PELAYANAN PUBLIK

SEWAKA DHARMA
Landasan Ideal Pelayanan Publik

I Wayan Sukarma


1.      Pendahuluan
Modernisasi di Indonesia lebih dekat disebut pembangunan. Pembangunan merupakan jalan yang dipilih para pemimpin bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat yang makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran (Aziz, 2003:109). Untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan ini kemudian, modernisasi diartikan sebagai perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan tradisional atau masyarakat pramodern menuju kepada suatu masyarakat modern. Dengan demikian, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi dan organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis. Dalam hal ini, modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial yang terarah (direct change) didasarkan pada suatu perencanaan sosial (social planning).
Ciri-ciri modernisasi ditunjukkan, antara lain oleh cara berpikir ilmiah yang melembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat. Sistem administrasi negara yang baik dan yang benar-benar mewujudkan birokrasi. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga. Penciptaan iklim yang menyenangkan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa. Tingkat organisasi yang tinggi, walaupun pada satu pihak berarti disiplin, sedangkan pada lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan. Berikutnya, modernisasi memiliki ciri-ciri sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial (Sardjono, 2004:38). Ini menegaskan bahwa birokrasi mempunyai peran strategis dalam perubahan sosial yang sedang dan akan berlangsung.
Budaya modern, bahkan telah mendorong manusia modern membangun identitasnya melalui partisipasi sosial yang lebih intens. Manusia modern ditandai dengan munculnya masyarakat berorganisasi (organizational society) dan masyarakat birokrasi (bureaucratic society). Kemunculan masyarakat berorganisasi dan birokrasi ini pada dasarnya seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak asasi, hak-hak demokrasi, dan kebebasan individu. Peran pemerintah sebagai agen perubahan (the agent of change) sesungguhnya telah berpartisipasi dalam membangun masyarakat seperti ini. Oleh karena itu, mau tidak mau, modernisasi selalu berhubungan erat dengan kinerja pemerintah itu sendiri. Hubungan antara masyarakat modern dan pemerintah ditunjukkan Sutopo dan Suryanto (2006:3) sebagai berikut.
(a)      Manusia modern yang semakin cerdas menuntut lebih banyak dari pemerintahnya. Oleh karena itu, juga pemerintah harus berbuat lebih banyak bagi warganya.
(b)     Tingkat pendidikan yang semakin tinggi mengakibatkan masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, juga semakin pintar dalam menuntut hak-haknya, meskipun terkadang tidak diimbangi dengan meningkatnya kesadaran terhadap kewajibannya kepada negara, bangsa, dan pemerintah.
(c)      Kebudayaan yang dicapai semakin lama semakin tinggi. Dalam arti bahwa kesadaran masyarakat terhadap norma-norma kemanusiaan, nilai-nilai sosial, harkat, dan martabatnya, juga semakin tinggi. Ini memberikan tuntutan agar kepribadian dan hak-hak hidupnya dihargai, bukan saja oleh orang lain, tetapi juga oleh pemerintah.
