KOSMOLOGI HINDU


KOSMOLOGI HINDU: PERSPEKTIF SANKHYA-YOGA
Dr. Drs. I Wayan Sukarma, M.Si


Hindu memiliki sembilan sistem pemikiran filosofis disebut Nawa Darsana yang dibagi menjadi Astika dan Nastika. Astika, yakni sistem pemikiran yang menerima otoritas Weda dalam penyelidikannya terdiri atas Nyaya, Waisesika, Yoga, Sankhya, Mimamsa, dan Wedanta. Sementara itu, Nastika, yakni sistem pemikiran yang tidak menerima otoritas Weda untuk menyusun argumentasi fiulosofisnya terdiri atas Bhudda, Carwaka, dan Jaina. Di antara kesembilan sistem pemikiran itu rupanya, Sankhya dan Yoga yang paling banyak diadopsi dalam keberagamaan umat Hindu di Indonesia. Kata “Sankhya” secara denotatif berarti “pengetahuan yang benar” dan “angka”, tetapi secara konotatif dapat berarti “pemantulan”, tepatnya pemantulan filsafati. Oleh karena itu, sistem filsafat Sankhya mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan atau mentransendenkan kenyataan terakhir dengan pengetahuan. Untuk itu, diperlukan keberanian mengatasi keadaan purusa yang berlawan dan bertentangan dengan prakerti. Purusa banyak jumlahnya, tetapi prakerti hanya satu. Purusa tidak berganda, tetapi keadaan prakerti kompleks. Purusa bersifat statis, tetapi prakerti dinamis. Purusa tidak mengalami perubahan tempat maupun bentuk, tetapi prakerti mengalami perubahan. Purusa bersifat pasif. Ini berarti bahwa dalam hubungannya dengan prakerti dan dipenjarakan di dalam prakerti itu purusa tidak dapat mengenal ataupun menghendaki sesuatu dalam arti umum, kecuali purusa dibantu oleh alat-alat batin (antahkarana) dan pembantu-pembantunya. Pada dirinya sendiri, purusa hanya berfungsi sebagai penonton, bukan sebagai yang berbuat. Hidup kejiwaan dimungkinan karena hubungannya dengan perkembangan prakerti yang menjadi alat-alat batiniah.
Sistem Sankhya mengakui Weda sebagai otoritas tertinggi, karena itu tergolong sistem filsafat Astika (orthodoks). Sankhya termasuk salah satu di antara sistem-sistem filsafat India terkuna. Dalam filsafat India disebutkan pendirinya adalah Kapila yang barangkali hidup pada zaman sebelum Buddha. Walaupun demikian, peninggalan tertulis tentang Sankhya yang terkuna yang dapat diketahui barangkali ditulis pada abad ke-5 Masehi, yaitu Sankhya Karika buah karya Isvarakrsna. Di samping kitab ini terdapat sumber-sumber belakangan, seperti Sankhya-karika Bhasya yang ditulis oleh Gaudapada, Tattva Kaumudi ditulis oleh Vachaspati Mishra, dan Sankhya-pravacana-bhasya hasil karya Vijnana-bhiksu. Dalam pemikiran India, Sankhya dipandang sebagai sistem filsafat tertua, bahkan pengaruhnya terasa hingga kini. Referensi-referensi Sankhya dapat ditemukan pada beberapa sumber penting, seperti Chandogya, Prashna, Katha, dan Svetasvatara, Mahabharata, Bhagavadgita, serta dalam kitab-kitab Smrti, Purana, dan Caraka-samhita. Dalam epos Mahabharata dikatakan bahwa sistem filsafat ini sebagai sesuatu yang eternal. Sankhya dijelaskan sebagai fondasi filosofis penting bagi seluruh kebudayaan dan peradaban Oriental, bahkan sebagai simbol peradaban itu sendiri.
            Sebelum memasuki pemikiran Sankhya lebih dahulu perlu dipahami teori sebab-akibat (karana-vada) karena di atas teori ini seluruh pemahaman Sankhya diletakkan. Teori sebab-akibat (karana-vada) dalam sistem filsafat Sankhya membantu memahami dua prinsip tertinggi, yaitu purusa dan prakerti. Pertanyaan mendasar dalam setiap teori sebab-akibat adalah: “Apakah efek (akibat, karya) pra-eksis dalam penyebab materialnya?” Mereka yang memberikan jawaban negatif (bahwa efek atau akibat adalah tidak pra-eksis dalam penyebab materialnya) disebut penganut paham asatkarya-vada, sedangkan mereka yang memberian jawaban positif (bahwa efek atau akibat adalah pra-eksis dalam penyebab materialnya) disebut satkarya-vada. Menurut yang pertama, efek (akibat) merupakan sebuah ciptaan baru, sebuah permulaan yang nyata, yang secara esensi berbeda dengan penyebabnya. Efek (karya) tidak pra-eksis (asat) dalam penyebab materialnya (tindakan dari penyebab menghasilkan akibat yang berbeda dengannya).
            Sementara itu, satkarya-vada pada sisi lain percaya bahwa efek (akibat) bukanlah sebuah penciptaan baru, tetapi hanya sebuah manifestasi eksplisit dari yang secara implisit terkandung dalam penyebab materialnya. Pertanyaan penting di sini adalah: “Apakah efek merupakan sebuah transformasi nyata atau sebuah penampakkan tidak nyata dari penyebabnya?” Mereka yang percaya bahwa efek merupakan sebuah transformasi nyata dari penyebabnya disebut penganut paham Parinama-vada (parinama berarti transformasi nyata), sedangkan yang percaya bahwa sebab merupakan penampakan tidak nyata disebut Vivarta-vada (vivarta berarti penampakkan tidak nyata). Sankhya, Yoga, dan Ramanuja (dalam filsafat Visistadvaita) percaya dengan Parinama-vada. Pandangan Sankhya-Yoga disebut Prakerti-parinama-vada, sedangkan pandangan Ramanuja disebut Brahma-parinama-vada. Sunyavada, Vijnanavada, dan Sankara (dalam filsafat Advaita) percaya dalam Vivarta-vada. Pandangan Jaina dan Kumarila boleh disebut Sadasatkarya-vada karena menurut pandangan mereka efek adalah nyata, juga begitu tidak nyata sebelum produksinya, walaupun keduanya cenderung ke arah Parinama-vada.  
