budaya ini diperlukan karena budaya modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis (Karl Marx) serta kota dan ekonomi uang (George Simmel) (Ritzer & Goodman, 2003:551). Kota adalah tempat budaya modernitas dipusatkan atau diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebabkan penyebaran budaya modernitas dan perluasannya (Ritzer & Goodman, 2003:551). Atisipasi budaya sebagai upaya penyelarasan budaya yang ditawarkan pada prinsipnya telah dilaksanakan Pemerintah Kota Denpasar melalui penggunaan Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik.
Pengalaman mengenai pelayanan Sewaka Dharma mungkin telah memberikan begitu banyak pengetahuan deskriptif-empiris untuk memperkaya pemahaman dalam rangka pengabdian. Akan tetapi, juga pengetahuan analitis-konseptual tentang Sewaka Dharma kiranya diperlukan untuk membangun pengertian tentang pelayanan yang dapat memperkuat komitmen pada pengabdian itu sendiri. Sewaka Dharma adalah konsep pelayanan Hindu yang menekankan pada keselarasan pikiran, ucapan, dan tindakan pelayanan demi harmoni nilai-nilai kemanusiaan, kealaman, dan ketuhanan. Dharma adalah karma yang dalam kehidupan sehari-hari dipahami menjadi kewajiban. Kewajiban inilah bhakti, yakni pelayanan kepada sesama, alam, dan Tuhan. Pada prinsipnya tawaran ini sejalan dengan fungsi hakiki pemerintah, yaitu pelayanan (service) membuahkan keadilan, pemberdayaan (empowerment) mendorong kemandirian, dan pembangunan (development) menciptakan kesejahteraan.
Dalam hal ini, Sewaka Dharma merupakan kearifan khas Hinduisme yang diapresiasi Pemerintah Kota Denpasar menjadi idealisme pelayanan. Hal ini sejalan dengan pandangan Ishomudin (2002:36) bahwa pada zaman modern agama diharapkan dapat berperan lebih besar dalam pembangunan, baik dalam membangun sistem nilai, motivasi, pedoman hidup, maupun pembentuk kata hati. Agama merupakan sumber nilai yang pertama dan utama dalam rangka membangun spirit pelayanan khususnya bagi aparatur pemerintah. Oleh karena itu, kehadiran Sewaka Dharma dalam ranah praksis pelayanan Pemerintah Kota Denpasar merupakan undangan akademis yang menarik sekaligus menantang untuk dikaji. Mengingat kehadiran spirit agama di bumi menjadi tema penting dalam studi-studi agama kontemporer, apalagi Pemerintah Kota Denpasar merupakan satu-satunya pemerintah yang melaksanakan pelayanan publik berdasarkan Sewaka Dharma. Ini merupakan kreativitas asli (genuine creativity) Pemerintah Kota Denpasar sesuai dengan visi dan misi periode kepemimpinan Rai Mantra-Jaya Negara sehingga layak mendapatkan apresiasi akademis. Apresiasi ini meliputi, penjernihan konsep Sewaka Dharma, kewajiban pemerintah menurut Arthasastra, pelayanan Astabrata, menjadi Sang Sewaka Dharma, dan pengendalian diri dalam Sewaka Dharma.

2.      Penjernihan Konsep Sewaka Dharma
Sewaka Dharma merupakan konsep yang terdiri atas dua unsur, yaitu sewaka dan dharma. Pertama, kata “sevaka” (baca: sewaka) dalam Kamus Sansekerta-Indonesia (Astra, dkk., 1986:530) berarti menempati, menghuni, mempraktikkan, melayani, menghormati, pelayanan, dan menyembah. Sewaka merupakan terminologi penting dalam konsep bhakti. Disebutkan dalam Sabdakalpadruma (III.463b) bahwa bhakti dinyatakan sebagai vibagha (pembagian atau pemisahan antara penyembah dan yang disembah) dan seva (pemujaan atau pelayanan). Begitu juga, dalam Bhagavata Purana (VII.5.23), juga terdapat istilah “pada sevanam” yang berarti pelayanan kepada Tuhan termasuk melayani makhluk ciptaanNya. Kemudian, kata “sevaka” ini mengalami perluasan makna dan menjadi salah satu ide penting dalam pemikiran Ramakrishna Paramahamsa, guru suci Svami Vivekananda. Ramakrishna Paramahamsa mengajarkan keutamaan pelayanan “manawa sewa madhawa sewa” bahwa pelayanan kepada sesama manusia (manawa) yang sama artinya dengan pelayanan kepada Tuhan (madhawa). Dengan demikian, sevaka merupakan prinsip utama bhakti yang kemudian, diperluas maknanya menjadi prinsip kemanusiaan universal.
Lain daripada itu, juga kata “sewaka ditemukan dalam kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna. Dalam Kakawin Nitisastra (V.1) disebutkan, “Taki-takining sewaka guna widya” (‘seorang pembelajar wajib mengabdikan diri kepada pengetahuan dan keutamaan’). Kemudian, dalam lontar Silakramaning Aguron-guron, juga ditemukan beberapa kalimat yang menyebutkan, “Sang Sewaka Dharma”, antara lain “... Nihan silakramaning agurwan-gurwan, haywa tan bhakti ing guru kita sang sewaka dharma...” (‘inilah aturan berguru, janganlah engkau yang menuntut ilmu tidak berbhakti kepada guru...’). Dalam tradisi aguron-guron, kewajiban seorang murid adalah melayani sang guru sebagai wujud bhakti. Dengan demikian, kata “sewaka dalam kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna juga mengandung arti yang lebih kurang sama dengan arti dalam bahasa Sansekerta, yakni sewaka berarti pelayanan atau pengabdian.
Kemudian unsur yang kedua, kata “dharma memiliki arti dan makna yang luas dan mendalam. Dharma berarti (1) kebajikan, kesucian, kebenaran; (2) kewajiban, hukum (Sura, dkk., 2002:29). Pengertian pertama merujuk pada esensi dharma, sedangkan pengertian kedua merujuk pada substansi dharma. Keduanya menegaskan bahwa dharma adalah prinsip tertinggi dalam ajaran agama Hindu. Dharma merupakan prinsip kehidupan yang terus-menerus hadir secara konsisten dan konsekuen sepanjang garis eksistensi manusia. Dharma menentukan jalan hidup, menetapkan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban, serta mengarahkan manusia kepada tujuan tertinggi dalam kehidupannya. Di sini, dharma adalah ikatan yang membebaskan. Ini merupakan kebijaksanaan mahatinggi dalam upanishad bahwa melaksanakan kewajiban, aturan, hukum, baik alam, sosial maupun moral, akan menjauhkan manusia dari rasa ketakutan yang membelenggu jiwa. Dalam ranah spiritualitas, menghilangkan rasa takut adalah mutlak dilakuklan untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi (Rama, 2002). Oleh karena itu, mereka yang selalu berjalan di jalan dharma, segala tujuan hidupnya pasti akan tercapai. Demikian juga berlaku sebaliknya, siapa saja meninggalkan jalan dharma, malapetakalah yang akan diperoleh. Dalam konteks ini, Hindu mengajarkan sebuah semboyan “dharma raksatah, dharma raksitah”, barang siapa yang menjaga tegaknya dharma, juga dharma yang akan menjaganya.
Sementara itu, dalam ranah praksis kehidupan, dharma berarti kewajiban-kewajiban, hukum-hukum, aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang mengejawantahkan kebenaran, kesucian, dan kebajikan. Dharma bagi manusia, baik sebagai individu maupun sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dharma agama dan dharma negara. Dharma agama bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk mendalami, menghayati, dan melaksanakan ajaran agama yang dianut dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam termasuk lingkungan. Sementara itu, dharma negara bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk turut serta menyukseskan pembangunan nasional yang dilaksanakan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan tersebut sewaka dharma mengandung arti bahwa pelayanan (sewaka) adalah kewajiban (dharma). Kewajiban dalam pelayanan ini melekat pada setiap asrama yang sedang dijalani manusia dalam kehidupannya. Demikian juga dalam setiap status ataupun profesi (warna) yang melekat dalam diri setiap insan, baik sebagai individu maupun sosial, kewajiban melaksanakan pelayanan (sewaka dharma) selalu melekat kepadanya. Baik itu kewajiban melayani Tuhan, melayani sesama manusia, maupun melayani alam dan lingkungannya. Ini merupakan spirit humanisme Hindu yang perlu-penting ditanamkan dalam diri setiap insan demi tercapainya tujuan kehidupan tertinggi (moksartham jagadhita ya ca iti dharma). Jadi, Sewaka dharma berarti bahwa pelayanan (sewaka) adalah kewajiban (dharma).