Sebelum budaya modernitas terlalu jauh mengasingkan masyarakat ke dalam suasana ketakberartian pribadi (Anthony Giddens) dan semakin melemahnya kesadaran kolektif (Emile Durkheim) kiranya, diperlukan semacam antisipasi budaya, yaitu upaya penyelarasan perkembangan budaya modernitas dengan budaya tradisional. Selain itu, juga antisipasi budaya ini diperlukan karena budaya modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis (Karl Marx) serta kota dan ekonomi uang (George Simmel) (Ritzer & Goodman, 2003:551). Kota adalah tempat budaya modernitas dipusatkan atau diintensifkan, sedangkan ekonomi uang menyebabkan penyebaran budaya modernitas dan perluasannya (Ritzer & Goodman, 2003:551). Atisipasi budaya sebagai upaya penyelarasan budaya yang ditawarkan pada prinsipnya telah dilaksanakan Pemerintah Kota Denpasar melalui penggunaan Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik.
Pengalaman mengenai pelayanan Sewaka Dharma mungkin telah memberikan begitu banyak pengetahuan deskriptif-empiris untuk memperkaya pemahaman dalam rangka pengabdian. Akan tetapi, juga pengetahuan analitis-konseptual tentang Sewaka Dharma kiranya diperlukan untuk membangun pengertian tentang pelayanan yang dapat memperkuat komitmen pada pengabdian itu sendiri. Sewaka Dharma adalah konsep pelayanan Hindu yang menekankan pada keselarasan pikiran, ucapan, dan tindakan pelayanan demi harmoni nilai-nilai kemanusiaan, kealaman, dan ketuhanan. Dharma adalah karma yang dalam kehidupan sehari-hari dipahami menjadi kewajiban. Kewajiban inilah bhakti, yakni pelayanan kepada sesama, alam, dan Tuhan. Pada prinsipnya tawaran ini sejalan dengan fungsi hakiki pemerintah, yaitu pelayanan (service) membuahkan keadilan, pemberdayaan (empowerment) mendorong kemandirian, dan pembangunan (development) menciptakan kesejahteraan.
Dalam hal ini, Sewaka Dharma merupakan kearifan khas Hinduisme yang diapresiasi Pemerintah Kota Denpasar menjadi idealisme pelayanan. Hal ini sejalan dengan pandangan Ishomudin (2002:36) bahwa pada zaman modern agama diharapkan dapat berperan lebih besar dalam pembangunan, baik dalam membangun sistem nilai, motivasi, pedoman hidup, maupun pembentuk kata hati. Agama merupakan sumber nilai yang pertama dan utama dalam rangka membangun spirit pelayanan khususnya bagi aparatur pemerintah. Oleh karena itu, kehadiran Sewaka Dharma dalam ranah praksis pelayanan Pemerintah Kota Denpasar merupakan undangan akademis yang menarik sekaligus menantang untuk dikaji. Mengingat kehadiran spirit agama di bumi menjadi tema penting dalam studi-studi agama kontemporer, apalagi Pemerintah Kota Denpasar merupakan satu-satunya pemerintah yang melaksanakan pelayanan publik berdasarkan Sewaka Dharma. Ini merupakan kreativitas asli (genuine creativity) Pemerintah Kota Denpasar sesuai dengan visi dan misi periode kepemimpinan Rai Mantra-Jaya Negara sehingga layak mendapatkan apresiasi akademis. Apresiasi ini meliputi, penjernihan konsep Sewaka Dharma, kewajiban pemerintah menurut Arthasastra, pelayanan Astabrata, menjadi Sang Sewaka Dharma, dan pengendalian diri dalam Sewaka Dharma.