            Sankhya dapat disebut menganut pandangan realistis karena mengakui adanya realitas dunia ini yang bebas daripada roh, azas bendani yang berbeda dari azas roh. Pandangan demikian mengandaikan ada dua realitas asasi yang berdisi sendiri dan ini sebabnya Sankhya dapat disebut menganut pandangan dualistis. Dua realitas dikatakan berdiri sendiri sebab “yang satu” lepas dan bebas sama sekali daripada “yang lain”. Bukan hanya lepas dan terpisah, bahkan antara “yang satu” dan “yang lain” dinyatakan sebagai sesuatu yang saling berbeda dan bertentangan tanpa dapat dipadukan. Dua realitas yang saling bertentangan ini disebut purusa dan prakerti. Purusa adalah azas roh, sedangkan prakerti adalah azas benda. Menurut Sankhya bahwa purusa atau roh itu ada banyak sekali tidak terhitung bilangannya, karena itu sistem ini juga dapat disebut pluralistis. Inilah ajaran pokok dari Sankhya, dua zat asasi yang saling bertentangan, yang bersama-sama membentuk realitas dunia ini, yaitu purusa dan prakerti atau asas rohani dan asas bendani. Artinya, Sankhya hendak mempertahankan dualisme ontologis prakerti dan purusa dan meyakini bahwa dalam evolusi material, kosmos, kehidupan, dan pikiran (kecuali prakerti yang eternal) memungkinkan tercapainya tujuan akhir jiwa-jiwa individu. Sankhya juga mempertahankan suatu pemisahan yang tegas antara purusa dan prakerti serta mempertahankan pluralisme purusa. Sistem filsafat ini tidak membahas keberadaan Tuhan (barangkali karena menekankan berfilsafat secara teknis). Sankhya dengan demikian adalah sebuah spiritualisme pluralistik, realisme atheistik, dan dualisme. Ini sebabnya Sankhya diakui sebagai upaya pecarian filsafati yang paling maju dalam bidang filsafat murni (filsafat dalam arti filsafat secara teknis). Demikianlah sistem filsafat Sankhya yang menyetujui dan menerima serta mengajarkan bahwa hakikat segala sesuatu itu adalah purusa dan prakerti. 
            Purusa adalah kesadaran murni, roh, subyek atau yang mengetahui. Ia bukan tubuh, bukan pula indera-indera; ia bukan otak bukan pula pikiran (manas); bukan pula ego (ahamkara), bukan pula intelek (buddhi). Purusa bukan sebuah substansi yang memiliki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan esensinya. Purusa sendiri adalah kesadaran murni dan transendental. Purusa adalah pemengetahui tertinggi, fondasi semua pengetahuan. Ia adalah subjek murni karena hakikatnya yang demikian, ia tidak pernah dapat menjadi suatu objek pengetahuan. Ia adalah saksi diam, yang terbebaskan, penglihat yang netral, dan eternal yang damai. Ia berada di luar jangkauan ruangan dan waktu, di luar perubahan dan aktivitas. Ia menyinari dirinya sendiri dan membuktikan dirinya sendiri. Ia tidak tersebabkan oleh apapun, eternal, dan meresapi semuanya. Ia riil, pengetahauan, dan semua keragu-raguan, serta penyangkalan mengimplikasikan keberadaannya. Ia disebut nistragunya, udasina, akarta, kevala, madhyastha, saksi, drasta, sadaprakashvarupa, dan jnata. Purusa dalam sistem filsafat Sankhya merupakan subjek bagi monisme kualitatif dan pluralisme kuantitatif. Roh-roh ini semuanya secara esensial serupa, hanya secara jumlah mereka berbeda. Esensi mereka adalah kesadaran. Kebahagiaan dipandang sebagai sesuatu yang berbeda dari kesadaran dan merupakan produk dari sattva guna.
Prakerti berarti yang ada sebelum segala sesuatunya dihasilkan atau disebabkan, sumber pertama dari semua benda, bahan asal dari mana semua benda menyebar, dan ke dalam mana semua benda pada akhirnya akan kembali. Prakerti adalah penyebab pertama dari segalanya, karena itu ia sendiri tidak memiliki penyebab. Sebagai penyebab tidak tersebabkan ia disebut Prakerti; sebagai prinsip pertama dari alam semesta ia disebut Pradhana; sebagai keadaan tidak termanifestasikan dari semua efek ia disebut Avyakta; sebagai benda yang benar-benar halus dan tidak dapat diamati yang hanya disimpulkan dari produk-produknya ia disebut Anumana; sebagai kekuatan yang selalu aktif tidak terbatas ia disebut Shakti. Sebagai penyebab tidak tersebabkan, ia eternal, karena sesuatu yang terbatas dan tidak eternal tidak bisa menjadi penyebab pertama dunia. Dengan dirinya sebagai dasar dari produk-produk halus alam semesta, seperti pikiran (manas), intelek (buddhi), dan seterusnya. Prakerti adalah kekuatan yang sangat halus, misterius, dan luar biasa besarnya yang melahirkan dan mengembalikan dunia dalam suatu tatanan siklis. Prakerti dengan demikian adalah azas bendani sebagai sebab pertama alam semesta terdiri atas unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan.
            Efek-efeknya bersifat pluralistik, sementara prakerti tunggal adanya. Efek-efek tersebut ada dalam penyebabnya, sementara prakerti tidak ada pada penyebab lain. Efek-efek bersifat terbatas, sementara prakerti bersifat tidak terbatas. Efek-efek tersebut dibangun oleh bagian-bagian, sementara prakerti tidak memiliki bagian. Efek-efek tersebut bersifat dapat dibedakan dan heterogen, sementara prakerti bersifat tidak dapat dibedakan dan homogen. Efek-efek tersebut lebih rendah atau bagian dari prakerti, sementara prakerti eksis sendiri dan independen. Prakerti adalah matriks seluruh alam semesta psiko-fisik – penyebab pertama dari benda, kehidupan, pikiran (manas), intelek (buddhi), dan ego (ahamkara). Dunia yang tidak berkesadaran, tidak dapat menjadi sebuah transformasi dari sebuah prinsip yang berkesadaran karena roh tidak dapat ditransformasikan menjadi benda.
