GENERASI MUDA

MEMPERSIAPKAN GENERASI MUDA MENGHADAPI PERUBAHAN ZAMAN:
KEBANGKITAN PERAN PENDIDIKAN AGAMA (HINDU)

Oleh
Drs. I Wayan Sukarma, M.Si

Pendahuluan
Subtransi yang esensial dalam perubahan adalah waktu, kala. Sang Kala Rahu dalam mitios Hindu diceritakan menelan Sang Dewi Bulan. Mitos ini tidak berbeda dengan ide Sang Kala dalam pemikiran Hinduisme yang menghabiskan segala manifestasi dalam putaran masa melalui proses penciptaan dan peleburan berulang-ulang. “Yang nyata itu juga muncul kembali berulang kali dan lenyap tak berdaya pada saat tibanya malam hari dan muncul pada saat datangnya siang hari“ (Bhagavadgita,VIII:19). Demikian kehidupan dimulai pada pagi hingga siang hari dan ditidurkan pada malam hari. Kemudian, segera dilahirkan kembali pada pagi keesokan harinya. “Pada saat datangnya siang hari semua yang tak nyata timbul menjadi nyata dan pada waktu malam hari tiba yang nyata kembali pada yang disebut tak nyata” (Bhavadgita, VIII:18). Bagavadgita tidak membicarakan terang dan gelap sebagai yang berbeda, melainkan sisi gelap dari kehidupan merupakan bagian integral dari sisi terangnya. “Terang dan gelapb ini adalah dua jalan abadi yang di dunia ini dipandang sebagai jalan yang ditempuh seseorang yang tidak kembali lagi (dan)yang lain ditempuh orang trtapi kembali lagi” (Bhagavadgita, VIII:26). Dalam hal ini Bhagavadgita berbicra tentang perubahan zaman yang datang dan pergi dan datang lagi sekedar menunjukan bahwa segala manifestasi masih berda dalam perubahannya, dalam aneka nama dan bentuk, dan dalam sifat-sifat yang menyertainya.
Lahir-Hidup-Mati yang dibicarakan dalam Bhagavadgita menurut kepercayaan hindu Bali dikuasai oleh bhatara Brahma-Wisnu-Siwa merupakan proses siklis yang berjalan sr[panjang perputeran masa dan selamanya. Akibatnya, sejarah diri hadir dalam pengulangannya (punarbhawa) dan tiada kuasa yang mampu mengalami dan hasilnya (karma) merupakan sebuah kepastian yang tidak kuasai ditolak Bhagavad Sri Krisna kembali menegaskan, “banyak kelahiran-Ku dimasa lalu demikianlah pula kelahiranmu, semuanya ini aku mengetahuinya, tetapi engkau sendiri tidak”(Bhagavadgita, IV:5). Sloka ini hendak membicarakan bahwa banyaknya kelahiran yang dialami oleh manusia dan berlimpahnya waktu dalam putaran masa menyebabkan manusia melupakan waktu.Putaran masa yang disebut zaman dalam termilogi hindu disebut yuga, yaitu krta, trta,duapara,dan kali menyebabkan manusia lupa akan jati dirinya yang sejati.
Peristiwa itu dialami oleh manusia karena ia merupakan manifestasi yang bereksistensi jasmani dan dilekati oleh suatu tujuan.jasmani yang bermateri merupakan petanda dari kehidupan dunia relatif yang mengalami awal, tengah dan akhir. Sri Krisna menegaskan, “tanah, air,api,udara,ether,pikiran,bhudi,dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah”, (Bhagavadgita, VII:4). “Inilah prakti-Ku yang lebih rendah tetapi berbeda dengannya ketahuilah prakti-Ku yang lebih tinggi unsur hidup yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini “(Bhagavadgita, VII:5). “Ketahilah bahwa keduanya ini merupan kandungan dari semua mahluk, dan aku adalah asal mula dan leburnya alam semesta ini, (Bhagavadgita, VII:6). Demikian pun dengan tujuan bahwa tercapainya setiap satu tujuan selalu menjadi alat bagi pencapaian tujuan berikutnya (ekpresi kama),oleh karena itu perubahan tidak dapat ditiadakan. Ini sebabnya manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perubahan, baik yang disebabkan oleh lingkungan alam, lingkungan sosial,maupun lingkungan kebudayaan. Akibatnya, manusia dipaksa menumukan suatu mekanime pertahanan. Untuk itu manusia melakukannyadengan meniru hukum alam (rta) dan hukum kebenaran abadi (sanatana dharma),bedasarkan keyakinan tentang konsep proses penciptaan, pemelaharan, dan peleburan. Masyarakat desa pakraman misalnya, mewujudkan mekanisme pertahanan tersebut dalam bentuk khayangan tiga khayangan desa.ketiga pura itu merupakan simbul ketiga proses itu sekaligus sebagai wujud kesadaran individual dan sosial tentang kelahiran-kehidupan-kematian.kesadaran tentang ketiga proses abadi itu berlangsung berulang-ualang dalam tindakan hingga ditemukan suatu titik kemantapan evolusi perkembangannya yang dalam terminologi herget spencer disebut the survival of the fittet (Azis, 2006: 15). Dalam dunia kebudayaan ketiga proses tersebut dilakukan melalui tiga tahap, yitu kontuksi, dekontruksi,dan rekontruksi (Abdullah, 2006).