3.      Kewajiban Pemerintah menurut Arthasastra
Pengamalan Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik dimulai dengan kesadaran tentang kewajiban pemerintah. Tujuan utama sistem pemerintahan, antara lain menciptakan kesejahteraan. Berkaitan dengan tujuan ini, Arthasatra menawarkan beberapa prinsip bagi penyelenggara pemerintahan, antara lain (1) ketertiban hukum dan kinerja administratif; (2) adanya azas penghematan keuangan negara; (3) anggaran untuk belanja publik misalnya, membangun infrastruktur harus lebih besar dari anggaran lainnya; dan (4) sistem pembagian pendapatan berjenjang bagi para aparatur negara. Akan tetapi, prinsip kesejahteraan rakyat merupakan yang terpenting menurut Arthasastra (Radendra, 2005).
Keseluruhan tugas dan fungsi pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan merupakan wujud pelayanan negara kepada rakyat. Seluruh tugas ini hanya mungkin dilakukan, bila didukung oleh struktur yang efektif dan efisien, kultur yang profesional, transparan, dan akuntabel, serta aparatur yang memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi. Di sinilah kehadiran spirit Sewaka Dharma memegang peran penting untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa sebagai syarat keberhasilan negara dalam mengemban kewajibannya. Pemerintah inilah yang mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, yaitu mengatur dan melayani. Tugas dan fungsi pelayanan lebih menekankan pada upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik. Sementara itu, tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan (power) yang melekat pada posisi jabatan birokrasi tertentu. Dengan demikian, suatu pemerintahan dikatakan baik dan berhasil, bila sanggup-mampu melindungi, memberdayakan, dan menyejahterakan rakyat.
Pandangan Arthasastra tersebut, juga didukung Dharma Sasana dan Niti Raja Sasana. Dharma Sasana mengajarkan enam belas brata sebagai karakteristik pemimpin yang mumpuni. Demikian juga Niti Raja Sasana mengajarkan kewajiban pemimpin sebagai penguasa tunggal dunia (ratu), yaitu wijayasastra, sopadina, dan nagarajnana. Wijayasastra berarti raja yang kuat berbuat kebajikan, menerapkan bantuan yang sama kepada rakyat, menghilangkan ketakutan, menghilangkan angkara murka, berkata sopan dan manis, memberantas kebodohan di desa-desa, disegani oleh pendeta utama, belas kasih kepada orang sengsara, ikhlas memberi, tahu dengan tanggung jawab, itulah kewajiban pemegang pemerintahan. Sopadina berarti raja pantas berbudi suci, tidak silau dengan kekayaan, bersedekah tidak pilih kasih, terkenal di seluruh negeri. Nagarajnana berarti membuat keselamatan dunia, memperbaiki rumah-rumah yang rusak, jalan, dan jembatan, serta meringankan penderitaan rakyat.
Pada intinya, teks-teks tersebut menegaskan bahwa kewajiban pemerintah adalah mensejahterakan rakyat. Bila dirujuk lebih jauh bahwa teks-teks ini telah mengapresiasi negara kesejahteraan (welfare state), sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini memberi kejelasan bahwa teks-teks tersebut dapat diimplementasikan dalam sistem pemerintahan kekinian dalam rangka membangun negara kesejahteraan. Implementasinya dapat diwujudkan dalam bentuk pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan.
4.      Pelayanan Astabrata
Pelayanan publik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun negara kesejahteraan. Berkaitan dengan Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik di Kota Denpasar ditawarkan karakteristik pelayanan Asta Brata. Mengingat Asta Brata sebagai model pelayanan ideal Hindu mencakup aspek-aspek, antara lain sasaran, tujuan, sikap, dan perilaku pelayanan. Adapun karakteristik pelayanan Asta Brata dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
(1)   Indra Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Indra, yaitu dewa yang menurunkan hujan ke bumi untuk kesejahteraan manusia. Dalam konteks ini, tujuan pelayanan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
(2)   Surya Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Surya yang memberikan penerangan dan kehidupan kepada alam semesta dan segala isinya. Dalam konteks ini, pelayanan harus bersifat mendidik, mencerahi, dan akhirnya mampu memberdayakan masyarakat.
(3)   Bayu Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Bayu. Dia memberikan kehidupan dalam wujud nafas, memenuhi ruang dan tidak menyisakan satupun ruang yang tidak terjamah olehnya. Hal ini menegaskan bahwa pelayanan harus dekat, murah, cepat, dan akurat, serta menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
(4)   Yama Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Yama, yaitu dewa yang menegakkan keadilan di bumi. Dalam konteks ini, pelayanan harus dilaksanakan secara adil, merata, dan tidak membedakan golongan manapun.
(5)   Baruna (Waruna) Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Baruna, yaitu penguasa lautan sekaligus pelebur kekotoran manusia.  Dalam konteks ini, pelayan harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas seperti lautan sehingga mampu mengatasi permasalahan di masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan, bila pelayanan didukung oleh struktur, kultur, dan aparatur yang kredibel, kapabel, dan berkompeten.
(6)   Chandra Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Candra, yaitu sifat-sifat bulan yang sejuk dan menyenangkan. Dalam konteks ini, pelayanan harus dilakukan dengan senyum, ramah-tamah, dan nyaman.
(7)   Agni Brata, menguraikan bahwa pelayan hendaknya meneladai sifat Hyang Agni yang selalu menyala dan berkobar. Sifat api yang membakar dimaknai sebagai kekuatan untuk menumpas segala kejahatan yang dapat merongrong kewibawaan negara. Oleh karena itu, pelayanan yang baik harus dilakukan dengan bersemangat dan mampu melenyapkan segala masalah yang dihadapi masyarakat.
(8)   Perthiwi atau Kuwera Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Perthiwi atau Kuwera, yakni  dewa-dewi penganugerah kekayaan dan kemakmuran bagi manusia, juga simbol dari kekayaan itu sendiri. Dalam konteks ini, pelayan masyarakat harus selalu tampil elegan dan berwibawa.

5.      Menjadi Sang Sewaka Dharma
Delapan karakteristik pelayanan Asta Brata tersebut merupakan fondasi untuk membangun karakter Sang Sewaka Dharma, yakni pelayan sejati. Dalam hal ini,  Sang Sewaka Dharma merupakan perpaduan yang sempurna antara prinsip hidup, kompetensi, dan perilaku dalam pelayanan. Sebagian merupakan faktor bawaan (karma wasana), tetapi sebagian besar lainnya dibangun melalui proses pembelajaran (sewaka guna widya). Oleh karena itu, Hindu mengajarkan proses pembelajaran seumur hidup untuk mengantarkan manusia pada kedewasaan dan kematangan diri. Hanya manusia dewasa dan matanglah yang bisa menjadikan dirinya Sang Sewaka Dharma.  
Prinsip hidup Sang Sewaka Dharma dilandasi ajaran Catur Marga Yoga, yaitu karma, bhakti, jnana, dan raja. Karma Yoga meletakkan prinsip bahwa manusia harus bekerja sesuai dengan swadharma yang ditetapkan, tanpa terikat dengan hasil kerja. Untuk menghindari keterikatan ini maka Bhakti Yoga mengajarkan prinsip kerja sebagai persembahan. Menjadikan kerja sebagai persembahan hanya dapat diwujudkan oleh orang-orang yang telah mencapai kesadaran rohani (Jnana Yoga), yakni manusia yang teguh dalam iman (sraddha), tidak terbelenggu oleh nafsu-nafsu indria, tanpa keragu-raguan, dan tidak terikat oleh hasil kerja. Manusia yang telah mencapai pengetahuan rohani inilah disebut Jiwanmukta, yang telah terbebas dari semua ikatan kerja dan hasil kerja. Seluruh hidupnya diabdikan hanya untuk mengupayakan kerahayuan jagat. Demikianlah manusia yang telah mencapai kesadaran kerja ‘karma dalam akarma, dan akarma dalam karma’ adalah sang pelayan sejati bagi masyarakat dan kehidupan. Prinsip hidup ini hendaknya selalu dipegang dan dilaksanakan oleh Sang Sewaka Dharma.
Sementara itu, kompetensi Sang Sewaka Dharma, meliputi Subuddhi, Susatya, Sudharma, Sukarya, dan Subhakti. Subuddhi, bahwa Sang Sewaka Dharma yang berbudi luhur dan berakhlak mulia mewujudkan perilaku pelayanan yang ramah, sopan, tidak menyakiti perasaan pelanggan, dan perilaku-perilaku baik lainnya yang berujung pada kepuasan konsumen. Susatya, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah orang yang taat kepada aturan, disiplin, jujur, dapat dipercaya, mau bekerjasama dalam kebaikan, serta mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kualitas yang dijanjikan. Sudharma, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah orang yang mengerti tugas dan kewajibannya, mau melaksanakannya dengan baik, serta memiliki kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut. Sukarya, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah seorang pekerja keras, tangguh, dan bermental kuat dalam menghadapi berbagai tipe konsumen dan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam proses pelayanan. Subhakti, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah pelayan sejati yang telah memiliki kesadaran rohani untuk menjadikan pelayanan sebagai persembahan kepada Tuhan sehingga segala yang dilaksanakan terbebas dari pamrih pribadi dan dengan demikian membebaskan diri dari ikatan kerja.
Sang Sewaka Dharma juga ditandai dengan kematangan dan kedewasaan dalam perilaku pelayanan. Dalam hal ini, lima pilar kemanusiaan Hindu, yaitu dharma, satya, ahimsa, prema, dan santih. Dharma menjadi dasar dalam bertindak, yakni melaksanakan tugas dan kewajiban sendiri dengan sebaik-baiknya (karma), tanpa terikat pada hasilnya (akarma). Dari dharma ini lahir perilaku satya, yakni jujur dan setia dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Dengan demikian, perilaku pelayanan yang dapat dipercaya, tidak berbelit-belit, tidak meragukan bagi pelanggan, dan prosedur pelayanan yang pasti merupakan perilaku yang berbasis satya. Sang Sewaka Dharma juga harus menunjukkan perilaku yang penuh kasih (prema), yaitu tidak menyakiti fisik dan perasaan orang yang (ahimsa). Dalam konsep pelayanan prima, perilaku ini sering disebut “melayani dengan hati”. Sementara itu, perilaku santih (damai) mengandaikan bahwa seluruh proses pelayanan harus mampu menciptakan kedamaian, baik dalam diri sendiri maupun bagi pelanggan. Di sinilah pentingnya Sang Sewaka Dharma memahami prinsip-prinsip komunikasi yang menyejukkan, sopan santun, dan keramahtamahan. Kelima pilar ini harus diinternalisasikan dalam diri dan kemudian menjadi basis perilaku pelayanan prima.

6.      Pengedalian Diri dalam Sewaka Dharma
Sistem birokrasi dibangun oleh struktur, kultur, dan aparatur. Ketiga elemen ini menentukan keberhasilan sistem tersebut dalam menjalankan fungsinya, baik berupa pelayanan, pemberdayaan, maupun pembangunan. Fungsi-fungsi ini pada dasarnya diarahkan untuk mewujudkan tujuan organisasi yang secara inheren berarti mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketiga elemen inilah pengendalian diri dalam artian wawasan etis mendapatkan makna pentingnya sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan sistem sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pengendalian diri dalam Sewaka Dharma pada dasarnya merujuk pada dua aspek, yaitu pengendalian diri dalam birokrasi dan pengendalian diri dalam pelayanan. Pengendalian diri dalam birokrasi diarahkan pada tujuan terciptanya struktur pemerintahan yang kuat. Kewajiban adalah kesadaran moral yang di dalamnya pengendalian diri sangat diperlukan. Artinya, kehendak bebas dan kebebasan individu – meskipun itu sifatnya hakiki dalam diri setiap manusia – tetapi sebagai seorang aparatur kebebasan ini hendaknya dikendalikan agar tidak merusak tatanan organisasi dan itu bertentangan dengan amanat swadharma. Menurut pandangan Hindu, kedudukan manusia dalam sistem sosialnya diatur menurut catur warna dan catur asrama. Pada masing-masing warna ini kepadanya melekat kewajiban-kewajiban (swadharma) sebagai kebenaran (dharma) yang mesti ditegakkan. Kalau dharma diyakini sebagai dasar dari semua upaya manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, maka seharusnya pengendalian diri berupa ketundukan pada aturan-aturan moral dan kewajiban juga wajib dilaksanakan karena itu akan membawa pembebasan.
Sementara itu, pengendalian diri dalam pelayanan publik dilakukan dengan menginternalisasikan nilai-nilai etika Hindu, seperti Tri Kaya Parisudha; Catur Paramita; Panca Yama dan Nyama Brata. Tri Kaya Parisudha mengutamakan pengendalian pikiran (manah), perkataan (wak), dan perbuatan (kaya) dalam konteks pelayanan. Catur Paramita mengutamakan persahabatan dan persaudaraan (maitri); cinta kasih (karuna); menarik dan simpatik (mudita); dan sifat mawas diri dan pandai menempatkan diri (upeksa) dalam memberikan pelayanan. Panca Yama Brata adalah pengendalian diri secara internal, meliputi kebersihan lahir dan kesucian batin (sauca); mengendalikan emosi agar selalu tenang, arif, dan damai (santosa); mengendalikan diri dari perilaku yang bertentangan dengan dharma (tapa); tidak berhenti meningkatkan kualitas pengetahuan melalui pembelajaran terus menerus (swadhyaya); dan pelayanan yang dipersembahkan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan (Iswarapranidana). Selanjutnya, Sang Sewaka Dharma harus bisa menjaga perilakunya dalam pelayanan, meliputi (a) tidak menyakiti perasaan ataupun fisik orang yang dilayani (ahimsa); (b) setia pada kebenaran (satya); (c) tidak mengambil keuntungan pribadi dari pelayanan yang diberikan (asteya); (d) tidak mengumbar nafsu duniawi (brahmacarya); dan (e) perilaku hidup sederhana dan tidak serakah (aparigraha).