      Prakerti atau asas kebendaan memiliki tiga guna, triguna. Guna yang diajarkan oleh Sankhya bukan berarti kualitas seperti yang diajarkan oleh Waisesika, melainkan ketiga guna itu dipandang sebagai kekuatan-kekuatan yang menyusun prakerti. Walaupun demikian, ketiga guna ini bukan dalam arti bahwa ketiga guna ini yang membentuk prakerti. Akan tetapi, keduanya, baik prakerti maupun ketiga guna itu saling kebergantungan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Baik prakerti maupun ketiga guna itu memiliki sifat tidak terbatas. Sama halnya dengan prakerti, juga ketiga guna itu dapat diamati bahwa ketiganya ada disimpulkan dari akibat-akibatnya. Jadi, prakerti dan triguna merupakan dua hal berbeda yang amat sublim, tidak bisa diamati dengan indera, sebagaimana dalam pengalaman empiris, tetapi keduanya tidak bisa terpisah dalam mewujudkan realitas. Realitas inilah merupakan akibat-akibat dari keduanya sehingga realitas dalam segala manifestasinya merupakan penampakannya yang paling mungkin dikenal. Ini sebabnya dunia jasmani yang fenomenal ini dipahami sebagai perwujudan prakerti.   
      Triguna adalah kesatuan tiga kekuatan terdiri atas satvam, rajas, dan tamas. Satvam adalah hakikat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat tenang dan menenangkan, terang, dan menerangi. Dalam Bhagavadgita, sattvam teridentifikasi sebagai sifat-sifat dewata, daiva-sampad, yang dinyatakan sebagai sifat orang-orang yang mulia karena unsur ini yang menimbulkan segala yang baik dan yang menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan pengluasan, karenanya menjadi sumber kesusahan dan penderitaan. Dalam Bhagavadgita, rajas dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber energi yang menyebabkan segala sesuatu bisa eksis melalui tindakannya, karma. Rajas sebagai pusat dari sumber kekuatan aktivitas menjadi penyebab eternal bagi tindakan dua guna lainnya. Tamas adalah kekuatan yang menentang segala aktivitas sehingga menimbulkan segala keadaan yang apatis (dingin, lembab, gelap), atau yang acuh tidak acuh, kemalasan, dan ketidaktahuan.
Bhagavadgita mengindentifikasi kekuatan rajas ini sebagai sifat-sifat raksasa, asura-sampad, seperti kama (keinginan), lobha (kelobaan), kroda (kemarahan) tiada batas, penyebab kebingungan, yang dinyatakan sebagai tiga pintu gerbang menuju neraka. Demikianlah ketiga guna itu memiliki tabiat asasi berlainan, tetapi ketiganya saling bergantungan sehingga tidak dapat dipisahkan antara yang satu dari yang lain. Kerja sama yang erat di antara ketiganya itu digambarkan dengan kerjasama di antara nyala api, minyak, dan sumbu pada sebuah pelita. Ini mengandaikan tidak ada sesuatu yang tenang dan menenangkan, yang terang dan menerangi; yang benar-benar bebas dari kemalasan, ketidaktahuan, dan apatistik; yang tidak disebabkan oleh suatu sumber aktivitas bersama. Ini pula sebabnya Bhagavadgita mengidentifikasi sisi gelap (manusia) merupakan bagian integral dari sisi terang, baik sifat-sifat dewata maupun sifat-sifat raksasa merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan yang mendapatkan maknanya, apabila rajas berkenan mewujudkannya ke dalam sebuah tindakan, karma.   
      Dikatakan demikian karena semula ketiga guna itu berada dalam keseimbangan kekuatan, karena itu prakerti juga berada dalam keadaan tenang dan tidak terjadi apa-apa. Ketika keseimbangan kekuatan-kekuatan dalam prakerti itu terganggu, maka terjadilah gerak dan berkembanglah prakerti. Gangguan keseimbangan (harap dipahami sebagai hal yang berbeda dengan ketidakseimbangan karena gangguan keseimbangan mengandaikan munculnya fungsi-fungsi eternal di dalam prakerti) itu terjadi ketika purusa berhubungan dengan prakerti. Hubungan itu bisa terjadi karena dari purusa dengan sendirinya keluar perangsang yang mengundang perhubungan, seperti halnya dengan besi berani (magnet) terhadap besi yang ditariknya. Kerjasama antara purusa dan prakerti ini menimbulkan perkembangan alam semesta dengan segala isinya yang keluar dari prakerti. Sebaliknya, karena hubungan ini menyebabkan purusa yang banyak itu menjadi jiwa perorangan (individu) di dalam dunia. Prakerti menahan purusa dan membelenggunya di dalam setiap tubuh. Demikianlah prakerti berkembang menjadi alam semesta dan segala isinya dan menahan purusa dalam setiap makhluk menjadi jiwa-jiwa individu.
      Perkembangan prakerti dari yang satu menjadi yang banyak adalah perubahan bentuk, suatu transformasi, bukan suatu perubahan tempat. Ini secara sepintas merupakan logika di luar akal sehat, “bagaimanakah yang satu berkembang menjadi banyak, tanpa mengalami perubahan tempat, tidak mengambil tempat yang lain?” “Dengan cara bagaimanakah yang satu menjadi yang banyak itu tidak mengambil tempat?” Padahal satu dan banyak adalah kasus kuantitas yang di dalamnya tidak dapat dihindari bahwa pembahasannya haruslah berdasarkan logika deduktif dan pembicaraan perkara tersebut haruslah seputar ruang dan waktu. “Bagaimanakah sebuah perkembangan dapat terjadi tanpa harus terikat dan tergantung pada ruang dan waktu?” Di sini rupanya Sankhya hendak menjelaskan tentang perubahan dalam satu waktu dan tempat secara simultan, bukan berurutan sehingga di dalamnya tiada waktu berbicara tentang ruang. Demikian juga Sankhya mengatakan bahwa perubahan itu tidak hanya terjadi dalam satu jurusan saja, melainkan dalam banyak jurusan. Ini juga menunjukkan suatu perubahan sebagai sebuah kemungkinan, tentang masa depan secara empiris sehingga tidak bisa diramalkan arah perkembangannya. Masa depan adalah sejarah tentang hari esok, sesuatu yang sarat dengan ketidakmungkinan, dan ketidakpastian sehingga mengalami perubahan ke banyak jurusan. “Siapakah yang bisa mengatakan mengenai pengalamannya di esok hari?” Walaupun pengalaman tersebut adalah hal yang sangat nyata. Demikianlah Sankhya menunda makna atas realitas dan mengundang para penikmat (hidup) memberikan makna sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
            Sankhya juga menjelaskan bahwa perkembangan prakerti terjadi secara berkala. Artinya, ada masa perkembangan dan masa peleburan. Inilah alasan bagi Bhagavadgita mengatakan bahwa realitas itu adalah ilusi sebagaimana diajarkan Sankara-charya dalam filsafat Advaita. Semua manifestasi datang dan pergi sesuai dengan masa perkembangan (srsti) disusul oleh masa peleburan (pralaya). Pagi hari adalah masa kebangkitan, Weda, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kebijaksanaan saatnya berkembang dan diperebutkan dalam sebuah permainan kehidupan. Sebaliknya, malam hari adalah masa peleburan, saatnya istirahat setelah mengalami kelelahan permainan kehidupan, segala sesuatu ditidurkan. Pada masa peleburan itu seluruh keanekaragaman alam semesta ini terpendam atau ditidurkan di dalam prakerti.