Generasi muda, bagian dari subjek kebudayaan tak dapat menghindarkan diri dari ketiga tahap proses itu sebab didalam dirinya potensi bawaan yangf dalam perkembangannya memerlukan bantuan dan dukungan dari lingkungnan. Dalam hal ini pendidikan dan pembudayaan merupakan dua faktor dominan yang dalam pemikiran positifistik dipastikan menjdi jaminan bagi perkembangan kearah normal. Oleh karena itu dua faktor ini dapat digunakan sebagai strategi dalam mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi perubahan zaman. Akan tetapi luasnya kedua bidang ini tidak memungkinkan dilakukan penelusuran dalam terbatasnya ruang dan waktu disini dan kini.Rupanya pembatasan-pembatasan sebagaimana tradisi dalam dunia keilmuan mempersempit diri kedalam pradigma-ptradigma tidak bisa dihindari. Oleh karena itu upaya mempersiankan generasi muda menghadapi perubahan zaman dibatasi hanya pada dunia kontemporer melalui pembangkitan peran pendidikan mengingat dalam dunia kontemporer dengan dibingkai mordnnisasi dan globalisasi,generasi muda terlibat melalui pengalaman langsung. Pengalaman langsung ini,baik disadari maupun tidak telah membentuk kepribadiannya dan direfleksinya dalam pergaulan sosialnya melalui pergaulan zona perkembangan proksimalnya.
Dalam pergaulan zona perkembangan proksimal tersebut berlangsung berbagai iteraksi,tetapi untuk mendukung perkembangannya diharapkan interksi-interaksi itu terjadi lebih banyak dalam situasi pendidikan. Dalam menentukan situasi pendidikan itu peran pendidikan agama berada pada posisi sentral. Mengingat esensi pendidikan yang pada dasarnya membangun dimensi kemanusiaan dan didalamnya agama memiliki peranan dominan. Pertanyaannya, bagaimanakah peran pendidikan agama (Hindu) dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi perubahan zaman?

Perubahan Zaman: Krisis Global dan Peran Agama
Pada awal dua dasa warsa terakhir pada abad ke 20, kita menemukan diri kita dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis komplek dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kwalitas lingkungan dan hubungan sosial,ekonomi,teknologi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual,moral,dan spiritual :suatu krisis yang delum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan rasa manusia yang nyat dan semua bentuk kehidupan di planet ini (Pritjof Capra,2004:3).Krisis yang digambarkan oleh Pritjof Capra ini merupak refkeksi kegelisahan dan kecemasan manusia atas kemanusiaannya karena manusia merasa telah dijajah oleh pengetahuannya sendiri. Manusia merasa terhimpit dalam menghadapi berbagai perubahan zaman yang tanpa pernah disadari bahwa perubahan itu diciptakannya sendiri dalam beraneka ragam tindakan. Hal ini dapat ditelusuri dalam kegelisahan para pemikir barat sejak masa kosmosentris,tiosentris,hingga antroposentris,yakni ketika manusia menyadari posisintralnya ditengah-tengah menyelidikinya (Sutrisno,2001:12).Manusia rupanya telah lelah bermain-main dengan dinamika dan dialektika pemikirannya sendiri karena itu mereka kebali pada spiritualitas keagamaan dan menerimanya sebagai nilai-nilai akhlak muali dan dijadikan pedoman dalam berbagai bidang kehidupan.
Hal ini ditunjukan oleh suatu fakta bahwa agama bukan saja mengatur dan menata kehidupan keagamaan (religiusitas),melainkan telah memperluas peranannya dalam bergai kontek kehiduoan. Agama-agama diseluruh dunia telah memasuki wilayah publik dan kancah politik,tidak hanya untuk mempertahankan budaya tradisional mereka,sebagaimana yang telah nereka lakukan pada masa lalu, namun juga untuk ikut serta dalam pergumulam itu sendiri untuk mendifinisikan dan menentukan batas-batas moeren antara wilayah prifat dan publik:antar sistem dan kehidupan dunia, antara legalitas dan moralitas,antara individu dan masyarakat,antar keluarga,masyarakat sipil,dan negara, antara bangsa-bangsa,negara-negara,peradaban, dan sistem dunia (Casanova,2003:XVII). Ini menujukan bahwa moderenisasi dan globalisasi telah memperkenalkan nilai baru dalam lingkungan tradisi. Oleh karena itu angaota komunitas pendukung suatu tradisi senantiasa mengalami proses diferensiasi sosial stuktural serta sesuatu generalisasi nilai,norma,dan makna yang menyertainya. Dalam hubungan kebudayaan pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif, seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi (Triguna, 2002 dan 2004).
