bali

BALI ANTAH BERANTAH
Kaya Data Miskin Makna

I Wayan Sukarma



Apakah identitas itu dibentuk? Kalau identitas itu dibentuk, maka identitas Bali adalah hasil pembentukan. Ini berarti sebutan ‘pulau surga’ untuk Bali merupakan identitas yang dengan sengaja dibentuk oleh dan untuk berbagai kepentingan. Begitulah keyakinan Suryawan yang menyebabkannya gelisah dan ingin tahu, siapa dan bagaimanakah pembentukan identitas ‘pulau surga’ untuk Bali? Dengan mengabaikan pertanyaan ‘mengapa’ – dalam bukunya yang diberi judul Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata (2010) – ia pun curiga, bahkan menduga bahwa berbagai jargon dan sebutan untuk Bali merupakan rayuan yang bisa saja memenjarakan manusia Bali dalam struktur kebudayaan mapan demi pariwisata (hal.20). Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, Suryawan mengawali usahanya dengan melakukan pembacaan ulang terhadap pergolakan Bali dari masa ke masa (Bab I). Bagian ini menggambarkan pergolakan sosial dan politik di Bali dari masa kolonial hingga masa sebelum bom Bali 2002 dan 2005. Tanpa memberi landasan yang jelas, pergolakan Bali dibagi menjadi empat masa, yaitu kolonial, tragedi G30S/PKI, orde baru, dan reformasi. Pembacaan historis yang terkesan hampa makna sejarah ini dimaksudkan menjadi latar belakang bagi terbentuknya identitas Bali masa kini.
Kesan ini setidak-tidaknya ditunjukkan oleh periodesasi pembacaan yang terkesan kurang memperhatikan sistematika penyajian sejarah, baik dari segi bentuk maupun isi perbincangan. Misalnya, pembicaraan tentang pembantaian massal manusia Bali dalam tragedi G30S/PKI 1965 terkesan menyela pembicaraan tentang pariwisata yang dibangun oleh kolonial Belanda yang dilanjutkan oleh Orde Baru dengan ideologi pariwisata budaya. Kesan yang hampir sama, juga tampak dalam perbincangan tentang Orde Baru dengan bujuk rayu pariwisata budaya. Perbincangan ini diawali dengan membuka catatan sejarah pariwisata Bali pada masa kolonial Belanda (hal.41). Kemudian, dinamika pariwisata Bali digambarkan dalam beragam perspektif, seperti relasi pariwisata dengan kehidupan sosial, politik, kekuasaan, ekonomi, pembangunan, dan agama Hindu. Pada gilirannya dipahami bahwa politik puja-puji terhadap Bali merupakan warna lain dari strategi Orde Baru untuk menaklukan seni dan kebudayaan Bali. Penaklukkan ini kemudian, melahirkan ‘manusia Orde Baru’ yang berdiri dengan landasan kekuasaan kolonial menyentuh seluruh lapisan kehidupan dan pikiran manusia Bali (hal.51). Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada resistensi dari orang Bali karena disimpulkan bahwa rezim Orde Baru melahirkan dua model manusia Bali, yaitu pembela dan pengkritik kebudayaan (hal.69).
Tanpa membahas perannya lebih jauh, ternyata kedua model manusia Bali ini memang diperlukan untuk mempertahankan ekistensi Bali. Manusia pembela kebudayaan berkeyakinan bahwa pengabdiannya melestarikan tradisi Bali, selain menjaga ketertiban, keteraturan, dan keseimbangan sosial juga sejalan dengan ideologi pariwisata budaya. Sementara itu, manusia pengkritik kebudayaan melihat bahwa kenyamanan sosial dapat melemahkan kecurigaan, bahkan mengurangi kewaspadaan. Manusia model ini bukan hanya curiga terhadap intervensi budaya Barat, tetapi juga waspada terhadap kolonialisasi alias pembaratan (lewat modernisasi dan globalisasi). Ini sebabnya Suryawan merasa perlu dan ingin mengajak para pembaca sekadar mengenang kembali kisah Sabtu malam pada 12 Oktober 2002 (Bab II), bom meledak di Pady’s Café dan Sari Club jalan Legian Kuta (hal.92). Peristiwa pengkhianatan terhadap kemanusiaan dan moralitas ini telah mengusik empati dan mengundang simpati masyarakat nasional, bahkan internasional. Empati dan simpati ini telah mendukung orang Bali ketika membangun kesadarannya bahwa peristiwa pengeboman itu merupakan pengalaman pahit sejarah Bali yang mesti dan harus diterima. Kesadaran ini menyebabkan orang Bali mampu mengembangkan respons positif terhadap peristiwa yang begitu sadis dan mengerikan. Respons ini menurut Suryawan dilandasi oleh kesadaran bahwa serangan bom bukan untuk orang Bali, pemerintah sudah tanggap, peran media massa lokal, solidaritas kemanusiaan orang Bali, dan rekayasa sosial melalui ritual dan doa bersama (hal.96--98).