Perputaran masa ini tidak ada batasnya karena yadnya tidak pernah henti-henti keluar dari Prajapati dan semua makhluk menikmatinya sebagai karma, yang menjebaknya untuk mengulang kembali, samsara. Ini mengandaikan adanya waktu yang berlimpah dan di dalamnya segala manifestasi terikat dan bergantung (eksis), sebagaimana manusia terikat pada masa lalunya (dalam berbagai tindakan, karma, sebagai kausa material) dan bergantung pada masa depannya (dalam berbagai keinginan, sebagai kausa efisien) karena yang sekarang juga segera berlalu dan terlupakan (sebagai kausa formal). Perputaran waktu terhenti, apabila purusa telah sampai kepada kesadaran murninya, sebagai purusa (kausa final). Sankhya mempertahankan bahwa masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang ditentukan oleh mode-mode spesifik atau upadhi-upadhi yang riil dan satu waktu riil tidak ada gunanya. Satu waktu eternal tidak dapat dibagi menjadi masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Demikianlah siklis waktu dalam wajah evolusi dan involusinya menjadi bagian penting dalam penelusuran filsafat Sankhya berikutnya. 
            Perkembangan prakerti mulai, bila keseimbangan kekuatan triguna terganggu. Pada tahapan pertama dari perkembangan itu satvam lebih berkuasa daripada kedua guna lainnya, karenanya hal-hal yang dihasilkan adalah hal-hal yang didominir oleh satvam yang terang dan menerangi. Pertama-tama dari prakerti timbullah mahat yang agung. Mahat adalah benih dunia ini. Segi kejiwaan atau psikologisnya disebut buddhi yang memiliki sifat-sifat kebajikan (dharma), pengetahuan (jnana), tidak bernafsu (wairagya), dan ketuhanan (aiswarya). Perbedaan antara mahat dan buddhi adalah azas kejiwaan, tetapi buddhi bukanlah purusa dan roh yang tidak bersifat kebendaan. Buddhi adalah sat yang halus dari segala proses mental, kecakapan untuk membeda objek atau hal-hal yang bermacam-macam, serta menerimanya seperti apa adanya. Fungsinya adalah untuk mempertimbangkan serta memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh alat-alat yang lebih rendah daripadanya (manas dan ahamkara). Buddhi adalah unsur kejiwaan yang tertinggi. Instansi terakhir bagi segala macam perbuatan moral dan intelektual.
Ini menunjukkan bahwa waktu pesimistis dari Sankhya sejalan dengan ajaran waktu dalam Yuga yang bergerak dari masa emas, masa perak, masa perunggu, dan masa tembaga. Ini menyebabkan zaman kali yuga tidak bisa lebih baik daripada zaman kerta yuga dan zaman-zaman sebelumnya karena aliran waktu bergerak dari hal yang terbaik hingga hal yang terburuk. Seperti ajaran tentang penciptaan dalam Siwattwa bahwa penciptaan dimulai dari unsur yang paling halus hingga yang paling kasar dan sebaliknya, peleburan dimulai dari yang paling kasar hingga yang paling halus. Ini merupakan konsep tentang waktu yang berlapis-lapis sehingga pikiran yang material tidak bisa merekam pengalaman yang bukan bersifat materi menyebabkan manusia melupakan waktu kelahiran yang terdahulu. 
            Dari buddhi (mahat) timbullah ahamkara, azas individual, yang menimbulkan individu-individu. Ahamkara inilah yang menyebabkan segala sesuatu memiliki latar belakangnya sendiri-sendiri. Ini berarti ahamkara yang menyebabkan segala sesuatu itu menjadi eksis pada dirinya sendiri dan berbeda dari yang lain. Seperti dengan mudah dibedakan antara bangsa manusia, baik dengan bangsa hewan maupun dengan bangsa tumbuh-tumbuhan. Dengan cara yang sama juga dengan mudah dilakukan pembedaan antara sesama manusia, sesama hewan, dan sesama tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian, ahambara bukanlah kualitas atau sifat dari sesuatu karena ahamkara juga memiliki segi ‘yang kosmis’ dan ‘yang jiwani’. Dari segi yang kosmis timbullah subjek dan objek yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Dari segi yang jiwani timbullah “rasa diri manusia”, ego, aku. Dari ahamkara-(mahat) timbul karma kosmis, tindakan alam semesta; sedangkan dari ahamkara-(buddhi) timbul karma individu, tindakan perorangan. Kebenaran, Kebijaksanaan, dan Kebahagiaan adalah harmoni dari kedua tindakan tersebut.
            Setelah ahamkara, perkembangan prakerti menuju kedua jurusan, yaitu jurusan yang semata-mata bersifat kejiwaan di mana satvam lebih berkuasa daripada guna-guna yang lain. Jurusan jasmani atau fisis, di mana tamas-lah yang merajainya. Di dalam perkembangan ini rajas semata-mata berfungsi sebagai tenaga yang memberi dinamika serta kekuatan kepada kedua guna yang lain. Barangkali dapat diandaikan pada tahapan perkembangan ini ibaratnya sebuah arloji bandul. Apabila rajas memukul sattvam, maka sifat-sifat kejiwaan (yang terang dan menerangi) itulah yang dominan yang menguasai seseorang. Sebaliknya, apabila rajas memukul tamas, maka sifat-sifat fisislah (kemalasan, acuh tidak acuh) itulah yang dominan menguasai seseorang. Rajas sebagai pusat kekuatan tindakan inilah yang harus dikuasai dan dikendalikan, agar rajas memukul salah satu di antara kedua sifat-sifat itu secara tepat (ruang dan waktu) sehingga tindakan yang muncul senantiasa harmoni antara karma individu dan karma kosmis. Bhagavadgita menjelaskan bahwa manusia adalah instrumen, isvara-isvara kecil yang tidakluk, berkesadaran terbatas, berbeda dengan Isvara, Tuhan yang berkesadaran semesta. Ini yang menjadi bagian penyempuranaan dari sistem filsafat Yoga karena Sankhya tidak memabahas tentang eksistensi Tuhan.