Dalam pengalihan itu menurut Triguna (1999:dan 2004)terjadi proses perusakan dan pengintegrasian secara silih berganti dalam suatu mekanisme yang disebut peningkatan adaptasi (adaptive pgrading)atau adaptasi dengan modifikasi (adaptive modifakasion)melalui proses pemahaman dan penafsiran kearah tingkat abtraksi yang berlaku umum. Usaha penyesuaian itu mengandung arti ganda, yaitu manusia berusaha menyesuaikan kehiduannya dengan lingkungan.Sebaliknya manusia berusaha pula menyesuaikan lingkungan dengan keinginan dan tujuan mereka. Mengingat lingkungan yang diadaptasi manusia terus berubah maka dalam upaya pengadaptasian itu manusia terus mengikuti,mengamati dan menginterpretasi berbagai gejala dan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan secara dinamis. Jika manusia menganggap cara penyesuian yang dilakukan sebelumnya kurang relefan,cara itu diganti dengan yang dianggap lebih cocok,setelah melalui mekanisme pemahaman,penafsiran dan sosialisasi secara teoretis proses itu melalui tiga tahapan, yakni stuktur,destruktulasi dan restrulasi.
Melalui ketiga proses tersebut agama diperlakukan bukan saja sebagai pedoman ritual keagamaan, melainkan juga menunjukan kehadiran individu atau kelompok di tengah-tengah longgarkan praktik-praktik sosial. Pergeseran orientasi keberagaman dijelaskan oleh Abdullah sebagai berikut.Dalam konteks pergeseran semacam ini simbol kebudayaan akhirnya, bukan lagi sebagai pengarah yang menentukan code of conductdalam suatu masyarakat yang dipatuhi dan memiliki daya paksa, tetapi menjadi alat politik bagi perjuangan kepentingan para pihak, baik individual, kelompok maupun instituasi. Simbol-simbolagama misalnya, tidak hanya menjadi petunjuk arah dari suatu praktik yang barhubungan dengan religius, tetapi juga bagi sebagian orang, kelompok atau institusi menjadi alat bagi legitimasi atas keberadaan dan kepentingan. Agama berfungsi mengesahkan keberadaan dan tindakan-tindakan yang bisa terjadi menyimpang dari substasi ajaran karena citra telah mewakili suatu realitas keagamaan itu sendiri.Agama dipraktikan sebagai sebagian dari pengendalian sosial dan identifikasi diri untuk pemosisian individu,kelompok, dan instituso dalam serangkasian transaksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Simbol-simbol telah menjadi alat bagi penegasan autentisitaskelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yaqng semakin tajam (Abdullah,2006:9).
Ini menunjukan bahwa agama sudah menjadi bagian integral dari kebudayaan manusia selama beribi-ribu tahun,tetapi hanya pada dua abad terakhir para pemikir mulai percaya bahwa agama bisa dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah (Pals,2001:VII). Dalam dunia kontemporer, Durkheim melihat bahwa dalam bidang moral dan tingkah laku,nilai-nilai suci yang pernah didukung oleh gereja,sekarang ditantang oleh ideal-ideal yang lebih baru yang menekankan akal diatas keimanan agama dan keinginan kebahagiaan di kehidupanini atas semua harapan dari surga (atau ketakutan dari neraka) di kehidupan yang akan datang (Pals,2001:157). Fenomena keberagaman yang menempatkan akal diatas keimanan dan akal yang lebih ditentukan oleh logika pasar menjadi warna khas dalam dunia kontemporer. Warna khas ini menurut Ronald Inglehart (Horrison,2006:132),baik disadari maupun tidak telah menciptakan persaingan-persaingan yang ketat dalam keberagamandalam suasana pasar yang dinamis. Mengingat dunia kontemporer lebih dicirikan dengan sifat-sifat budaya khusus yang berlangsung selama periode waktu yang lama – dan bahwa sifat-sifat ini mempunyai akibat penting terhadap kinerja politik dan ekonomi dari masyarakat. Oleh karena itu menurut Roberson (1980:196)pada masyarakat industri moderen bahwa kemajemukan agama adalah ciri yang cukup meluas. Dalam kemajemukannya peran agama dalam hal ini pendidikan agama mengalami adaptasi terus menerus sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan manusia.

Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Pendidikan Agama(Hindu)
Pendidikan umumnya dipahami sebagai suatu kegiatan mulia selalu mengandung kebijakan dan berwatak netral (serta steril dari kepentingan). Akan tetapi para praktisi pendidikan di lembaga pendidikan ataupun sekolah formal dapat yang tidak dapat sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam suatu pergelumuran politik dan ideologi melalui area pendidikan. pendidikan bagaikan sepotong ranting rapuh terombang-ambing mengapung di atas samudera kebudayaan yang mahaluas. Kadang-kadang oleh gelombang idiologi ditarik ketengah samudera dan kembali lagi di dorong ke luar menuju pantai harapan bersama gulungn-gulungan ombak kepentingan dan pergumulan politik yang memang tidak pernah surut dari masa ke masa. Ambivalensi dan ambiguitas menjadi karakternya sehingga eguana pendidikan hidup dalam beraneka ragam warna aliran, paham, ideologi, bahkan kepentingan (Sukarma,2005). Jadi, dunia pendidikan menghadapi berbagai tantangan sesuai dengan situasi ekonomi, sosial, politik yang menyertainya.
Tantangan nyata dunia pendidikan kedepan menurut Budiningsih (2003) adalah mewujudkan prioses demokratisasi belajar, yaitu suatu proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa anak. Demokrasi belajar berisi pengakuan hak anak untuk merlakukan tindakan belajar sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajaar yang demokratis adalah adanya pengkemasan pembelajaran yang beragam dengan cara mengahapuskan kepenyeragaman kurikulum, stategi pembekerjaan,bahan ajar, dan evaluasi belajar. Untuk menghadapi tantangan tersebut guru sebagai subjek dalam mewujudkan suasana dan proses pembelajaran dan interaksi edukatif ,disamping sejumlah persyaratan lainnya. dengan demikian peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya secara maksimal untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, integritas kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang perlukan untuk dirinya, masyarakat, dan negara. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bab II, pasal 3 ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Memperhatikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut dapat dipahami bahwa pandidikan yang hendak diselenggarakan adalah lebih menekankan pembentukan manusia sosio-religius dalam kerangka moral bangsa: Pancasila. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut selanjutnya, dalam bab III, pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut.
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan keadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilasi kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggrakana sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multi makna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Sekali lagi pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan ini mencerminkan pembentukan manusia yang berkepribadian religius dan dalam hal ini pendidikan agama menjadi posisi sentral. Berkaitan dengan pentingnya posisi agama ini Peter L. Berger (1994:5) juga mengatakan bahwa masyaerakat adalah suatu fenomena dialektik dalam pengertian bahwa melalui eksternalisasi masyarakat merupakan produk manusia; melalui objektifitas maysrakat menjadi suatu realitas sui generis, unuik; dan melalui internalisasi manusia merupakan produk masyarakat. Setiap masyarakat manusia adalah suatu usaha pembangunan dunia, dan agama menempati suatu tempat tersendiri dalam usaha ini. Disamping itu, juga agama mengambil bagian pada saat yang paling penting dan pada pengalaman hidup. Agama merayakan kelahiran, menandai pergantian jenjang masa dewasa , mengesahkan perkawinan, kehidupan berkeluarga, dan melapangkan jalan dari kehidupan kini menuju kehidupan yang akan datang (Keene, 2006:6). Dalam konteks Hindu Peristiwa yang digambarkan oleh Keene Sejalan dengan manusa yadnya, yakni proses pendidikan manusia sejak dalam kandungan hingga pernikahan. Dengannya umat Hindu Bali memiliki keyakinan diri dalam kehidupan yang sarat akan kontradiksi nilai dan norma. Mengingat melalui sebuah pernikahan orang Bali diterima secara penuh dalam kehidupan sosialnya yang ditandai dengan statusnya sebagai krama banjar dan krama desa pekraman (Sukarma, 2004).
Agama bagi berjuta-juta manusia berada dalam kehidupan mereka pada saat yang paling khusus ataupun pada saat-saat yang peling mengerikan. Agama juga memberikan jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang paling membingungkan (Keene, 2006: 6). Ini berarti agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan, baik pendidikan dilingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat (BSNP, 2006). Dalam konteks ini pendidikan agama menjadi proses penting bagi pembentukan generasi muda sebagai pewaris sah dari bangsa yang terdiri atas multietnis, ras, suku, dan agama. oleh karena itu pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Ynag Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual. Akhlak mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengalaman nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual maupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi sebagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai mahkluk Tuhan BSNP, 2006). Sementara itu, pendidikan agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berahklak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu(BSNP,2006).

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...