2.      Penjernihan Konsep Sewaka Dharma
Sewaka Dharma merupakan konsep yang terdiri atas dua unsur, yaitu sewaka dan dharma. Pertama, kata “sevaka” (baca: sewaka) dalam Kamus Sansekerta-Indonesia (Astra, dkk., 1986:530) berarti menempati, menghuni, mempraktikkan, melayani, menghormati, pelayanan, dan menyembah. Sewaka merupakan terminologi penting dalam konsep bhakti. Disebutkan dalam Sabdakalpadruma (III.463b) bahwa bhakti dinyatakan sebagai vibagha (pembagian atau pemisahan antara penyembah dan yang disembah) dan seva (pemujaan atau pelayanan). Begitu juga, dalam Bhagavata Purana (VII.5.23), juga terdapat istilah “pada sevanam” yang berarti pelayanan kepada Tuhan termasuk melayani makhluk ciptaanNya. Kemudian, kata “sevaka” ini mengalami perluasan makna dan menjadi salah satu ide penting dalam pemikiran Ramakrishna Paramahamsa, guru suci Svami Vivekananda. Ramakrishna Paramahamsa mengajarkan keutamaan pelayanan “manawa sewa madhawa sewa” bahwa pelayanan kepada sesama manusia (manawa) yang sama artinya dengan pelayanan kepada Tuhan (madhawa). Dengan demikian, sevaka merupakan prinsip utama bhakti yang kemudian, diperluas maknanya menjadi prinsip kemanusiaan universal.
Lain daripada itu, juga kata “sewaka ditemukan dalam kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna. Dalam Kakawin Nitisastra (V.1) disebutkan, “Taki-takining sewaka guna widya” (‘seorang pembelajar wajib mengabdikan diri kepada pengetahuan dan keutamaan’). Kemudian, dalam lontar Silakramaning Aguron-guron, juga ditemukan beberapa kalimat yang menyebutkan, “Sang Sewaka Dharma”, antara lain “... Nihan silakramaning agurwan-gurwan, haywa tan bhakti ing guru kita sang sewaka dharma...” (‘inilah aturan berguru, janganlah engkau yang menuntut ilmu tidak berbhakti kepada guru...’). Dalam tradisi aguron-guron, kewajiban seorang murid adalah melayani sang guru sebagai wujud bhakti. Dengan demikian, kata “sewaka dalam kitab-kitab berbahasa Jawa Kuna juga mengandung arti yang lebih kurang sama dengan arti dalam bahasa Sansekerta, yakni sewaka berarti pelayanan atau pengabdian.
Kemudian unsur yang kedua, kata “dharma memiliki arti dan makna yang luas dan mendalam. Dharma berarti (1) kebajikan, kesucian, kebenaran; (2) kewajiban, hukum (Sura, dkk., 2002:29). Pengertian pertama merujuk pada esensi dharma, sedangkan pengertian kedua merujuk pada substansi dharma. Keduanya menegaskan bahwa dharma adalah prinsip tertinggi dalam ajaran agama Hindu. Dharma merupakan prinsip kehidupan yang terus-menerus hadir secara konsisten dan konsekuen sepanjang garis eksistensi manusia. Dharma menentukan jalan hidup, menetapkan aturan-aturan, kewajiban-kewajiban, serta mengarahkan manusia kepada tujuan tertinggi dalam kehidupannya. Di sini, dharma adalah ikatan yang membebaskan. Ini merupakan kebijaksanaan mahatinggi dalam upanishad bahwa melaksanakan kewajiban, aturan, hukum, baik alam, sosial maupun moral, akan menjauhkan manusia dari rasa ketakutan yang membelenggu jiwa. Dalam ranah spiritualitas, menghilangkan rasa takut adalah mutlak dilakuklan untuk menuju tingkatan yang lebih tinggi (Rama, 2002). Oleh karena itu, mereka yang selalu berjalan di jalan dharma, segala tujuan hidupnya pasti akan tercapai. Demikian juga berlaku sebaliknya, siapa saja meninggalkan jalan dharma, malapetakalah yang akan diperoleh. Dalam konteks ini, Hindu mengajarkan sebuah semboyan “dharma raksatah, dharma raksitah”, barang siapa yang menjaga tegaknya dharma, juga dharma yang akan menjaganya.
Sementara itu, dalam ranah praksis kehidupan, dharma berarti kewajiban-kewajiban, hukum-hukum, aturan-aturan, norma-norma, dan nilai-nilai yang mengejawantahkan kebenaran, kesucian, dan kebajikan. Dharma bagi manusia, baik sebagai individu maupun sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dharma agama dan dharma negara. Dharma agama bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk mendalami, menghayati, dan melaksanakan ajaran agama yang dianut dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam termasuk lingkungan. Sementara itu, dharma negara bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk turut serta menyukseskan pembangunan nasional yang dilaksanakan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan tersebut sewaka dharma mengandung arti bahwa pelayanan (sewaka) adalah kewajiban (dharma). Kewajiban dalam pelayanan ini melekat pada setiap asrama yang sedang dijalani manusia dalam kehidupannya. Demikian juga dalam setiap status ataupun profesi (warna) yang melekat dalam diri setiap insan, baik sebagai individu maupun sosial, kewajiban melaksanakan pelayanan (sewaka dharma) selalu melekat kepadanya. Baik itu kewajiban melayani Tuhan, melayani sesama manusia, maupun melayani alam dan lingkungannya. Ini merupakan spirit humanisme Hindu yang perlu-penting ditanamkan dalam diri setiap insan demi tercapainya tujuan kehidupan tertinggi (moksartham jagadhita ya ca iti dharma). Jadi, Sewaka dharma berarti bahwa pelayanan (sewaka) adalah kewajiban (dharma).