            Perkembangan kejiwaan yang pertama adalah manas, alat pusat yang bekerjasama dengan indera-indera untuk mengamati kenyataan-kenyataan di luar manusia. Manas berasal dari akar kata “man” artinya berpikir. Manas atau pikiran yang muncul dari Sattvika Ahankara merupakan organ indera yang sentral dan halus. Ia berhubungan dengan beberapa organ indera pada saat yang sama. Tanpa panduan manas, indera-indera tidak dapat menunaikan fungsinya dengan baik dalam hubungannya dengan objek-objeknya. Manas adalah organ sentral yang dapat melakukan fungsi berkaitan dengan hakikat pengetahuan dan tindakan. Menurut Sankhya, ia bukan eternal bukan pula atomis. Ia dibentuk oleh bagian-bagian sehingga dapat kontak dengan indera-indera yang berbeda secara simultan. Sankhya memberikan fungsi penting manas mensintesakan indera-data ke dalam persepsi terbatas, meneruskan mereka kepada ego, dan membawa pesan-pesan ego melalui organ-organ motorik. Ini menunjukkan bahwa tugas manas ialah untuk mengkoordinir perangsang-perangsang keinderaan dan mengaturnya sehingga menjadi pentunjuk-petunjuk, dan meneruskannya kepada ahamkara dan buddhi. Sebaliknya, juga manas bertugas untuk meneruskan putusan-putusan kehendak buddhi kepada alat-alat yang lebih rendah (panca indera – buddhendriya). Buddhi, ahamkara, dan manas ini bersama-sama disebut alat batin, antahkarana.
            Dari yang telah diuraikan di atas jelaslah bahwa perkembangan prakerti pertama-tama dimaksudkan hendak melengkapi keperluan purusa, yaitu dengan menimbulkan atau melahirkan peralatan yang paling penting bagi pengalaman hidup. Perkembangan kedua adalah panca indera (buddhendriya atau jnanendriya), penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Perkembangan kejiwaan yang ketiga adalah karmendriya, indera untuk berbuat, yang terdiri atas daya berbicara, daya memegang, daya berjalan, daya membuang kotoran, dan daya mengeluarkan sperma. Kesepuluh indera ini tidak dapat diamati, tetapi berada di dalam alat-alatnya yang tampak, dan harus dibedakan dengan alat-alat itu. Hanya dengan perantaraan alat-alat yang tampak itulah orang dapat mengamati serta mengenal objek-obyek di luarnya. Artinya, indera-indera dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu lima indera berhubungan dengan pengetahuan atau kekuatan kognisi disebut Jnanendriya dan lima indera yang berhubungan dengan aktivitas atau kapasitas melakukan tindakan disebut Karmendriya. Kekuatan-kekuatan ini berevolusi untuk membentuk dunia sebagai sebuah sistem tujuan atau objek-objek keinginan. Fungsinya untuk memberikan posisi  kepada objek-objek.
            Jnanendriya terdiri atas kekuatan-kekuatan, antara lain kekuatan untuk mendengar atau menyimak (srota), kekuatan untuk merasakan (tvak), kekuatan untuk melihat (caksu), kekuatan untuk mengecap (rasana), dan kekuatan untuk mencium (ghrana). Karmendriya adalah kekuatan untuk wicara atau ujaran (vak), kekuatan untuk melakukan pembuangan (upastha), kekauatan untuk melakukan senggama (payu), kekuatan untuk menangkap (pani), dan kekuatan untuk bergerak (pada). Indera-indera tersebut hanyalah merupakan kapasitas yang bersifat laten yang ada pada pikiran (manas) untuk memahami dan bertindak dalam satu dari lima indera. Mereka adalah kekuatan yang memerlukan instrumen melalui mana mereka berfungsi. Semua indera muncul secara simultan dengan pikiran (manas) dan diklasifikasikan sebagai evolut (tattva) karena mereka dihasilkan, dan bukan menghasilkan mode-mode baru suatu entitas. Kesepuluh indera tidak akan memiliki eksistensi riil tanpa objek-objek. Contohnya, kekuatan mendengar tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa sesuatu yang didengar, suara. Begitu pula dengan indera yang lainnya, seperti merasakan, melihat, merasakan, dan mencium. Mereka harus memiliki sesuatu dengan mana mereka dapat melaksanakan tugasnya. Begitulah kesepuluh indera ini memanifestasikan dirinya, pasangannya berupa elemen halus (tanmatra) muncul.
            Istilah ‘tanmatra’ diterjemahkan sebagai ‘semata-mata itu’ atau ‘ke-itu-an’. Mereka adalah esensi dari rupa (rupa), bau (gandha), rasa (rasa) , sentuhan (sparsa), dan suara (sabda). Tidak seperti Nyaya-Vaisesika, mereka tidak diturunkan dari elemen-elemen kasar, melainkan elemen kasar muncul dari mereka. Mereka bukan sifat-sifat, bukan pembeda elemen-elemen kasar, bukan pula fungsi-fungsi yang merupakan organ-organ sensori, tetapi esensi halus yang menyebabkan elemen-elemen kasar juga menghasilkan sifat-sifat mereka. Dari esensi suara (sabda-tanmatra) muncul elemen ether (akasha) bersama-sama dengan sifat suara. Dari esensi sentuhan berpadu dengan esensi suara, muncul elemen udara bersama-sama dengan sifat-sifat suara dan sentuhan. Dari esensi halus warna atau penglihatan dikombinasikan dengan suara dan sentuhan, muncul elemen api dan sinar bersama-sama dengan kualitas suara, sentuhan, dan warna. Dari esensi rasa bersama-sama dengan suara, sentuhan, dan warna muncul elemen air bersama-sama dengan sifat-sifat suara, sentuhan, dan rasa. Hingga terakhir, dari esensi penciuman dipadukan dengan suara, sentuhan, dan rasa, mucul elemen tanah bersama-sama dengan sifat suara, sentuhan, warna, rasa, dan penciuman.