7.      Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Sewaka Dharma merupakan landasan ideal pelayanan Hindu. Idealisme Sewaka Dharma dibangun dengan menempatkan keseimbangan antara intelektual, emosional, dan spiritual dalam mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Karakteristik pelayanan Asta Brata yang menginternalisasikan sifat dewata dalam diri menunjukkan bahwa konsep Sewaka Dharma memiliki kedalaman nilai spiritual. Hal ini ditegaskan dengan karakter Sang Sewaka Dharma sebagai kesatuan antara prinsip hidup, kompetensi, dan sikap dalam pelayanan. Selanjutnya, pengendalian diri menjadi kontrol moral dalam pelayanan publik sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan prima. Dengan demikian, Sewaka Dharma mendapatkan arti dan makna pentingnya sebagai landasan ideal pelayanan publik di Kota Denpasar.

Daftar Bacaan
Abraham, Francis M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Aruan. Reytman. 2004. Pilar Perjuangan Hak Pekerja. Artikel. Dalam Informasi Hukum Vol. 4 Tahun VI. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Astana, Made & C.S. Anomdiputro (penerjemah). 2005. Kautilya (Canakya) Arthasastra (Masalah Politik, Ekonomi, Hukum, Budaya dsb.). Surabaya: Paramita.

Astra, I Gede, dkk., 1986. Kamus Sansekerta-Indonesia. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Tk. I Bali.

Aziz, Abdul. 2003. Esai-esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka Jakarta.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fernanda, Desi. 2006. Etika Organisasi Pemerintah. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Goetsch, David L, dan S.B. Davis. 1994. Dimensi Kualitas Pelayanan. Jakarta: Gramedia Pustaka,
Gunadha, Ida Bagus. 2003. Pengantar: Studies Of Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.

Indrawijaya, Adam I. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru.

Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kadjeng, I Nyoman. 2005. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Kusuma, I Nyoman Weda. 2006. Naskah-Naskah Karya I Gusti Ngurah Made Agung Pemimpin Perang Puputan Badung Tahun 1906 (Transliterasi dan Terjemahan). Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar.

Ndraha, Taliziduhu, 1990. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta. Bumi Aksara.

Nottingham, Elizabeth K. 2003. Agama Dan masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:PT.Elek Media Komputindo.
Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pusat Bahasa P & K. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Radendra S. Ida Bagus. 2005. Ekonomi dan Politik Dalam Arthasastra. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma. 

Rao, M.V.Krishna. 2003. Studies In Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Suamba, Ida Bagus Putu (ed). 1996. Yajna: Basis Kehidupan (Sebuah Canang Sari). Denpasar: Warta Hindu Dharma.

Sudharta, Tjok. Rai dan Gde Pudja MA. 2000. Manawa Dharmasastra: Kompedium Hukum Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.

Sukarma, I Wayan. 2005. “Pengendalian Diri dan Menjadi Diri Sendiri”. Artikel. Diterbitkan dalam Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia “Widya Wretta”. Denpasar.

Supranto, Johannes. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Rineka Cipta, Jakarta.

Sura, I Gede. 1985. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti. 

Sura, I Gde, dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.

Sutopo dan Adi Suryanto. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

Thoha, Miftah, 1995. Kepemimpinan dalam Manajemen Suatu Pendekatan Perilaku.Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yasa, I Wayan Suka, dkk., 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.




Senin, 28 November 2011

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HINDU INDONESIA DENPASAR FILSAFAT HINDU OLEH I WAYAN SUKARMA HINDU: ILMU, FILSAFAT, TEOLOGI, DAN AGAMA FILSAFAT HINDU: FILSAFAT SEBAGAI METODE MEMPELAJARI HINDU (MELIHAT HINDU DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT). TEOLOGI HINDU: MEMPERTAHANKAN PANDANGAN TENTANG TUHAN BERDASARKAN AGAMA, WAHYU, DAN KITAB SUCI HINDU. AGAMA HINDU: MELIHAT HINDU SEBAGAI AGAMA, MEMPELAJARI HINDU SEBAGAI DISIPLIN PRAKTIS UNTUK MENGABDIKAN DIRI. ANTARA FILSAFAT DAN AGAMA PERBEDAAN ANTARA AGAMA DAN FILSAFAT TIDAK TERLETAK PADA BIDANGNYA, TETAPI PADA CARANYA MENYELIDIKI BIDANG ITU. FILSAFAT BERARTI MEMIKIR, SEDANGKAN AGAMA BERARTI MENGABDIKAN DIRI. FILSAFAT MENUNTUT PENGETAHUAN UNTUK MEMAHAMI, SEDANGKAN AGAMA MENUNTUT PENGETAHUAN UNTUK BERIBADAT. AGAMA BERHUBUNGAN DENGAN HATI, SEDANGKAN FILSAFAT DENGAN PIKIRAN YANG TENANG. FILSAFAT TENANG DALAM PEKERJAANNYA, TETAPI MENGERUHKAN PIKIRAN; SEDANGKAN AGAMA PENUH DENGAN SEMANGAT PENGABADIAN, TETAPI MENENANGKAN JIWA PEMELUKNYA. STUDI FILSAFAT HINDU STUDI FILSAFAT: KAJIAN TENTANG PERTIMBANGAN PEMIKIRAN FILOSOFIS YANG BERSIFAT SISTEMATIS, KRITIS, RADIKAL, SPEKULATIF, BAIK PEMIKIRAN ZAMAN KUNO MAUPUN MODERN. FILSAFAT HINDU MEMILIKI TIGA HAKIKAT KAJIAN: SAT-CIT-ANANDA (KEBENARAN, KEBIJAKSANAAN, DAN KEBAHAGAIAAN). MEMAHAMI DAN MENDALAMI TIGA HAKIKAT ITULAH TUJUAN AKHIR DARI MATA KULIAH FILSAFAT HINDU. KEMUDIAN, MENEMUKAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI. FILSAFAT: HINDU DAN INDIA DALAM STUDI FILSAFAT ADA KERANCUAN PENGGUNAAN ISTILAH “FILSAFAT INDIA” DAN “FILSAFAT HINDU”. FILSAFAT INDIA ADALAH SELURUH PERTIMBANGAN PEMIKIRAN FILOSOFIS INDIA, BAIK HINDU, ISLAM, MAUPUN KRISTEN; BAIK KUNO MAUPUN MODERN; DAN, BAIK TEIS MAUPUN ATEIS. FILSAFAT HINDU ADALAH SELURUH PERTIMBANGAN PEMIKIRAN FILOSOFIS HINDU YANG HIDUP DAN BERKEMBANG DI INDIA. FILSAFAT HINDU MELIPUTI PEMIKIRAN FILOSOFIS SEJAK ZAMAN VEDA HINGA ZAMAN SKOLASTIK, BAHKAN ZAMAN INDIA MODERN. PEMIKIRAN FILOSOFIS HINDU DI INDIA ZAMAN VEDA (1500-600 SM): SAMHITA, BRAHMANA, DAN UPANISAD. ZAMAN WIRACARITA (600-200 M): FILSAFAT BUDDHA DAN BHAGAVADGITA. ZAMAN SUTRA-SUTRA (200 M - DST.): NYAYA, VAISESIKA, SANKHYA, YOGA, MIMAMSA, DAN VEDANTA. ZAMAN SKOLASTIK (SEJAK 200 M): ADVAITA, VISISTADVAITA, DAN DVAITA. FILSAFAT INDIA ABAD-ABAD TERAKHIR (FILSAFAT INDIA MODERN). SARVA DARSANA: SISTEM FILSAFAT HINDU SARVA DARSANA: ASTIKA (ORTODOKS) DAN NASTIKA (HETERODOKS). ASTIKA SISTEM FILSAFAT YANG MENGAKUI OTORITAS VEDA; NASTIKA TIDAK MENGAKUI OTORITAS VEDA. ASTIKA: NYAYA, VAISESIKA, SANKHYA, YOGA, MIMAMSA, DAN VEDANTA (SAD DARSANA). NASTIKA: JAINA, CARVAKA, DAN BUDDHA (TRI DARSANA). ASTIKA DAN NASTIKA DISEBUT NAVA DARSANA. LINGKUP KULIAH FILSAFAT HINDU SAD DARSANA: SANKHYA, YOGA, NYAYA, VAISESIKA, MIMAMSA, DAN VEDANTA. PEMIKIRAN ZAMAN SKOLASTIK: DVAITA, VISISTADVAITA, DAN ADVAITA. TRI DARSANA: BUDDHA, CARVAKA, DAN JAINA. PERBANDINGAN ANTARA FILSAFAT TIMUR (HINDU) DAN BARAT. TUJUAN MEMAHAMI DINAMIKA DAN DIALEKTIKA PEMIKIRAN FILOSOFIS DALAM SAD DARSANA DAN ZAMAN SKOLASTIK. MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MEMBANDINGAN ANTARA PEMIKIRIAN FILOSOFIS TIMUR (HINDU) DAN BARAT. MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MENULIS TENTANG TEMA-TEMA PEMIKIRAN FILOSOFIS DALAM HINDUISME. MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MENEMUKAN RELEVANSI DAN KEGUNAAN PEMAHAMAN TENTANG PEMIKIRAN FILOSOFIS HINDU DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI.