3.      Kewajiban Pemerintah menurut Arthasastra
Pengamalan Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik dimulai dengan kesadaran tentang kewajiban pemerintah. Tujuan utama sistem pemerintahan, antara lain menciptakan kesejahteraan. Berkaitan dengan tujuan ini, Arthasatra menawarkan beberapa prinsip bagi penyelenggara pemerintahan, antara lain (1) ketertiban hukum dan kinerja administratif; (2) adanya azas penghematan keuangan negara; (3) anggaran untuk belanja publik misalnya, membangun infrastruktur harus lebih besar dari anggaran lainnya; dan (4) sistem pembagian pendapatan berjenjang bagi para aparatur negara. Akan tetapi, prinsip kesejahteraan rakyat merupakan yang terpenting menurut Arthasastra (Radendra, 2005).
Keseluruhan tugas dan fungsi pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan merupakan wujud pelayanan negara kepada rakyat. Seluruh tugas ini hanya mungkin dilakukan, bila didukung oleh struktur yang efektif dan efisien, kultur yang profesional, transparan, dan akuntabel, serta aparatur yang memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi. Di sinilah kehadiran spirit Sewaka Dharma memegang peran penting untuk mewujudkan pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa sebagai syarat keberhasilan negara dalam mengemban kewajibannya. Pemerintah inilah yang mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, yaitu mengatur dan melayani. Tugas dan fungsi pelayanan lebih menekankan pada upaya mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu proses urusan publik, dan memberikan kepuasan kepada publik. Sementara itu, tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan (power) yang melekat pada posisi jabatan birokrasi tertentu. Dengan demikian, suatu pemerintahan dikatakan baik dan berhasil, bila sanggup-mampu melindungi, memberdayakan, dan menyejahterakan rakyat.
Pandangan Arthasastra tersebut, juga didukung Dharma Sasana dan Niti Raja Sasana. Dharma Sasana mengajarkan enam belas brata sebagai karakteristik pemimpin yang mumpuni. Demikian juga Niti Raja Sasana mengajarkan kewajiban pemimpin sebagai penguasa tunggal dunia (ratu), yaitu wijayasastra, sopadina, dan nagarajnana. Wijayasastra berarti raja yang kuat berbuat kebajikan, menerapkan bantuan yang sama kepada rakyat, menghilangkan ketakutan, menghilangkan angkara murka, berkata sopan dan manis, memberantas kebodohan di desa-desa, disegani oleh pendeta utama, belas kasih kepada orang sengsara, ikhlas memberi, tahu dengan tanggung jawab, itulah kewajiban pemegang pemerintahan. Sopadina berarti raja pantas berbudi suci, tidak silau dengan kekayaan, bersedekah tidak pilih kasih, terkenal di seluruh negeri. Nagarajnana berarti membuat keselamatan dunia, memperbaiki rumah-rumah yang rusak, jalan, dan jembatan, serta meringankan penderitaan rakyat.
Pada intinya, teks-teks tersebut menegaskan bahwa kewajiban pemerintah adalah mensejahterakan rakyat. Bila dirujuk lebih jauh bahwa teks-teks ini telah mengapresiasi negara kesejahteraan (welfare state), sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini memberi kejelasan bahwa teks-teks tersebut dapat diimplementasikan dalam sistem pemerintahan kekinian dalam rangka membangun negara kesejahteraan. Implementasinya dapat diwujudkan dalam bentuk pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan.
4.      Pelayanan Astabrata
Pelayanan publik merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun negara kesejahteraan. Berkaitan dengan Sewaka Dharma sebagai landasan ideal pelayanan publik di Kota Denpasar ditawarkan karakteristik pelayanan Asta Brata. Mengingat Asta Brata sebagai model pelayanan ideal Hindu mencakup aspek-aspek, antara lain sasaran, tujuan, sikap, dan perilaku pelayanan. Adapun karakteristik pelayanan Asta Brata dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
(1)   Indra Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Indra, yaitu dewa yang menurunkan hujan ke bumi untuk kesejahteraan manusia. Dalam konteks ini, tujuan pelayanan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
(2)   Surya Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Surya yang memberikan penerangan dan kehidupan kepada alam semesta dan segala isinya. Dalam konteks ini, pelayanan harus bersifat mendidik, mencerahi, dan akhirnya mampu memberdayakan masyarakat.
(3)   Bayu Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Bayu. Dia memberikan kehidupan dalam wujud nafas, memenuhi ruang dan tidak menyisakan satupun ruang yang tidak terjamah olehnya. Hal ini menegaskan bahwa pelayanan harus dekat, murah, cepat, dan akurat, serta menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
(4)   Yama Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Yama, yaitu dewa yang menegakkan keadilan di bumi. Dalam konteks ini, pelayanan harus dilaksanakan secara adil, merata, dan tidak membedakan golongan manapun.
(5)   Baruna (Waruna) Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Baruna, yaitu penguasa lautan sekaligus pelebur kekotoran manusia.  Dalam konteks ini, pelayan harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas seperti lautan sehingga mampu mengatasi permasalahan di masyarakat. Hal ini dapat diwujudkan, bila pelayanan didukung oleh struktur, kultur, dan aparatur yang kredibel, kapabel, dan berkompeten.
(6)   Chandra Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Candra, yaitu sifat-sifat bulan yang sejuk dan menyenangkan. Dalam konteks ini, pelayanan harus dilakukan dengan senyum, ramah-tamah, dan nyaman.
(7)   Agni Brata, menguraikan bahwa pelayan hendaknya meneladai sifat Hyang Agni yang selalu menyala dan berkobar. Sifat api yang membakar dimaknai sebagai kekuatan untuk menumpas segala kejahatan yang dapat merongrong kewibawaan negara. Oleh karena itu, pelayanan yang baik harus dilakukan dengan bersemangat dan mampu melenyapkan segala masalah yang dihadapi masyarakat.
(8)   Perthiwi atau Kuwera Brata, mengajarkan bahwa pelayan hendaknya seperti Hyang Perthiwi atau Kuwera, yakni  dewa-dewi penganugerah kekayaan dan kemakmuran bagi manusia, juga simbol dari kekayaan itu sendiri. Dalam konteks ini, pelayan masyarakat harus selalu tampil elegan dan berwibawa.