            Dengan demikian, perkembangan jasmaniah (pisik) menghasilkan azas dunia yang di luar manusia, yaitu yang disebut lima anasir. Perkembangan ini melalui dua tahapan. Pada tahapan yang pertama, kelima anasir itu masih halus disebut tanmantra. Ada lima tanmantra,  yaitu sari suara, sari raba, sari warna, sari rasa, dan sari bau. Dari sini jelas bahwa tidak ada perbedaan antara substansi dan kualitas, seperti yang terdapat pada Waisesika. Keduanya mewujudkan suatu kesatuan. Oleh karena kombinasi anasir-anasir yang halus inilah timbul anasir-anasir yang kasar di dalam tahap perkembangan kedua. Dari anasir suara timbul akasa (ether, atau juga ruang), dari kombinasi anasir suara dan raba timbulah hawa (wayu), dari gabungan anasir suara, raba, dan warna timbulah api (agni), dari anasir suara, raba, warna, dan rasa timbulan air (apah), dan dari gabungan anasir suara, raba, warna, rasa, dan bau timbulah bumi (prthiwi). Berhubung dengan itu, maka anasir yang kasar memiliki tabiat yang sesuai dengan unsur yang membentuknya, yaitu ruang memiliki tabiat rasa dan bumi memiliki tabiat bau.
            Akhirnya, dari anasir kasar berkembanglah alam semesta dengan segala isinya, bumi dengan gunung-gunungnya, sungai-sungainya, pohon-pohonnya, binatang-binatangnya, manusia-manusianya, segala yang hidup, dan lain sebagainya. Semuanya itu hasil dari perubahan yang terjadi pada prakerti. Akan tetapi, perkembangan yang terakhir ini berbeda bila dibanding dengan pekembangan yang pertama, yang terjadi dimulai dari mahat hingga anasir kasar. Oleh karena perkembangan yang terakhir ini tidak menimbulkan azas-azas baru, seperti yang terjadi pada mahat, ahamkaran, dan seterusnya, di mana tiap kali ada azas baru dilahirkan. Terjadinya gunung-gunung, sungai-sungai, dan sebagainya itu semeta-mata adalah hasil penyusunan anasir kasar itu dengan cara yang bermacam-macam. Jadi, anasir kasar tetap berada di dalam segala sesuatu yang di hasilkan. Hal ini digambarkan dengan sebuah “batu dadu” dalam permainan dadu. Batu itu dijatuhkan dengan cara yang bermacam-macam dan setelah jatuh menunjukkan seginya yang bermacam-macam (yang dengan titik-titik satu, atau dua, atau tiga, dan seterusnya), tetapi batu dadu itu tetap sama. Segi batu yang bermacam-macam itu bagi kita mempunyai arti yang bermacam-macam juga. Demikianlah halnya juga dengan alam semesta dengan isinya yang beraneka ragam ini. Dalam perkembangan yang terakhir ini terjadi bermacam-macam perubahan, dan perubahan-perubahan itu senantiasa bergantian di dalam batas-batas suatu masa (sebatang pohon tumbuh, mati, diuraikan, dan dikembalikan kepada anasir yang menyusunnya, yaitu anasir bumi, air, dan lain-lainnya). Akan tetapi, perkembangan yang pertama (yaitu mulai dari mahat hingga anasir kasar) tetap senantiasa ada pada sepanjang perputaran masa dan hanya akan diuraikan pada akhir perputaran masa itu.
            Segala sesuatu yang dirajai oleh tamas kebanyakan termasuk dunia benda, di antaranya ada sebagian yang termasuk bagian bingkai badan manusia, artinya bersifat badani atau fisis. Akan tetapi, segala sesuatu yang dirajai oleh sattvam juga bersifat badani atau fisis sebab semuanya itu dilahirkan oleh prakerti. Sekalipun demikian karena kodratnya yang lebih halus segala sesuatu yang dirajai sattvam ini membantu purusa dalam menyatidakan objek-objek yang di luar manusia. Sebab purusa sendiri bersifat pasif pada dirinya sendiri tidak mampu untuk mendekati serta mengerti sesuatu. Aktivitas hal-hal yang dirajai sattvam itu diperlukan bagi persyaratan hidup mental. Seluruh peralatan yang terdiri atas alat batin (antahkarana) dengan segala alat bantuannya yang bermacam-macam, yaitu sepuluh indera dan lima tanmatra itu bertabiat badani atau fisis dan menjadi syarat mutlak bagi purusa untuk mendapatkan pengalaman. Semuanya itu bersifat khusus pada setiap orang dan menyertai orang dalam seluruh kehidupannya di dalam dunia ini (samsara) serta disebut tubuh halus (lingga sarira). Tubuh ini tidak akan terpisah dari seseorang, juga jika ia mati. Tubuh ini hanya dapat dipisahkan dari manusia, bila ia telah mendapatkan kelepasan yang sempurna. Tubuh yang tampak ini disebut badan kasar (stula sarira). 
            Manusia berada di dalam samsara, artinya ia dibelenggu oleh kelahiran kembali. Hal ini disebabkan karena ia tidak mampu untuk membedakan antara purusa dan prakerti. Purusa-nya yang sebenarnya adalah penonton, dianggap sebagai ikut aktif di dalam segala perbuatan prakerti. Hal yang demikian sudah barang tentu mempengaruhi alat-alat batinnya (antahkarana), yaitu budhi, ahamkara, dan manas. Sebelum mendapat kelepasan alat-alat batin ini bersama-sama dengan tubuh halusnya dilahirkan kembali dari tubuh kasar yang satu kepada tubuh kasar yang lain. Oleh karena itu, tubuh halus ini sebenarnya adalah tempat kegirangan dan kesusahan, dan pembetukan watak manusia. Tubuh halus itu digambarkan sebagai pemain sandiwara yang memainkan peranan dalam bermacam-macam babak permainan. Kesatuan tubuh halus dan tubuh kasar menghasilkan kelahiran. Pada waktu orang mati kedua tubuh itu dipisahkan, tetapi tubuh halusnya akan dilahirkan dalam tubuh kasar yang lain yang baru. Adanya tubuh halus serta kelahiran kembali ini akan berlangsung terus sepanjang perputaran masa ini. Dalam Bhgavadgita, bab II:12--20 dijelaskan ajaran tentang roh sebagai berikut.