Jumat, 07 Oktober 2011

MULTIKULTURALISME

MULTIKULTURALISME DAN KESATUAN INDONESIA I Wayan Sukarma Abstrak Perbedaan merupakan keniscayaan yang mesti dan harus diterima oleh semua orang dalam kehidupannya. Fakta menunjukkan bahwa manusia memang makhluk unik dan khas. Keunikan dan kekhasan ini dalam konteks bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat akan menimbulkan keragaman tatanan sosial dan kebudayaan. Keragaman ini seperti ditunjukkan oleh Indonesia yang merupakan negara-bangsa terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa. Keragaman ini perlu dikelola secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu bentuk tatanan nilai yang dapat dibagi bersama. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat Indonesia sungguh merupakan tantangan yang menuntut upaya sungguh-sungguh dalam bentuk transformasi kesadaran multikultural. Suatu kesadaran yang diarahkan kepada identitas nasional, integrasi nasional, dan kesadaran menempatkan agama untuk kesatuan bangsa. Dengan demikian, kesatuan Indonesia dapat ditegakan sejalan dengan teks ideal Bhinneka Tunggal Ika. Kata Kunci: Multikulturalisme dan Kesatuan Indonesia. 1. Pendahuluan Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal Ika. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding dengan musibah sehingga kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi pekerjaan rumah daripada berkah. Fenomena ini terlihat dari perkembangan sejarah Indonesia, seperti semakin kuatnya etnosenterisme. Hal ini dapat dilihat dari munculnya konflik antaretnik di berbagai daerah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh perkembangan etnosentrisme ke arah etnonasiolisme yang mendorong lahirnya gerakan sparatisme. Otonomi daerah yang diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut, ternyata dominan berubah menjadi hiperotomoni sehingga memunculkan proses politik kedaerahan (Piliang, 2003). Ini merupakan fenomena yang menandakan adanya masalah serius dalam mengelola kepluralistikan di Indonesia sehingga semboyan Bhineka Tunggal Ika semakin jauh dari cita-cita kesatuan Indonesia. Begitu juga krisis yang melanda bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi dan skala merupakan cobaan moralitas dan kemanusiaan yang tidak ringan. Krisis ini menurut Kusumohamidjojo (2000:50) merupakan permasalahan serius bangsa, tetapi secara moralitas memperoleh tanggapan yang kurang sungguh-sungguh dari elite masyarakat. Fakta ini tampak dari berbagai kasus moral terutama kasus korupsi yang menimpa para pemimpin dalam berbagai tingkatan, baik pusat maupun daerah, baik eksekutif maupun legestatif, bahkan lembaga yudikatif yang fungsi formalnya sebagai pengendali moral. Ini berarti bahwa Pancasila sebagai landasan moral masyarakat Indonesia benar-benar dalam kondisi sakit sehingga penyakit moral yang melanda sebagian masyarakat Indonesia semakin kronis. Misalnya, dalam peristiwa politik pemilihan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/walikota begitu banyak muncul perilaku yang antiproduktif terhadap perkembangan moral dan kemanusiaan. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi dapat saja membuka peluang dan memunculkan karakteristik kekuasaan yang menyebar kurang terkendali sehingga semakin suburnya pertumbuhan feodalisme. Kusumohamidjojo (2000:50) menegaskan bahwa segera menjadi jelas bahwa desentralisasi tidaklah menjamin akan diatasinya paradoks Indonesia. Begitu banyak kekawatiran bahwa feodalisme dan korupsi akan mengalami proliferasi yang justru akan lebih mendekatkan kaum feodal dan koruptor kepada korbannya, rakyat di daerah-daerah. Krisis ini muncul karena kesusilaan tampaknya diabaikan selama sejarah Indonesia merdeka dan memuncak dalam babak-babak terakhir dari Orde Baru, bahkan semakin semarak pada masa-masa berikutnya. Hal ini ditunjukkan oleh anomali sosial yang bersumber pada kalangan atas masyarakat, bahkan budaya kemunafikan melanda sebagian masyarakat Indonesia. Sikap pemuka Indonesia dari generasi yang berbeda-beda merefleksikan keprihatinan mengenai rasa hormat kepada etika sosial pada kalangan atas masyarakat. Pada gilirannya keprihatinan ini akan menghalangi penegakan serta pelaksanaan hukum secara luas dan merata. Apalagi arogansi mayoritas terhadap minoritas, perilaku menyimpang dalam kehidupan keagamaan, monopoli dalam bidang ekonomi, dan eksploitasi alam tanpa kendali secara sosio-budaya merupakan ancaman serius bagi keutuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, di samping sebagai kekayaan bangsa, juga bisa menjadi ancaman bagi negara dan bangsa ini, bila unsur bangsa masing-masing tidak memberikan ruang bagi perbedaan. Pluralitas dan heterogenitas masyarakat itu dapat dipahami sebagai suatu kekayaan dalam konteks keanekaragaman budaya untuk membandingkannya dengan keanekaragaman hayati. Akan tetapi, dalam banyak urusan selebihnya keanekaragaman itu lebih potensial menjadi batu sandungan, apalagi bila kenyataan itu juga dieksploitasikan secara struktural. Kemudian, yang akan didapat pastilah bukan “nation building”, melainkan kemungkinan lebih besar, malahan “nation bleeding” (Kusumohamidjojo, 2000:49). Fenomena itu menunjukkan betapa perlunya dibangun kesadaran moral Pancasila dan kebudayaan nasional dalam format saling menghormati dan saling menghargai eksistensi kebudayaan daerah dan kelompok-kelompok minoritas dalam kerangka multikulturalisme. Walaupun membangun kesadaran identitas nasional itu bukan upaya mudah, tetapi bukan berarti sama sekali tidak mungkin. Untuk itu patut disadari bahwa akan dijumpai kesulitan mengkristalisasikan kompleksitas kebudayaan Indonesia menjadi suatu kebudayaan Indonesia yang definitif. Kesulitan ini, seperti diungkapkan Kusumohamidjojo (2000:44) berikut. “Kita masih jauh dari posisi untuk dapat mengidentifikasikan suatu perdaban Indonesia. Kita malahan masih dalam proses mengkristalisasikan kompleksitas kebudayaan Indonesia menjadi suatu kebudayaan Indonesia yang lebih definitif. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman dan kemauan mengapresiasi keberagaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia dalam kesadaran bahwa pihak mayoritas dalam mempertahankan eksistensinya, baik langsung maupun tidak memerlukan sumbangan pihak minoritas”. Artinya, selain kesulitan mengidentifikasikan peradaban Indonesia, juga di Indonesia dikotomi mayoritas-minoritas siso-kultural tidak bisa dibaikan begitu saja. Malahan orang tidak hanya sadar bahwa pemeluk agama Islam merupakan mayoritas absolut di Indonesia, tetapi juga bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Akan tetapi, pertanyaan bagaimanakah dikotomi mayoritas-minoritas antara masyarakat pemeluk agama Islam pada satu pihak dan masyarakat pemeluk berbagai agama bukan Islam pada pihak lain akan mengalami pergeseran masih harus dipandang sebagai suatu persoalan yang terbuka. Dikotomi mayoritas-minoritas pada bidang agama bisa menjadi tragedi besar, bila ditumpangi dengan muatan politik-ideologis ataupun ketimpangan dalam kesempatan kinerja ekonomi (Kusumohamidjojo (2000:86-89). Dengan demikian, pembangunan masyarakat Indonesia yang bhinneka memerlukan kesadaran penuh tentang ketunggalan dalam keberagaman. Ini merupakan ide tentang penegakan kesatuan Indonesia berdasarkan upaya mengapresiasikan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Keaneragamanan masyarakat dan kebudayaan Indonesia sesungguhnya bukan masalah baru. Menurut Kusumohamidjojo (2000:59--60) bahwa sejak sebelum berdirinya sebagai negara merdeka, Indonesia sudah menghadapi persoalan besar yang berkaitan dengan keanekaragaman kebudayaan. Persoalan ini menjadi semakin besar seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika sejarah yang menyertainya. Masalah kebhinnekaan itu perlu dibedah secara tuntas, agar masyarakat Indonesia tidak terbuai dan hanyut dalam slogan, seolah-olah keanekaragaman itu lebih merupakan berkah dan bukan pekerjaan rumah. Hal ini dipahami oleh banyak orang Indonesia yang berpikir jernih dan menyadari beratnya tantangan masa depan negara-bangsa ini. Dalam kerangka inilah letak relevansi multikulturalisme untuk membahas masalah kebhinnekaan masyarakat Indonesia. Tegasnya, bangsa Indonesia yang multikultur mutlak harus dipandang dari kacamata multikulturalisme, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno (2005:216) bahwa Indonesia hanya dapat bersatu, bila pluralitas yang menjadi kenyataan sosial dihormati. Artinya, penegakan kesatuan Indonesia bukan hendak menghilangkan identitas setiap komponen bangsa, tetapi harapannya agar semuanya menjadi warga negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati identitas masing-masing dan kesediaan untuk tidak memaksakan pandangan sendiri tentang “yang baik” kepada siapapun merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional, integrasi nasional, dan menempatkan agama menjadi fondasi kesatuan bangsa. 2. Transformasi Multikulturalisme Menuju Identitas Nasional Seseorang baru menyadari keberadaan dirinya sendiri yang paling otentik, ketika berada bersama sesuatu yang lain, barang yang lain, dan orang yang lain. Itulah the others (liyan) dalam konsep multikulutralisme (Mulkhan, 2007:1). Menurut Hefner (2007) bahwa pandangan ini mengacu pada pengalaman Amerika dalam merumuskan kebijakan politik saat negeri itu diserbu para migran dari berbagai bangsa, seperti Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebijakan multikultural keragaman dan kebhinekaan kultur, justru menjadi penguat keberadaan Amerika. Walaupun berbeda latar historisnya, kebhinekaan etnis, dan keagamaan di Indonesia bisa menggunakan kerangka pikir multikulturalisme sebagai paradigma kerja. Akan tetapi, perlu disadari bahwa sejarah sosial, budaya, dan keagamaan yang berbeda dengan akar genealogi yang begitu kuat memerlukan strategi berbeda. Fakta sosio-budaya bhineka dalam keberagamaan bersilangan dengan etnisitas seringkali membuat setiap komunitas budaya dan keagamaan merasa berhak menjadi raja dalam kelompoknya sendiri. Kesadaran primordial ini bukanlah sikap yang salah, bila hal itu disadari menjadi lebih bermakna ketika diletakkan bersama dan dalam keber-liyan-an. Reposisi sekelompok etnis dan keagamaan dalam ruang publik yang terbuka bernama Indonesia akan sulit, bila tidak dimiliki kesadaran akan kebermaknaan liyan tersebut. Formula ini oleh founding fathers dirumuskan dalam Pancasila, walaupun tafsirnya mudah dibelokkan sesuai kepentingan kelompok berbasis primordial tersebut yang sejak lama menjadi akar separatisme yang selalu berulang (Mulkhan, 2007:1). Artinya, membangun kesadaran multikulturalisme dalam sebuah negara-bangsa, seperti Indonesia bukanlah upaya yang mudah. Bhinneka Tunggal Ika sebagai teks ideal yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan multikultural di Indonesia, ternyata mengalami penafsiran yang berbeda-beda dalam setiap orde pemerintahan pascakemerdekaan. Pada masa Orde Lama misalnya, Soekarno semboyan Bhinneka Tunggal Ika dijadikan wacana populis untuk menggairahkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Semangat ini digunakan untuk melawan konstelasi kapitalisme melalui ide nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Alih-alih memediasi perbedaan, justru ide ini telah mensegmentasi masyarakat Indonesia ke dalam pilihan politik yang berbasis ideologi, seperti PNI (nasionalis), Masyumi dan PSI (agamais atau Islam), dan PKI (komunis). Keberhasilan membangun semangat kebangsaan melalui wacana perlawanan terhadap kolonial, ternyata tidak dibarengi dengan keberhasilan yang sama dalam konsolidasi politik nasional. Sistem politik multipartai yang diterapkan pemerintah Orde Lama telah membawa masyarakat Indonesia pada gejolak politik yang melelahkan dan mencapai puncak ketegangan pada lahirnya tragedi berdarah 30 September 1965 (Nurkhoiron, 2007:3). Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru lebih meningkatkan penguasaan dan dominasi massa melalui demobilisasi dan deideologisasi. Praktik pembangunan melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan massa mengambang (floating mass). Kebijakan kebudayaan Orde Baru diarahkan untuk memantapkan stabilitas nasional dengan menggiring kebudayaan-kebudayaan daerah menjadi tonggak-tonggak kebudayaan nasional. Hasilnya berupa proses pembakuan sehingga melahirkan efek pada tumbangnya perbedaan budaya dan hancurnya kebudayaan-kebudayaan lokal. Agama dan etnisitas tidak dikelola berdasarkan skema multikultur sehingga sering menjadi sumber perpecahan dan konflik. Pada masa ini pemerintah telah mengambil peran dominan dalam kebijakan multikulturalisme melalui penafsiran tunggal terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi keamanan negara dan masyarakat memang cenderung stabil di permukaan karena pemerintah mengambil sikap represif terhadap munculnya berbagai isu, ideologi, dan ekspresi budaya liyan (the others) yang dianggap menjadi ancaman dan gangguan terhadap stabilitas nasional. Kebijakan ini didukung oleh kerja militeristik yang kuat melalui Dwifungsi ABRI sehingga militer bukan saja hanya mengambil peran sebagai alat keamanan, tetapi juga alat politik pemerintah (Nurkhoiron, 2007:3). Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto telah membawa babak baru dalam multikulturalisme Indonesia. Kebebasan berekspresi dan berpendapat diapresiasi seluas-luasnya oleh kelompok-kelompok yang selama masa pemerintahan Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Dengan memainkan isu identitas, kelompok-kelompok ini mulai membangun eksistensinya. Di beberapa tempat sejumlah kelompok Islam membangun laskar-laskar paramiliter untuk ”membela Tuhannya”. Demikian juga dengan dipaksakannya penegakkan syariat Islam sebagai bagian dari kebijakan publik di daerah. Hal serupa juga terjadi di Propinsi Papua yang memaksakan diberlakukakannya Perda berbasis Injil (Nurkhoiron, 2007:4). Wacana kedaerahan seperti itu juga muncul di Bali lewat gema wacana Ajeg Bali yang dikumandangkan oleh berbagai lapisan sosial masyarakat Bali. Walaupun wacana ini menunjukkan gejala serupa, tetapi tidak sepenuhnya demikian, seperti ditegaskan oleh Atmadja (2005:3) bahwa wacana Ajeg Bali merupakan gerakan mempertahankan identitas kultural sebagai respons orang Bali terhadap modernisasi dan globalisasi. Boleh jadi, juga prasangka etnis memicu lahirnya wacana Ajeg Bali tersebut sebagai akibat terdesaknya penduduk asli dari dominasi pendatang. Maraknya artikulasi politik identitas yang membangkitkan berbagai aspirasi etnis, agama, dan isu lokalitas memang menjadi sinyal baru bagi dinamika politik mutakhir pascaotoritarianisme Orde Baru (Nurkhoiron, 2007:4). Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi hiperotonomi sehingga memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan prasangka-prasangka etnis, agama, dan lokalitas. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan mencolok antara multikulturalisme sebagai gejala epistemologis dan multikulturalisme sebagai gejala politik. Perbedaan ini menjadi medan perdebatan menarik oleh para teoretisi multikulturalisme. Parekh (2008:3) salah seorang proponen teori multikulturalisme merekomendasikan bahwa multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan muatan programatik, tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang khas tentang tempat manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat kehidupan manusia. Sebaliknya, Liliweri (2005:6) begitu yakin bahwa multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Artinya, sebagai sebuah terminologi multikulturalisme kadang-kadan agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal yang berbeda, yaitu realitas dan etika atau praktik dan ajaran. Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah tataran kehidupan kolektif. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya yang semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik. Terhadap perbedaan ini Budiman (2005:5) berusaha menengahinya dengan mengatakan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme memang lebih mudah dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat lain bahwa kebijakan multikultural dikembangkan menjadi sebuah model pengelolaan perbedaan kultural. Ini menunjukkan bahwa multikulturalisme dalam teori dan praktik memang merupakan gejala yang rumit. Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Ini merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh para pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1) kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition) dan (2) legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya (Tilaar, 2004:83). Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal suatu masyarakat, bila keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui, tetapi juga diberikan ruang untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Persoalan kesetaraan dan keadilan inilah yang kemudian menjadi perhatian penting para kritikus multikulturalisme gelombang kedua. Pada masa ini paham multikultural telah menampung berbagai jenis pemikiran baru, seperti culture studies, postkolonialisme, globalisasi, feminisme dan postfeminisme, neo-Marxis, serta poststrukturalisme. Para teoretisi ini memandang bahwa keanekaragaman budaya di masyarakat bukanlah kenyataan yang terberi (given) begitu saja, tetapi sebuah konstruksi sosial yang dipengaruhi sejumlah other. Oleh karena itu, multikulturalisme haruslah diuraikan dengan mendekonstruksi persoalan-persoalan ideologi, kekuasaan, marjinalisasi budaya, keadilan, politik, ekonomi, gender, permainan wacana, dan emansipasi budaya yang mengitarinya (Tilaar, 2004:83–84). Artinya, multikulturalisme akan mendapatkan makna yang sesungguhnya hanya dengan memproklamasikan emansipasi budaya-budaya kecil yang masing-masing memiliki “hak hidup” yang wajib dihormati. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang multietnis dan multikultural sudah sejak awal mengandung masalah legitimasi kultural karena negara Indonesia lahir secara tiba-tiba melalui revolusi politik nasional. Akibatnya, kehadiran negara di Indonesia merupakan hasil kolektif hampir seluruh daerah dan kelompok etnis yang mengitarinya. Keadaan ini secara keseluruhan telah menciptakan status yang sama di semua daerah sehingga hubungan antardaerah lebih bersifat kolegial daripada superior-subordinat. Apalagi akar nasionalisme Indonesia sejak awal justru didasarkan pada tekad yang menekankan pada pentingnya cita-cita bersama, di samping pengakuan sekaligus penghargaan pada perbedaan sebagai pengikat kebangsaan. Kesadadaran semacam itu jelas terlihat pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menekankan pada pentingnya cita-cita yang sama dan sekaligus kemajemukan sebagai perekat kebangsaan. Pada prinsipnya etika ini meneguhkan pada pentingnya komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu pihak dan pada pihak lain tercapainya cita-cita kemakmuran dan keadilan sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia (Sparringa, 2006). Dalam konteks inilah diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk segera mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional menuju terwujudnya kesatuan Indoensia. Kesadaran baru ini berlaku untuk seluruh komponen bangsa sehingga memiliki peran yang sama dalam pembentukan negara-bangsa Indonesia. Denghan demikian, semuanya memiliki hak yang sama untuk hidup dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Sekali lagi, kesadaran inilah yang harus ditransformasikan menjadi identitas nasional bangsa Indonesia, baik sebagai komunitas politik maupun budaya. Persoalan ini menjadi semakin rumit ketika sejarah bangsa telah menorehkan luka sosial-kultural, berupa ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani minoritas di berbagai daerah di Indonesia. Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen agama, etnis, dan lokalitas dapat dipandang menjadi kesadaran baru di antara komponen bangsa. Ini merupakan kebanggaan dalam kehidupan berbangsa, ternyata hanyalah banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pandangan Anderson (1999:21) yang memaknai bangsa hanyalah sebagai komunitas imajiner (imagined communities). Komunitas politik ini mencakup jutaan orang yang belum pernah terlihat dan mungkin saja tidak akan pernah melihat. Akan tetapi, mereka diharapkan tetap membayar pajak, memberikan pengorbanan, bahkan memberikan nyawanya untuk bangsa (Parekh, 2007:306). Ini sebabnya identitas nasional (national identity) memang diperlukan oleh sebuah komunitas politik, seperti negara-bangsa Indonesia. Identitas ini tidak saja untuk membedakannya dengan komunitas yang lain (liyanan), tetapi lebih penting untuk membangun rasa kasih sayang, tanggung jawab, dan kepentingan nasional. Pemahaman tentang identitas nasional menyatukan para anggotanya pada sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama, membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan yang relevan, memfasilitasi reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan kesetiaan umum, serta menata kehidupan moral dan politik. Singkatnya, identitas nasional memiliki peran penting dalam masyarakat multikultur untuk menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang beranekaragam (Parekh, 2008:306). Akan tetapi, identitas nasional memang memiliki sisi dasar yang gelap dan dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan. Mengingat kesalahan dalam mendefinisikan identitas nasional dapat berakibat pada pendelegitimasian “yang satu” sekaligus peminggiran “yang lain”. Bahaya serius dalam sebuah masyarakat multikultur terjadi dengan keanekaragaman nilai, visi terhadap kehidupan yang baik, dan interpretasi sejarah yang tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian, identitas nasional adalah paradoks dalam dirinya sendiri karena terkandung potensi perpecahan dan sekaligus kesatuan (Parekh, 2007:307). Menyikapi pandangan tersebut logosentrisme menjadi sesuatu yang berbahaya dalam upaya transformasi kesadaran kebangsaan yang multikultur menjadi identitas nasional yang menempatkan persatuan di atas pluralitas. Logosentrisme bertolak dari pandangan Aristoteles yang disebutnya logos apophanticos, yaitu proposisi-proposisi logis. Dijelaskan bahwa proposisi logis haruslah berasal dari identitas asli, jika sesuatu itu “A”, maka tidak mungkin ia sekaligus “bukan A” (Sugiharto, 1996:122). Kemudian, logosentrisme dengan kekuatan logika deduktifnya ini mendapatkan perhatian serius dalam pemikiran Kritis misalnya, Derrida menolak upaya logos dalam merengkuh kebenaran totalitas dengan menepikan perbedaan-perbedaan (Al-Fayyadl, 2005:76). Mengingat pada hakikatnya Logosentrisme itu merupakan penotalan dan pemutlakan satu kebenaran dengan menidakkan yang lain (the others). Derrida dengan tegas menolak pandangan ini dengan mengajukan model analisis dekonstruksi yang lebih menekankan pada kebenaran yang tidak tunggal, melainkan tersebar (difference). Pemikiran dekonstruksi Derrida pada mulanya bergerak dalam ranah linguistik, tetapi bersamaan dengan trend postmodernisme yang ditandai dengan munculnya gejala dominan pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn), pemikiran dekonstruksi Derrida juga banyak