5.      Menjadi Sang Sewaka Dharma
Delapan karakteristik pelayanan Asta Brata tersebut merupakan fondasi untuk membangun karakter Sang Sewaka Dharma, yakni pelayan sejati. Dalam hal ini,  Sang Sewaka Dharma merupakan perpaduan yang sempurna antara prinsip hidup, kompetensi, dan perilaku dalam pelayanan. Sebagian merupakan faktor bawaan (karma wasana), tetapi sebagian besar lainnya dibangun melalui proses pembelajaran (sewaka guna widya). Oleh karena itu, Hindu mengajarkan proses pembelajaran seumur hidup untuk mengantarkan manusia pada kedewasaan dan kematangan diri. Hanya manusia dewasa dan matanglah yang bisa menjadikan dirinya Sang Sewaka Dharma.  
Prinsip hidup Sang Sewaka Dharma dilandasi ajaran Catur Marga Yoga, yaitu karma, bhakti, jnana, dan raja. Karma Yoga meletakkan prinsip bahwa manusia harus bekerja sesuai dengan swadharma yang ditetapkan, tanpa terikat dengan hasil kerja. Untuk menghindari keterikatan ini maka Bhakti Yoga mengajarkan prinsip kerja sebagai persembahan. Menjadikan kerja sebagai persembahan hanya dapat diwujudkan oleh orang-orang yang telah mencapai kesadaran rohani (Jnana Yoga), yakni manusia yang teguh dalam iman (sraddha), tidak terbelenggu oleh nafsu-nafsu indria, tanpa keragu-raguan, dan tidak terikat oleh hasil kerja. Manusia yang telah mencapai pengetahuan rohani inilah disebut Jiwanmukta, yang telah terbebas dari semua ikatan kerja dan hasil kerja. Seluruh hidupnya diabdikan hanya untuk mengupayakan kerahayuan jagat. Demikianlah manusia yang telah mencapai kesadaran kerja ‘karma dalam akarma, dan akarma dalam karma’ adalah sang pelayan sejati bagi masyarakat dan kehidupan. Prinsip hidup ini hendaknya selalu dipegang dan dilaksanakan oleh Sang Sewaka Dharma.
Sementara itu, kompetensi Sang Sewaka Dharma, meliputi Subuddhi, Susatya, Sudharma, Sukarya, dan Subhakti. Subuddhi, bahwa Sang Sewaka Dharma yang berbudi luhur dan berakhlak mulia mewujudkan perilaku pelayanan yang ramah, sopan, tidak menyakiti perasaan pelanggan, dan perilaku-perilaku baik lainnya yang berujung pada kepuasan konsumen. Susatya, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah orang yang taat kepada aturan, disiplin, jujur, dapat dipercaya, mau bekerjasama dalam kebaikan, serta mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kualitas yang dijanjikan. Sudharma, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah orang yang mengerti tugas dan kewajibannya, mau melaksanakannya dengan baik, serta memiliki kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut. Sukarya, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah seorang pekerja keras, tangguh, dan bermental kuat dalam menghadapi berbagai tipe konsumen dan permasalahan-permasalahan yang timbul dalam proses pelayanan. Subhakti, bahwa Sang Sewaka Dharma adalah pelayan sejati yang telah memiliki kesadaran rohani untuk menjadikan pelayanan sebagai persembahan kepada Tuhan sehingga segala yang dilaksanakan terbebas dari pamrih pribadi dan dengan demikian membebaskan diri dari ikatan kerja.
Sang Sewaka Dharma juga ditandai dengan kematangan dan kedewasaan dalam perilaku pelayanan. Dalam hal ini, lima pilar kemanusiaan Hindu, yaitu dharma, satya, ahimsa, prema, dan santih. Dharma menjadi dasar dalam bertindak, yakni melaksanakan tugas dan kewajiban sendiri dengan sebaik-baiknya (karma), tanpa terikat pada hasilnya (akarma). Dari dharma ini lahir perilaku satya, yakni jujur dan setia dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Dengan demikian, perilaku pelayanan yang dapat dipercaya, tidak berbelit-belit, tidak meragukan bagi pelanggan, dan prosedur pelayanan yang pasti merupakan perilaku yang berbasis satya. Sang Sewaka Dharma juga harus menunjukkan perilaku yang penuh kasih (prema), yaitu tidak menyakiti fisik dan perasaan orang yang (ahimsa). Dalam konsep pelayanan prima, perilaku ini sering disebut “melayani dengan hati”. Sementara itu, perilaku santih (damai) mengandaikan bahwa seluruh proses pelayanan harus mampu menciptakan kedamaian, baik dalam diri sendiri maupun bagi pelanggan. Di sinilah pentingnya Sang Sewaka Dharma memahami prinsip-prinsip komunikasi yang menyejukkan, sopan santun, dan keramahtamahan. Kelima pilar ini harus diinternalisasikan dalam diri dan kemudian menjadi basis perilaku pelayanan prima.