a.                   Baik Aku, engkau, maupun para pemimpin ini tak pernah tidak ada sebelumnya, ataupun akan berhenti adanya, sekalipun sesudah mati.
b.                  Sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa muda, dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya badan baru (II:13).
c.                   Sesungguhnya hubungannya dengan benda-benda jasmaniah, menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar (II:14).
d.                  Sesungguhnya orang yang teguh pikirannya, yang merasakan sama antara susah dan senang, orang seperti inilah yang patut hidup kekal abadi (II:15).
e.                   Apa yang tidak ada, tak akan pernah ada (dan) apa yang ada tak akan berhenti ada, kesimpulannya keduanya telah dapat dimengerti oleh para pengamat kebenaran (II:16).
f.                    Sesungguhnya yang meliputi semua ini tak dapat dihancurkan. Tak seorangpun dapat memusnahkan yang tak mengenal kemusnahan itu (II:17).
g.                  Sesungguhnya, raga dari jiwa yang langgeng, tak terhancurkan dan tak terbatas ini, juga akan berakhir; (II:18).
h.                  Sesungguhnya, yang memikirkan ia sebagai pembunuh dan yang berpendapat bahwa ia dapat dibunuh keduanya adalah dungu, karena ia tak pernah membunuh dan dibunuh (II:19).
i.                    Ini tak pernah lahir, juga tak pernah mati atau setelah ada tak akan berhenti ada. Ia tak dilahirkan, kekal, abadi, sejak dahulu ada; dan Dia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati (II:20)”.
            Sebenarnya purusa memiliki sifat berada di mana-mana, tetapi pernyataan kehadirannya di dalam dunia ini (pada waktu samsara) tidak pernah terjadi di luar batas-batas tubuhnya, yang dengannya purusa dihubungkan pada waktu ini. sehubungan dengan itu, purusa dan prakterti tampaknya berbuat sebagai satu aku, satu pribadi. Akan tetapi, sebenarnya hanya mengenai pribadi manusia yang dapat diamati saja, jadi bukan kebenaran yang tertinggi. Pribadi yang benar, pribadi yang tertinggi adalah purusa. Dengan mengetahuai purusa itu berbeda dengan prakerti, maka orang akan lepas dari kelahiran kembali. Dengan demikian, ia tidak akan hidup lagi dalam ketidaktahuan. Jika orang mendapat kelepasan, purusa akan menjadi “tidak berteman”, artinya, purusa akan dilepaskan daripada prakerti. Ia akan melihat dirinya sendiri saja. Jadi, kebebasan dari penderitaan harus datang dari pengetahuan pembedaan antara tentang roh dan bukan roh (vivikajnana). Akan tetapi, pengetahuan penyelamat ini bukanlah semata-mata pemaham intelektual tentang suatu kebenaran. Ia haruslah pengetahuan langsung atau realisasi yang jelas tentang fakta bahwa roh (purusa) bukanlah tubuh dan indera-indera, pikiran (manas) dan intelek (buddhi).
Pengetahuan langsung tentang kebenaran diperlukan untuk mengenyahkan  ilusi (khayalan) tubuh atau pikiran sebagai roh.  Pengetahuan  tentang roh berbeda dari semuanya ini haruslah secara sama merupakan persepsi langsung, bila hal ini dipakai untuk menentang dan menghentikan yang terjadi sebelumnya. Untuk merealisasikan roh dibutuhkan latihan-latihan spiritual bersifat mistis dalam disiplin diri yang panjang dan berkesinambungan dengan penuh pengabdian dan kontemplasi konstan. Pada akhirnya ditemukan bahwa roh bukanlah tubuh atau indera-indera. Metode untuk mendapatkan pengetahuan benar ini diberikan oleh sistem filsafat Yoga sebagai aspek praktis dari sistem filsafat Sankhya. Itulah sebabnya ketika membicarakan Sankhya tidak bisa lepas dari Yoga. Yoga menerima hampir seluruh aspek-aspek metafisika sistem filsafat Sankhya. Demikianlah ajaran Sankhya (teoretis) tidak dapat dipisahkan dari Yoga (praktik) merupakan satu kesatuan holistik, bahkan Bhagawadgita menegaskan bahwa dengan melaksanakan salah satu di antaranya akan memperoleh pahala dari keduanya.
Purusa dapat dilepaskan dari ikatan prakerti melalaui pengetahuan benar dalam kesadaran penuh, pengetahuan tentang purusa-prakerti sebagai azas segala sesuatu. Untuk itu orang harus menindas vrtti, yaitu dengan meniadakan klesa (panca klesa). Klesa-klesa itulah yang mewujudkan satu fungsi menjadi dasar pembentukan karma. Karma inilah yang menimbulkan ketidaktahuan (avidya). Jadi, dalam hidup kejiwaan, terdapat suatu perputaran yang tiada putus-putusnya, perputaran vrtti, kecenderungan -kecenderungan, klesa-klesa, ketidaktahuan, sangka diri, terikat kepada nafsu, keengganan untuk menderita, dan keinginan hidup lama. Ini sebabnya tujuan sistem Yoga untuk mematahkan perputaran yang tiada putus-putusnya itu, yakni dengan secara bertahap meniadakan segala klesa serta memberhentikan vrtti. Akhirnya, manusia terbebas dari tiga macam duhkha, yaitu adhyatmika-duhkha (penderitaan yang disebabkan oleh perilaku salah, seperti penyakit misalnya); adhibhautika-duhkha (penderitaan yang muncul sebagai akibat dari hubungan manusia dengan makhluk lain, seperti virus, bakteri, ular, harimau, pencuri, dan lain sebagainya); dan adhidaivika- duhkha (penderitaan yang muncul sebagai akibat dari hubungan antara manusia dengan alam sekitar, seperti elemen-elemen dan kekuatan-kekuatan halus, gempa bumi, gunung berapi, banjir, stunami, dan lain sebagainya).