digunakan untuk membaca teks sosial dan budaya. Penolakan Derrida terhadap logosentrisme mulanya diarahkan pada kerja positivistik yang berupaya mendapatkan kebenaran tunggal dari sebuah teks sosial. Menurut Derrida, kebenaran tidak selalu mensyaratkan suatu hierarkis (yang satu lebih unggul daripada yang lain) dan beroposisi (ada yang satu, menidakkan yang lain). Derrida memberikan contoh sederhana tentang perbedaan hitam dan putih. Kategori hitam tidak hanya dipakai untuk membedakan dengan yang putih atau menidakkan yang putih karena dapat dibuat kategori yang lain misalnya, abu-abu. Dengan adanya kategori abu-abu sebagai yang lai, (the others), kedua kategori sebelumnya (hitam dan putih) tetap seperti sediakala (Al-Fayyadl, 2005:76). Dengan cara kerja ini, juga identitas nasional hendaknya dipandang sebagai teks sosial yang tidak hanya muncul sebagai bentuk penilaian (jugdement), pernyataan (proposition), dan representasi (representation) (Al-Fayyadl, 2005:30). Dalam hal ini identitas nasional bukanlah penilaian, pernyataan, dan representasi kebijakan politik multikulturalisme dengan makna yang univokal dan tidak menyertakan sedikit pun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat seperti yang mungkin diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran, bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna teks ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu (Al-Fayyadl, 2005:82). Dengan kata lain bahwa identitas nasional tidaklah sesuatu yang final, tetapi senantiasa menjadi. Pandangan ini tampaknya sejalan dengan pemikiran Anthony D. Smith (Tilaar, 2004:109) bahwa identitas nasional merupakan kesinambungan reproduksi dan interpretasi atas pola nilai, simbol, mitos, dan tradisi yang membentuk warisan bangsa yang unik, serta identifikasi individu dengan pola dan warisan tersebut beserta unsur-unsur budayanya. Ini berarti bahwa identitas nasional harus terus-menerus diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang dikenakan identitas itu. Identitas nasional dibangun atas dasar multikulturalisme dengan menempatkan kebhinekaan sebagai modal budayaan bangsa untuk maju, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan menggalang kekuatan nasional terutama pada era globalisasi. Untuk itu perlu dikenal dasar-dasar multikulturalisme, antara lain menggali kekuatan-kekuatan suatu bangsa yang tersembunyi dalam budaya yang berjenis-jenis (Tilaar, 2004:92). Modal budaya inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional, bukan saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah memberikan tempat yang setara, sejajar, dan adil bagi setiap kebudayaan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara-bangsa. Berkaitan dengan upaya membagun multikulturalisme di Indonesia Tilaar (2004:85) setidak-tidaknya mengemukakan tiga tantangan multikulturalisme dewasa ini. Pertama, hegemoni Barat pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Hegemoni Barat melalui wacana modernisasi yang disebarluaskan pada negara-negara berkembang bertendensi pada terbentuknya budaya modern yang dibedakan dengan budaya primitif dan barbarian (Hutington, 2003:77). Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenopobhia dan etnosentrisme. Ketiga, proses globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional. Hilangnya jati diri dan identitas budaya lokal memang menjadi ancaman besar globalisasi karena manusia hanya menjadi aktor dan konsumen dari imperialisme baru yang dibawa globalisasi. Tantangan-tantangan tersebut pada dasarnya memiliki tendensi logosentris yang monokultural dan tentu berbahaya bagi pembangunan multikulturalisme di Indonesia terutama bagi kesatuan Indonesia. Artinya, dewasa ini Indonesia masih berhadapan dengan berbagai tantangan dalam upaya membangun multikulturalisme. Untuk menghadapi tantangan tersebut Sparringa (2006:3) mengajukan upaya penafsiran terhadap nasionalisme Indonesia yang semestinya memperhatikan dua elemen dasar secara sekaligus. Ikatan kebangsaan yang semata-mata didasarkan pada nilai-nilai kemakmuran (yang bersifat material) dan keadilan (yang bersifat spiritual) tidak akan sepenuhnya mampu menjawab persoalan tentang bagaimana kemajemukan itu hendak dikelola dalam proses pencapaian tujuan bersama. Pencapaian tujuan bersama jelas merupakan sebuah proses yang tidak saja kompleks secara ekonomi dan politik, tetapi juga sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan secara sosial dan budaya. Dalam konteks inilah pemaknaan tunggal terhadap identitas nasional telah menciptakan luka sejarah yang mendalam. Indonesia telah melewati masa-masa sulit dengan model nasionalisme politik yang diterapkan beberapa orde pemerintahan. Misalnya, phobia Orde Baru telah mendorong pemerintahan masa pascareformasi membuat kebijakan otonomi daerah sampai ke tingkat kabupaten/kota yang berakitnya pada munculnya hiperotonomi. Kelemahan otonomi daerah inilah yang direorientasi dan direvitalisi sejalan dengan spirit multikulturalisme sehingga menjadi kekuatan yang fungsional untuk membangun kesatuan Indonesia. 3. Membangun Integrasi Nasional Diferensiasi sosial dengan konsekuensi terjadinya heterogenitas dan kesenjangan sosial (inequality) memiliki pengaruh penting terhadap integrasi suatu masyarakat dan perkembangan sistem demokrasi. Tesis yang sering mengemuka bahwa semakin tinggi tingkat heterogenitas akan semakin besar peluang munculnya kesenjangan sosial, dan semakin menghambat hubungan sosial termasuk proses integrasi sosial. Oleh karena itu, heterogenitas dan kesenjangan sosial ini harus dikelola sedemikian rupa demi terciptanya solidaritas dan integrasi sosial sebagai landasan terwujudnya integrasi nasional. Ketika negara-bangsa tidak mampu memainkan peran ini secara maksimal, masyarakat sipil (civil society) diharapkan dapat menggantikan peran tersebut. Dengan asumsi bahwa masyarakat sipil lebih memahami kondisi sosialnya sendiri, nilai-nilai yang diafirmasi secara kolektif oleh komunitasnya, dan potensi-potensi yang dimiliki sehingga dapat merumuskan pola interaksi yang paling tepat dan bermanfaat bagi solidaritas dan integrasi sosialnya. Gagasan tentang civil society memang baru berkembang di Indonesia sejak akhir dekade 1990-an dan diterjemahkan secara beragam, antara lain “masyarakat sipil”, “masyarakat madani”, “masyarakat warga” atau “masyarakat kewargaan” (Prasetyo, dkk., 2008:1). Secara historis civil society berakar kuat dalam perjalanan intelektual dan sosial di Eropa. Inti dari gerakan ini adalah penolakan terhadap segala jenis otoritarianisme dan totalitarianisme (Prasetyo, dkk., 2008:2). Civil society merupakan bangunan pemikiran liberal – yang nantinya menjadi model – mengenai manusia dan masyarakat. Apabila manusia (individu) merupakan ruang pribadi, maka civil society merupakan ruang publik yang di dalamnya terdapat kebebasan, kesederajatan, dan nilai-nilai yang terkait seperti otonomi, kesukarelaan, dan keseimbangan (Prasetyo, dkk., 2008:5). Dalam konteks multikulturalisme keberadaan civil society penting diapresiasi tidak saja sebagai wadah perlawanan terhadap hegemoni dan dominasi negara dalam kebijakan multikulturalisme, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme dalam masyarakat demokratis. Menumbuhkan kesadaran multikultural dalam masyarakat demokratis pada dasarnya merupakan gagasan menuju kebebasan. Gellner (1995) menempatkan civil society sebagai prasyarat menuju kebebasan (condition of liberty). Kebebasan ini dapat diartikan sebagai kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan hegemoni kekuasaan, dan kebebasan untuk (freedom for) berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan secara sukarela dan rasional. Di sini sistem demokrasi tidak semata-mata didasarkan pada niat baik (political will) pemegang kekuasaan negara. Akan tetapi, upaya tersebut harus dilakukan oleh masyarakat khususnya melalui penguatan potensi-potensi yang ada sehingga dapat menjembatani hubungan antara individu dan masyarakat, dan negara, serta institusi pemegang kekuasaan lainnya. Khusus dalam hubungannya dengan negara, paling tidak civil society dapat melakukan salah satu dari tiga fungsi pokoknya. Pertama, berdiri sebagai perisai masyarakat dari perilaku negara yang cenderung hegemonik, otoritarian, dan represif. Kedua, jika negara tidak hegemonik, maka civil society muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga, bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh negara, civil society dapat memainkan peran dan fungsinya secara komplementer untuk melengkapi kebutuhan masyarakat (Prasetyo, dkk., 2008:9). Berpijak pada gagasan tersebut bahwa keberadaan civil society memiliki peran sosial dan politik yang signifikan, antara lain diperankan oleh kelompok intelektual. Dalam tradisi Gramscian, civil society dapat mengambil peran intelektual organik guna mempengaruhi dan memimpin masyarakat untuk mengubah struktur dan kultur kekuasaan agar lebih memperhatikan golongan minoritas, golongan lemah, golongan miskin, golongan tak berdaya, dan golongan lainnya yang termarjinalisasi (Tilaar, 2004:93). Oleh karena itu, gerakan integrasi nasional yang dilakukan oleh masyarakat sipil harus mendapatkan respons positif dan didorong sedemikian rupa sehingga lebih fungsional dan berdaya guna. Tentu saja upaya untuk mendorong gerakan ini harus bersesuaian dengan syarat keberhasilan multikulturalisme itu sendiri. Terkait dengan multikulturalisme, Parekh (2007:314) menyebutkan bahwa suatu masyarakat multikultur cenderung berada dalam kondisi yang stabil, kohesif, hidup, dan nyaman, bila dalam dirinya memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu meliputi, antara lain sistem kekuasaan yang didasarkan pada kesepakatan, hak-hak konstitusional yang dapat diterima secara kolektif, negara yang adil dan tidak memihak, sebuah kebudayaan umum yang terbentuk secara multikultur, pendidikan multikultur, dan pandangan identitas nasional yang plural dan inklusif. Bertalian dengan syarat-syarat tersebut gerakan integrasi nasional yang dilaksanakan oleh masyarakat sipil perlu didukung untuk mengawal terpenuhinya syarat tersebut. Pertama, mendorong terciptanya intensitas hubungan yang komplementer antara civil society dan tugas negara. Mengingat civil society berhubungan dengan kepentingan komunitas tertentu, sedangkan negara berkenaan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Di sinilah letak peranan civil society sebagai komplemen dari tugas negara. Civil society ditekankan kepada nilai-nilai moral yang artinya mempertimbangkan implikasi normatif dari gerakannya, sedangkan bagi lembaga negara yang dipentingkan adalah peran yang benar (proper role) dari negara sebagai organisasi politik. Dalam hal ini negara melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat bersama oleh rakyat melalui perwakilannya yang demokratis. Apabila dalam melaksanakan kesepakatan tersebut cenderung ke arah konsentrasi kekuasaan yang merugikan kepentingan komunitas-komunitas yang berjenis-jenis, maka civil society akan tampil sebagai pembela dari kelompok yang termarginalisasi (Tilaar, 2004:49). Ini menegaskan bahwa suatu negara yang demokratis harus memberikan tempat yang seluas-luasnya bagi hidup dan berkembangnya civil society. Kedua, civil society didorong untuk memperjuangkan hak-hak konstitusional seluruh warga negara yang dapat diterima secara kolektif. Ini berhubungan erat dengan keadilan dan kesetaraan masyarakat dalam hukum negara. Sebagai satu-satunya sumber keadilan yang aman dan legal dalam masyarakat, negara perlu meyakinkan warganya untuk memperoleh kesetaraan perlakuan dalam seluruh