6.      Pengedalian Diri dalam Sewaka Dharma
Sistem birokrasi dibangun oleh struktur, kultur, dan aparatur. Ketiga elemen ini menentukan keberhasilan sistem tersebut dalam menjalankan fungsinya, baik berupa pelayanan, pemberdayaan, maupun pembangunan. Fungsi-fungsi ini pada dasarnya diarahkan untuk mewujudkan tujuan organisasi yang secara inheren berarti mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketiga elemen inilah pengendalian diri dalam artian wawasan etis mendapatkan makna pentingnya sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan sistem sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Pengendalian diri dalam Sewaka Dharma pada dasarnya merujuk pada dua aspek, yaitu pengendalian diri dalam birokrasi dan pengendalian diri dalam pelayanan. Pengendalian diri dalam birokrasi diarahkan pada tujuan terciptanya struktur pemerintahan yang kuat. Kewajiban adalah kesadaran moral yang di dalamnya pengendalian diri sangat diperlukan. Artinya, kehendak bebas dan kebebasan individu – meskipun itu sifatnya hakiki dalam diri setiap manusia – tetapi sebagai seorang aparatur kebebasan ini hendaknya dikendalikan agar tidak merusak tatanan organisasi dan itu bertentangan dengan amanat swadharma. Menurut pandangan Hindu, kedudukan manusia dalam sistem sosialnya diatur menurut catur warna dan catur asrama. Pada masing-masing warna ini kepadanya melekat kewajiban-kewajiban (swadharma) sebagai kebenaran (dharma) yang mesti ditegakkan. Kalau dharma diyakini sebagai dasar dari semua upaya manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, maka seharusnya pengendalian diri berupa ketundukan pada aturan-aturan moral dan kewajiban juga wajib dilaksanakan karena itu akan membawa pembebasan.
Sementara itu, pengendalian diri dalam pelayanan publik dilakukan dengan menginternalisasikan nilai-nilai etika Hindu, seperti Tri Kaya Parisudha; Catur Paramita; Panca Yama dan Nyama Brata. Tri Kaya Parisudha mengutamakan pengendalian pikiran (manah), perkataan (wak), dan perbuatan (kaya) dalam konteks pelayanan. Catur Paramita mengutamakan persahabatan dan persaudaraan (maitri); cinta kasih (karuna); menarik dan simpatik (mudita); dan sifat mawas diri dan pandai menempatkan diri (upeksa) dalam memberikan pelayanan. Panca Yama Brata adalah pengendalian diri secara internal, meliputi kebersihan lahir dan kesucian batin (sauca); mengendalikan emosi agar selalu tenang, arif, dan damai (santosa); mengendalikan diri dari perilaku yang bertentangan dengan dharma (tapa); tidak berhenti meningkatkan kualitas pengetahuan melalui pembelajaran terus menerus (swadhyaya); dan pelayanan yang dipersembahkan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan (Iswarapranidana). Selanjutnya, Sang Sewaka Dharma harus bisa menjaga perilakunya dalam pelayanan, meliputi (a) tidak menyakiti perasaan ataupun fisik orang yang dilayani (ahimsa); (b) setia pada kebenaran (satya); (c) tidak mengambil keuntungan pribadi dari pelayanan yang diberikan (asteya); (d) tidak mengumbar nafsu duniawi (brahmacarya); dan (e) perilaku hidup sederhana dan tidak serakah (aparigraha).