            Kebebasan dari klesa dan duhkha tersebut dapat dicapai melalui upaya yang serius dan sunggung-sungguh secara terus-menerus (abhyasa) dan keadaan yang tanpa nafsu atau tidak terikat pada objek-objek bendani (vairagya). Hanya dengan usaha melepaskan diri dari nafsu-nafsu, maka manusia dapat membedakan antara pribadi dan yang bukan pribadi, antara roh dan bendani, antara purusa dan prakerti. Usaha ini dijelaskan dalam bentuk delapan tingkatan Yoga, yang disebut Astanga-Yoga. Astangga-Yoga, terdiri atas delapan cara mempraktikkan atau mendemontrasikan ajaran Yoga, yaitu pengekangan diri (yama), pengamatan (niyama), sikap tubuh (asana), pengaturan nafas (pranayama), penarikan indera dari obyek-obyeknya (pratyahara), pemusatan perhatian (dharana), permenungan atau meditasi (dhyana), dan pemusatan yang sempurna atau tafakur (samadhi). Delapan anggota Yoga ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mulai dari pengekangan diri (yama) sampai dengan penarikan indera dari obyek-obyeknya (pratyahara) disebut bahiranga, yakni pertolongan-pertolongan tidak langsung atau dari luar. Mulai dari pemusatan perhatian (dharana) sampai dengan pemusatan sempurna atau tafakur (samadhi) disebut antaranga, yakni pertolongan-pertolongan langsung atau dari dalam diri. Bagian pertama dapat dibagi menjadi dua, yaitu persiapam etis, terdiri atas pengekangan diri (yama) dan pengamatan (niyama), dan persiapam badani, terdiri atas sikap tubuh (asana), pengaturan nafas (pranayama), dan penarikan indera dari obyek-obyeknya (pratyahara). Bagian kedua dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama permenungan terdiri atas pemusatan perhatian (dharana) dan meditasi (dhyana), dan kedua pemusatan pikiran atau tafakur (samadi).
Pengekangan diri (yama) dan pengamatan (niyama) mewujudkan asas etis Yoga. Patanjali mengajarkan bahwa pengekangan diri (yama) terdiri atas lima peraturan moral, yaitu (1) tidak merugikan (ahimsa), yang melarang orang menyiksa, melakukan pembunuhan, berbuat tidak adil, membenci dengan cara bagaimanapun; (2) mengucapkan yang benar (satya) yang berarti bahwa orang tidak boleh berbuat curang, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain; (3) tidak mencuri (asteya), yang melarang orang mencuri atau menyalahgunakan milik orang lain; (4) menjauhkan diri dari perbuatan seksual (brahmacarya), yang melarang orang berbuat mesum, berzinah; (5) menolak milik (aparigraha), yang mengandung arti bahwa orang tidak boleh kikir. Inilah peraturan moral yang besar (mahavrata), yang berlaku secara umum bagi semua orang tanpa mengingat akan kasta, tempat, waktu, dan keadaan. Sementara itu, pengamatan (niyama) meliputi lima peraturan, yaitu (1) kemurnian atau kesucian (sauca) secara lahir dan batin; (2) kepuasan (santosa), menerima apa adanya; (3) kesederhanaan (tapas), tidak memanipulasi; (4) pelajaran (svadhyaya), mempelajari kitab suci, paravidya, brahmavidya; dan (5) penyembahan kepada Tuhan (iswarapradidhana).
Kesepuluh peraturan moral ini disebut Hukum Sepuluh dari sistem Yoga, yang pertama-tama harus dilaksanakan oleh orang-orang yang hendak melakukan praktik  Yoga. Sebagai peraturan moral, hukum sepuluh itu bersifat mengikat karena di atasnya bersandar aktivitas-aktivitas Yoga selanjutnya, baik asana, pranayama, dharana, dhyana, maupun samadhi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hidup etis yang tinggi itu menjadi persiapan asasi dari Yoga sehingga pedoman moral senantiasa menjadi perhatian utamanya. Menjadi orang “baik”, berbudi pakerti luhur dan berakhlak mulia merupakan cita-cita pertama yang harus dicapai sebelum mendemontrasikan kehidupan yogin. Ini dimensi individual dan sosial yang wajib dipenuhi karena harmoni kehidupan sosial merupakan cerminan dari keselarasan kehidupan individual. Artinya, sistem Yoga menekankan pentingnya kehidupan spiritual, tetapi Yoga lebih mengutamakan harmoni kehidupan sosial dan keselarasan manusia dalam lingkungan alam. Sebagaimana dimaksudkan dalam ajaran yama dan niyama (pengekangan diri dan pengamatan) yang menekankan kepada hubungan selaras antara perorangan dan masyarakat, antara manusia dan segala makhluk, serta antara manusia dan Tuhan. Ini alasan terbaik, mengapa ajaran Yoga dimulai dari pembentukan manusia berbudi luhur dan berakhlak mulia. Dengannya diyakini manusia mampu melakukan pilihan-pilihan dalam hidupnya sesuai dengan kodratnya yang semata-mata bukan material.
Pemahaman ini dapat mengantarkan kesadaran pada samadhi. Pemusatan pikiran menjadi demikian mendalam sehigga objek perenungan itu menarik seluruh perhatian, dan citta menjadi abstrak, menjadi seolah-olah kosong dari dirinya sendiri. Inilah suatu keadaan ekstase, segala hubungan dengan dunia luar ditiadakan dan dipatahkan sama sekali. Di sini purusa ditarik dari keadaan yang serba berubah dan bersifat sementara dan ditempatkan di dalam hidup yang sederhana, kekal, dan sempurna. Purusa menerima kembali status yang semula, yang murni, tanpa penetapan, tanpa atribut sehingga tabiat kemanusian yang biasa, yang memberikan berbagai nama-rupa ditinggalkan. Sang Yogin yang mencapai tingakatan samadhi memiliki kecakapan-kecakapan yang luar biasa, ia memiliki kemampuan yang diperluas (siddhi). Umpamanya, dapat mengetahui segala sesuatu terlebih dahulu, dapat melihat jarak jauh, dapat melihat yang lampau atau yang akan datang, dapat mendengar yang sangat jauh, dan lain sebagainya. Siddhi hanyalah bagian lain dari proses Yoga. Perluasan kemampuan ini bukan tujuan dalam belajar Yoga karena kemampuan mistis bukan alat untuk meraih kebenaran, kebijaksanaan, dan kebahagiaan.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...