bidang kehidupan. Civil society perlu didorong peranannya dalam mengontrol berbagai kebijakan pemerintah dan ekskusinya, serta memastikan tidak adanya diskriminasi konstitusional terhadap warga, baik secara langsung maupun tidak. Diskriminasi secara langsung terjadi manakala pengambilan keputusan diarahkan pada prasangka-prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sebaliknya, diskriminasi tidak langsung terjadi manakala aturan dan prosedur yang mereka jalani mengandung bias diskriminasi yang tidak tampak dan mengakibatkan kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok masyarakat tertentu (Parekh, 2007:281). Dalam konteks Indonesia misalnya, diskriminasi ditandai dengan munculnya berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, baik pusat maupun daerah yang mengindikasikan terjadinya pengingkaran konstitusi terhadap multikulturalisme bangsa. Ini hanya akan menanti peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk menyikapinya secara kritis dan analitis. Ketiga, terkait dengan peranan tersebut bahwa civil society perlu didorong agar menjadikan dirinya sebagai persemaian dan pergerakan tradisi intelektual kritis. Pergerakan ini mengedepankan peran intelektual sebagai bentuk “perlawanan” terhadap hegemoni dan dominasi negara dan mengupayakan transformasi sosial yang terintegrasi satu sama lain secara kreatif. Dengan kalimat lain bahwa civil society harus mampu melakukan counter hegemony dan counter discourse terhadap monopoli negara (Prasetyo, dkk., 2008:197). Civil society diharapkan perannya mencermati secara kritis kondisi masyarakat, nilai-nilai, potensi-potensi yang dimiliki, dan memberdayakannya sehingga dapat dirasakan manfaatnya secara langsung bagi kemandirian masyarakat. Dalam hubungan yang harmonis, civil society dapat memediasi kepentingan masyarakat dengan kekuasaan yang memegang kebijakan publik. Keempat, dalam konteks pembangunan kebudayaan umum yang berbasis multikulturalisme harus secara sadar diupayakan agar masyarakat secara swadaya mampu menggali dan mengembangkan modal budaya yang dimiliki. Berkenaan dengan hal tersebut minoritisasi kultural merupakan ancaman yang cukup serius bagi perkembangan budaya masyarakat multikultur (Budiman, ed.,2007:7). Di Bali misalnya, model ini dapat dikembangkan dengan membangkitkan kembali gairah sekaa-sekaa lokal yang hidup di banjar dan desa pakraman dalam aktivitas berkesenian. Dengan demikian, keunikan dan kekhasan budaya yang dimiliki oleh daerah masing-masing dapat dimunculkan menjadi kekayaan khasanah budaya Bali. Revitalisasi spirit taksu dan jengah seperti disampaikan Mantra (1996) diperlukan dalam hal ini. Sementara itu, keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak pada bidang seni dan budaya diperlukan untuk memperjuangkan eksistensi kebudayaan lokal di ruang publik. Hegemoni pemerintah dalam penentuan standar “baik” dan “indah” melalui pembakuan pakem berkesenian tampaknya tidak lagi relevan dalam konteks ini karena dapat membunuh diferensiasi kultural. Kelima, mendorong civil society untuk terus-menerus menggelorakan kesadaran akan pentingnya pendidikan multikultural di masyarakat. Hal ini sesungguhnya inheren dengan alasan paling elementer dari lahirnya civil society itu sendiri, yaitu pandangan mendasar bahwa negara tidak dapat melakukan segala sesuatu bagi rakyatnya (Tilaar, 2004:47). Artinya, keterbatasan negara dalam mengakomodasi seluruh kebutuhan dan kepentingan rakyat menjadi alasan penting terjadinya peminggiran, ketakadilan, dan kesenjangan sosial, baik secara langsung maupun tidak. Civil society umumnya lahir untuk menyuarakan masalah-masalah ini guna menggugah kesadaran masyarakat tentang kondisi kehidupan yang dialaminya. Paradigma lahirnya pendidikan multikultural di berbagai negara telah menunjukkan peran penting partai-partai politik dan NGO (Non Government Organization), baik yang muncul sebagai perjuangan ras, etnis, kelas-kelas sosial, maupun kepentingan- kepentingan politik (Tilaar, 2004:146–147). Membangun kesadaran masyarakat tentang makna keadilan, kesetaraan, dan penghargaan atas liyan, sesungguhnya menjadi misi penting pendidikan multikultural (Tilaar, 2004; Parekh, 2007). Menjadi tuntutan bagi sebuah negara-bangsa yang demokratis untuk melaksanakan pendidikan multikultural dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat atas hak, kedudukan, dan kewajibannya sebagai warga negara. Dalam praktiknya, pendidikan multikultural di berbagai negara menggunakan pendekatan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal ini tidak saja karena karakter dasar pluralitas masyarakatnya, tetapi juga tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan multikultural itu berbeda. Meskipun demikian pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang bersinggungan dalam beberapa negara dan sebagian juga diadopsi dalam pendidikan multikultur di Indonesia, antara lain (1) hak akan budaya (right to culture); (2) identitas budaya lokal; (3) identitas nasional berbasis multikulturalisme; (4) multikulturalisme normatif; (5) pemahaman lintas budaya dan komunikasi antarbudaya; dan (6) kesadaran tentang kebebasan, demokrasi, dan kesetaraan (Tilaar, 2004:159–190). Keenam, civil society dapat didorong untuk memperkuat identitas nasional yang plural dan inklusif. Penting bagi civil society yang memiliki satu basis komunitas untuk berdialog dan bekerjasama secara terbuka dengan komunitas-komunitas lain, bahkan dengan negara guna memperluas jejaring dalam pencapaian misi pemberdayaan masyarakat plural (Prasetyo, dkk, 2008:5). Dalam penguatan identitas nasional yang plural dan inklusif niscaya akan berhadapan dengan munculnya civil society yang mengusung gerakan monokultur dan ekslusif, seperti “laskar-laskar” paramiliter yang mengusung bendera Islam di Indonesia. Pada satu sisi, multikulturalisme menghendaki agar setiap individu dan kelompok mendapatkan hak yang sama untuk hidup dan berkembang, tetapi juga pada sisi lain keberadaan kelompok-kelompok eksklusif ini dapat menghalangi terwujudnya cita-cita kebangsaan dalam bingkai multikulturalisme. Untuk mengatasi kontradiksi ini negara harus didorong agar bersikap lebih tegas secara konstitusional untuk membatasi ruang gerak kelompok-kelompok eksklusif tersebut. Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengebiri hak konstitusional warga dalam berserikat dan berpendapat, tetapi guna mengantisipasi berkembangnya budaya kekerasan (culture of violence) yang dapat mengancam nilai-nilai dasar kemanusiaan (Azra, 2011). Uraian di atas menegaskan bahwa masyarakat sipil (civil society) memiliki peranan yang signifikan dalam gerakan integrasi nasional yang berbasis multikulturalisme. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mendukung gerakan ini, antara lain (1) menghilangkan prasangka buruk masyarakat terhadap keberadaan LSM-LSM dan organisasi-organisasi sosial lainnya yang kadangkala hanya dianggap sebagai “tukang kritik” kebijakan pemerintah, bahkan sumber kekacauan; (2) mendorong kesadaran masyarakat untuk menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat guna memperjuangkan hak-hak keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan; (3) mendorong pemerintah untuk menjadikan civil society sebagai mitra kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan ekskusinya terutama pada bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup masyarakat dengan tetap memperhatikan entitas-entitas budaya lokal; (4) mendorong pemerintah agar mengalokasikan anggaran yang lebih besar bagi perkembangan civil society. Dengan demikian, civil society dapat memainkan peranannya secara fungsional dan komplementer dengan peran negara dalam mewujudkan tujuan nasional. 4. Agama untuk Kesatuan Bangsa Fenomena munculnya identitas politik yang bertumpu pada primordialisme agama, etnis, dan kebangsaan menjadi wacana yang menggelitik minat akademis untuk mempertanyakan kembali tentang apa yang tengah terjadi pada agama. Agama dan etnis memunculkan geliat di berbagai belahan dunia sebagai sentimen baru ikatan masyarakat. Tumbuh suburnya religious nationalism dan etno nationalism sebagai identitas-identitas politik baru mengkonstruksi imaji tentang sebuah komunitas agama dan etnis yang seolah-olah seragam (Suaedy, dkk. 2007:345). Identitas baru ini memberikan harapan kepada masyarakat akan munculnya kekuatan lain di luar kapitalisme dan modernisme, yaitu agama. Akan tetapi, poros eksklusif yang terbentuk tidak jarang malahan menjadi sumber kekerasan dan konflik sosial sehingga identitas baru ini sekaligus mengerikan (Suaedy, dkk. 2007:346). Agama seringkali bersifat paradoks, pada satu sisi agama dijalani sebagai jalan penjamin menuju keselamatan, cinta, dan perdamaian. Sementara itu, pada pihak lainnya agama justru menjadi sumber penyebab dan alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia (Kahmad, 2002:147). Mungkin ungkapan yang menyatakan bahwa manusia akan hidup lebih baik dan tertib serta bahagia, jikalau hidupnya tanpa agama, seolah-olah benar adanya. Oleh karena agama orang bisa saling mencinta, tetapi juga atas nama agama orang bisa saling membunuh dan menghancurkan (Kimball, 2003:13). Sampai di sini agama tampaknya plin-plan terhadap eksistensi manusia, agama menyebabkan kebahagiaan dan juga agama menyebabkan kesengsaraan; atau agama yang menyebabkan dan menciptakan kedamaian dan kelestarian, tetapi juga agama yang menyebabkan peperangan dan kehancuran. Sampai di sini, agama merupakan realitas sosial yang berwajah ganda. Menempatkan agama sebagai satu-satunya penyebab terjadinya konflik sosial memang tidak seluruhnya benar karena penyebab konflik sangatlah kompleks. Akan tetapi, ketika agama dilibatkan dalam suatu konflik hal ini sangat beralasan mengingat peran agama berikut. ”Agama memang merupakan wahana yang sangat efektif untuk memobilisasi massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan negatif, seperti penyebab konflik, apabila masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik yang tinggi. Sebaliknya, agama akan sulit dijadikan penyebab konflik apabila keberdayaan ekonomi dan politik masyarakat tinggi” (Soetrisno, 2003:39). Artinya, ada hubungan yang erat antara agama, ekonomi, dan politik sebagai sumber konflik sosial. Dalam kaitan ini agama setidak-tidaknya efektif untuk menumbuhkan sentimen keagamaan dalam diri penganutnya sehingga dapat dengan mudah ditunggangi oleh kepentingan lainnya, baik politik maupun ekonomi. Pada satu sisi agama merupakan sesuatu yang pribadi berkelindan dengan keyakinan manusia dalam hubungannya dengan Yang Sakral. Akan tetapi, pada sisi yang lain, juga agama melibatkan diri dalam berbagai konteks kehidupan sosial praktis individu dan masyarakat. Gejala intelektual belakangan ini menunjukkan bahwa studi-studi agama dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan theoposentris yang lebih tekstual dan pendekatan sosio-historis yang lebih kontekstual (Robertson, 1988:xvii). Pada dasarnya kedua pendekatan ini menegaskan bahwa agama sebagai realitas sosial sesungguhnya tidak pernah mencapai perkembangannya yang final. Malahan gejala keagamaan menunjukkan terjadinya pembusukan-pembusukan dan pertukaran-pertukaran peran antara agama dan masyarakat. Kimball (2003:24–25) menyebutkan ada lima hal yang menyebabkan agama menjadi busuk dan korup – berubah fungsi. Pertama, apabila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, adalah ketaatan buta kepada pemimpin keagamaan mereka. Ketiga, apabila agama mulai ganderung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikannya pada zaman