7.      Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Sewaka Dharma merupakan landasan ideal pelayanan Hindu. Idealisme Sewaka Dharma dibangun dengan menempatkan keseimbangan antara intelektual, emosional, dan spiritual dalam mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. Karakteristik pelayanan Asta Brata yang menginternalisasikan sifat dewata dalam diri menunjukkan bahwa konsep Sewaka Dharma memiliki kedalaman nilai spiritual. Hal ini ditegaskan dengan karakter Sang Sewaka Dharma sebagai kesatuan antara prinsip hidup, kompetensi, dan sikap dalam pelayanan. Selanjutnya, pengendalian diri menjadi kontrol moral dalam pelayanan publik sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan prima. Dengan demikian, Sewaka Dharma mendapatkan arti dan makna pentingnya sebagai landasan ideal pelayanan publik di Kota Denpasar.

Daftar Bacaan
Abraham, Francis M. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Aruan. Reytman. 2004. Pilar Perjuangan Hak Pekerja. Artikel. Dalam Informasi Hukum Vol. 4 Tahun VI. Jakarta: Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Astana, Made & C.S. Anomdiputro (penerjemah). 2005. Kautilya (Canakya) Arthasastra (Masalah Politik, Ekonomi, Hukum, Budaya dsb.). Surabaya: Paramita.

Astra, I Gede, dkk., 1986. Kamus Sansekerta-Indonesia. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Tk. I Bali.

Aziz, Abdul. 2003. Esai-esai Sosiologi Agama. Jakarta: Diva Pustaka Jakarta.

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fernanda, Desi. 2006. Etika Organisasi Pemerintah. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.
Goetsch, David L, dan S.B. Davis. 1994. Dimensi Kualitas Pelayanan. Jakarta: Gramedia Pustaka,
Gunadha, Ida Bagus. 2003. Pengantar: Studies Of Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia.

Indrawijaya, Adam I. 1986. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru.

Ishomuddin. 2002. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kadjeng, I Nyoman. 2005. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.

Kusuma, I Nyoman Weda. 2006. Naskah-Naskah Karya I Gusti Ngurah Made Agung Pemimpin Perang Puputan Badung Tahun 1906 (Transliterasi dan Terjemahan). Denpasar: Pemerintah Kota Denpasar.

Ndraha, Taliziduhu, 1990. Dimensi-dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta. Bumi Aksara.

Nottingham, Elizabeth K. 2003. Agama Dan masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:PT.Elek Media Komputindo.
Pendit, Nyoman S. 2002. Bhagavadgita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pusat Bahasa P & K. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Radendra S. Ida Bagus. 2005. Ekonomi dan Politik Dalam Arthasastra. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma. 

Rao, M.V.Krishna. 2003. Studies In Kautilya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Suamba, Ida Bagus Putu (ed). 1996. Yajna: Basis Kehidupan (Sebuah Canang Sari). Denpasar: Warta Hindu Dharma.

Sudharta, Tjok. Rai dan Gde Pudja MA. 2000. Manawa Dharmasastra: Kompedium Hukum Hindu. Jakarta: Balai Pustaka.

Sukarma, I Wayan. 2005. “Pengendalian Diri dan Menjadi Diri Sendiri”. Artikel. Diterbitkan dalam Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia “Widya Wretta”. Denpasar.

Supranto, Johannes. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Rineka Cipta, Jakarta.

Sura, I Gede. 1985. Pengendalian Diri dan Etika Dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti. 

Sura, I Gde, dkk. 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.

Sutopo dan Adi Suryanto. 2006. Pelayanan Prima. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia.

Thoha, Miftah, 1995. Kepemimpinan dalam Manajemen Suatu Pendekatan Perilaku.Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Yasa, I Wayan Suka, dkk., 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.




BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...