sekarang. Keempat, apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima, bila agama tidak segan-segan memekikkan perang suci. Bila indikasi-indikasi tersebut semakin menonjol dalam kalangan umat beragama dapat diasumsikan bahwa institusi keagamaan telah gagal dalam perannya sebagai mediator dalam menyampaikan ajaran-ajaran kesucian agama kepada para pemeluknya. Pandangan serupa juga dapat dirujuk dalam tesis yang dikemukakan J. M. Hull tentang religionisme dan/atau agamaisme. Religionisme dan/atau agamaisme dimaksudkan adalah isme atau ideologi – serupa seperti rasisme – yang meyakini bahwa agama milik sendirilah yang satu-satunya benar dan valid, sedangkan agama yang lain salah (Maulanusantara, 2008; Rato, 2010). Paham ini cenderung mendorong para penganutnya pada solidaritas tribalistik. Identitas yang digunakan oleh agamaisme bersandar pada sikap penolakan atau eksklusivisme atau ketertutupan. Hubungan antara “kami” dan “mereka” dibangun dalam kerangka dikotomis yang beroposisi biner, seperti “baik-buruk”, “selamat-laknat”, “beriman-kafir”, dan seterusnya. Keberadaan “mereka” senantiasa dipandang mengancam eksistensi “kami” (Maulanusantara, 2008). Eksklusivisma agama tidak jarang diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap penganut agama lain, baik kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik. Menurut Hull (Maulanusantara, 2008) bahwa pandangan agamaisme bukan semata-mata karena tipe kepribadian atau corak beragama individu. Agamaisme memiliki akar sosio-historis dalam ideologi yang dianut masyarakat dan dilanggengkan oleh lembaga-lembaga agen sosialisasi. Secara spesifik, Hull mengarahkan kritiknya pada pendidikan agama di sekolah yang hanya mengajarkan tentang agama yang dipeluk murid, bukan tentang agama yang berkembang di lingkungan sekitar murid atau lebih luas lagi di dunia. Di sini Hull menekankan pentingnya pendidikan agama sebagai fondasi yang menentukan sikap dan pandangan seseorang terhadap ajaran agamanya dalam konteks multikulturalisme. Dalam konteks pendidikan agama di Indonesia hal ini dapat dicermati dengan masih adanya peminggiran ilmu-ilmu humaniora di mana pendidikan agama merupakan salah satu bagian pentingnya. Kenyataan ini terlihat pada penghargaan yang berlebihan kepada ilmu-ilmu murni yang bersifat positivis daripada ilmu-ilmu humaniora. Ilmu-ilmu humaniora hanya dipandang sebagai pelengkap karena dipandang kurang menjamin masa depan anak didik (Noer, 2005). Pendidikan agama selama ini hanya sebatas mengajarkan ajaran agama secara skriptural (sesuai doktrin-doktrin dalam kitab suci) dan kurang kontekstual sehingga kurang teraplikasikan dalam kehidupan nyata. Ajaran-ajaran agama yang termuat dalam kitab suci semestinya dapat ditransformasikan menjadi agama sosial, yaitu internalisasi ajaran agama yang selanjutnya dipraktikkan dalam kehidupan nyata sebagai pedoman perilaku (O’Dea, 1985; Nottingham, 1985; Scharf, 1995). Malahan Ilmu Perbandingan Agama yang diajarkan di perguruan tinggi seringkali hanya dijadikan untuk menunjukkan unit-unit kelemahan dalam ajaran agama lain dan menunjukkan keunggulan agama sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut Hull (Maulanusantara, 2008) merekomendasikan tiga strategi berikut. Pertama, mengganti agamaisme dengan tradisi spiritual yang asli (genuine) dan otentik sambil mengupas bias sejarah dan politik yang divisif sejalan dengan model pendekatan konteksual dalam pendidikan agama. Radakrishnan (2003:55) menjelaskan bahwa hakikat agama merupakan suatu panggilan menuju suatu petualangan spiritual. Ia bukan hanya teologi, melainkan praktik dan disiplin. Hakikat agama tidak terletak pada dogma-dogma dan kredo-kredo, ritus-ritus, dan upacara-upacara yang menjemukan, tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaan paling mendalam dari segala zaman. Spiritualisme mengatasi otoritas dan konformitas institusi agama, ia berdiri di luar semua agama (Roberts, 2002:113). Oleh karena itu, Radakrishnan (2003:55) menjelaskan bahwa perbedaan antaragama bukan menyangkut kebenaran, melainkan pandangan-pandangan atau pemahaman terhadap kebenaran yang diyakini. Agama-agama pada dasarnya merupakan wujud-wujud historis yang berbeda-beda dari satu kebenaran yang validitasnya bersifat universal dan tidak berkesudahan. Dalam spiritualitas perbedaan agama tidak akan menghalangi visi suci manusia untuk menemukan kediriannya di tengah-tengah alam semesta. Kedua, menekankan bahwa tujuan universal agama-agama adalah sama, yaitu menghadirkan spirit Tuhan di bumi dan menciptakan surga di muka bumi. Transfigurasi atau spiritualisasi dalam pandangan eksistensialis Nietszchean (Roberts, 2002:112) merupakan cara untuk mewujudkan eksistensi manusia, yakni kebebasan spirit. Nietzsche membangun gagasan spiritualitas postreligiusnya secara ekstrim bahwa kebebasan spirit diperoleh melalui “perahmatan” yang bukan hanya milik Tuhan dan wakil-wakilNya di dunia, melainkan transfigurasi. Manusia bisa menjadikan dirinya “tuhan”, bila berhasil melakukan transfigurasi praktik hidup ketuhanan. Boleh jadi, Nietzsche ingin menyampaikan pentingnya transformasi kesadaran ketuhanan (divine consciousness) menjadi kesadaran kemanusiaan (human consciousness), dalam kalimat yang lebih lunak. Dengan demikian, setiap manusia, apapun agamanya, memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pencerahan dan rahmat di dunia ini. Ketiga, mengganti dakwah agamaisme yang cenderung menghujat agama lain dan mengkonversi pemeluk agama lain dengan dakwah agama otentik yang bertujuan menegakkan keadilan dan perdamaian, serta menghadirkan Tuhan dalam kehidupan fana manusia. Rekomendasi ini bertali-kelindan dengan rekomendasi sebelumnya bahwa agama hanyalah sarana untuk menuju Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Tujuan hidup manusia adalah Tuhan yang bersama-sama dicari dalam agama-agama (Supono, 2002:73). Melalui kesadaran ini antarumat beragama tidak akan saling hujat-menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya, dan menawarkan satu-satunya keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian, agama dapat dijadikan instrumen untuk mewujudkan persatuan, bukan sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan. 5. Simpulan Pada akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan kesatuan Indonesia dapat ditempuh setidak-tidak tiga upaya berikut. Pertama, mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional dengan bertumpu pada penghargaan terhadap kepluralistikan masyarakat Indonesia. Untuk itu Bhinneka Tunggal Ika sebagai teks ideal senantiasa perlu dibaca ulang pada setiap zaman karena pada prinsipnya identitas tidak pernah final. Kedua, membangun integrasi nasional yang berbasis multikulturalisme dengan mendorong kesadaran masyarakat menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul, berserikat, dan berpendapat guna memperjuangkan hak-hak keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Kemudian, mendorong pemerintah menjadikan civil society sebagai mitra kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan ekskusinya pada bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup masyarakat dengan tetap memperhatikan entitas-entitas budaya lokal. Ketiga, mendorong peran agama dalam kehidupan sosial dan kebudayaan misalnya, dengan menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah Tuhan, bukan agama. Melalui kesadaran ini, antarumat beragama tidak saling menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya, dan menawarkan keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama. Dengan demikian, agama menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat dan tidak sebaliknya menjadi alat pemecah belah persatuan Indonesia. Daftar Kepustakaan Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Azra, Azyumardi. 2011. “Culture of Violence in the Name of Religion“. Makalah. Disampaikan dalam Seminar dengan tema “Agama dan Kekerasan” pada Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas Terbayang Renungan Tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Alih Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Atmadja, Nengah Bawa, 2005, “Bali Pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (hasil penelitian – studi kasus pada berbagai desa), Singaraja:- Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di Indonesia. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation. Hefner, Robert W. 2007. Politik Multukulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Hutington, Samuel P. 2003. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Qalam. Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya Kimball, Charles.2003. Kala Agama Jadi Bencana. Bandung: PT.Mizan. Kusumohamidjojo, Budiono, 2000, Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Jakarta: PT. Grasindo. Liliweri, Alo.2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LkiS. Maulanusantara. 2008. “Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi Untuk Multikulturalisme”. Artikel dalam maulanusantara.wordpress.com, posting 30 April 2008. Mulkhan, Abdul Munir. 2007. “The Others dalam Bhineka Berbangsa dan Beragama” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Multikulturalisme, Agama dan Etnisitas” diselenggarakan oleh Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia di Denpasar tanggal 10 Agustus 2007). Noer, Kautsar Azhari. 2005. Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia, Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama dalam Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama dan Masyarakat. Jakarta: CV.Rajawali. Nurkhoiron, M. 2007. “Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal”, dalam Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Editor: Marsudi Noorsalim, dkk. Jakarta: Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation. O’Dea, Thomas F. 1985. Sosiologi Agama. Jakarta: CV. Rajawali. Parekh, Bhiku. 2007. Rethinking Multikulturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius. Piliang, Y. A. 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Prasetyo, Hendro, dkk. 2008. Islam & Civil Society Pandangan Muslim Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PPIM-IAIN Jakarta. Radhakrishnan, S. 2003. Religion and Society. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia Denpasar bekerjasama dengan penerbit Widya Dharma. Rano, Rato. 2010. “Religionisme” dan Urgensi Perubahan Paradigma Pendidikan Agama”. Artikel dalam m.kompasiana.com, posting 28 April 2010. Robert, Tyler T. 2002. Spiritualitas Postreligius Eksplorasi Hermeneutis Transfigurasi Agama dalam Praksis Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Qalam. Robertson, Roland. 1988. Agama: Dalam Analisas dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: Rajawali. Scharf, Betty R.1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: CV.Tiara Wacana Sparringa, Daniel. 2006. “Multikulturalisme Indonesia: Nilai-nilai Baru untuk Indonesia Baru (sebuah Jawaban terhadap Kemajemukan)”. Makalah disampaikan dalam seminar tentang “Pendidikan Nilai-nilai Kehidupan Ditinjau dari Berbagai Perspektif Ilmu” yang diselenggarakan oleh Universitas Atmajaya, Jakarta, 18 November 2006. Suaedy, Ahmad, dkk. 2007. Politisasi Agama dan Konflik Komunal Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Supono, Eusta. 2002. Agama Solusi atau Ilusi? Kritik atas Kritik Agama Karl Marx. Yogyakarta: Komunitas Studi Didaktika. Suseno, Franz Magnis. 2005. Berebut Jiwa Bangsa. Jakarta: Kompas. Tilaar, H.A.R.2004. Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Soetrisno, L. 2003. Konflik Sosial Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press.