Pengeboman di Kuta mungkin sudah meruntuhkan Bali sedemikian rupa sehingga Suryawan mempertanyakan, bagaimana Bali bangkit? (Bab III). Untuk bangkit, bahkan sekadar membangun citra bahwa Bali for the Word, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta diperlukan milyaran rupiah. Bukan hanya itu, bahkan politik agama melalui Upacara Pemarisudha Karipubhaya merupakan satu upaya mengembalikan citra Bali untuk pariwisata (hal.118). Keprihatinan terhadap janda dan putra-putri bom Bali, bahkan telah mendorong munculnya Yayasan Srikandi dan Adopta Bali Co-Op yang memberikan mereka berbagai keterampilan. Begitu juga penguatan pada sektor ekonomi informal disebutkan tidak lepas dari peran dan fungsi Koperasi Krama Bali (KKB) yang secara gencar dipublikasikan dalam berbagai media. Akan tetapi, sektor ini digerakkan dengan meneladani usaha yang dilakukan oleh pendatang sehingga terkesan ‘merebut usaha mereka’, bahkan etnosentrisme. Misalnya, sebutan ‘Bakso Krama Bali’, ‘Soto Krama Bali’, dan ‘Tukang Cukur Krama Bali’. Walaupun terasa naif menanggulangi keterpurukan ekonomi akibat dari runtuhnya pariwisata dengan dagang bakso dan soto, tetapi setidak-tidaknya gerakan penguatan ekonomi informal ini mampu menyegarkan krama Bali yang memang sedang mengalami paceklik finansial (hal.134).
Upaya bangkit dari keterpurukan akibat dari bom di Legian, Kuta 12 Oktober 2002 belum selesai, tetapi tiba-tiba 1 Oktober 2005 peristiwa serupa terjadi lagi di Jimbaran. Peristiwa ini menghancurkan fondasi bangkitnya pariwisata yang sudah dirancang sejak pascatragedi bom 12 Oktober 2002. Kebiadaban ini dikutuk oleh kepala pemerintahan di dunia, seperti Australia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Irlandia. Bagi para wisatawan, dampak psikis yang ditimbulkan bom Bali II memang tidak sehebat bom Bali I, tetapi dampak ekonomi yang dirasakan oleh para pelaku pariwisata dan pemerintah lokal cukup membuat miris. Di sinilah Suryawan kembali menunjukkan kegemilangannya dalam menggali data untuk mengungkap betapa rapuhnya perekonomian Bali akibat peristiwa ini. Setidak-tidaknya, harapan Bali untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi sudah benar-benar pupus. Dari keterpurukan inilah kemudian, Suryawan melanjutkan petualangan intelektualnya untuk membaca Bali sebagai benteng terbuka dan munculnya lokalitas kekuasaan pada bab berikutnya. Rupanya ia begitu cerdas dalam mengabstraksi realitas lumpuhnya sendi perekonomian Bali dengan gerakan pembentukan identitas ke-Bali-an yang diartikulasikan dalam wacana Ajeg Bali.
Suryawan memulai pergolakan identitas ke-Bali-an dengan mengutip pendapat Nordholt (hal.154) tentang dilema Bali sebagai benteng terbuka yang sulit dipecahkan, yaitu ketidakmungkinan akurnya ekonomi terbuka dengan identitas kultural tertutup. Akibatnya, ambisi-ambisi hegemonis seperti Ajeg Bali justru muncul sebagai kewaspadaan yang berlebihan di kalangan desa pakraman dan banjar. Sweeping penduduk pendatang menjadi bukti terjadinya tumpang tindih otoritas bidang kependudukan antara desa dinas dan desa pakraman. Misalnya, Suryawan menemukan pecalang yang melakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang pada prinsipnya bukanlah otoritasnya. Pemeriksaan KTP ini, bukan saja dilakukan di wilayah perbatasan Bali, bahkan juga di tempat-tempat kontrakan sehingga dirasakan begitu mengganggu. Penduduk pendatang telah menjadi lahan subur bagi banjar dan desa pakraman untuk membiayai keberlangsungan rutinitasnya dalam berbagai aktivitas dan keperluan akan keuangan. Pada sisi yang lain, Suryawan juga mengungkap data bahwa Ajeg Bali muncul menjadi jargon dominan yang ramai diperbincangkan media-media lokal, kalangan akademisi, bahkan juga dipermainkan elit penguasa untuk mengamankan kepentingan politiknya. Melalui pembacaan yang kritis, data tersebut menunjukkan bahwa gerakan Ajeg Bali hanyalah pengungkapan ideologi pembedaan budaya “me” dan “the other”, bukan sebagai puncak kreatifitas dan mentalitas sebuah kelompok. Ajeg Bali menjadi ekspresi keterdesakan identitas manusia Bali akibat terjangan globalisasi dan migrasi manusia serta modal yang masuk silih berganti ke Bali.
Dari sinilah refleksi pariwisata dan manusia Bali antah berantah ditulis untuk mengakhiri seluruh pembahasan dalam buku tersebut. Pariwisata telah merenggut relasi historis masyarakat Bali dengan tanahnya. Komunitas Bali lokal dipaksa terus berjuang menegakkan identitasnya di tengah-tengah gempuran modal pariwisata. Perjuangan masyarakat Bali dalam membentuk dan menegakkan identitas sosial dan kulturalnya menjadi sisi penting dari keseluruhan isi buku ini sehingga layak untuk dibaca. Dengan catatan, pembaca harus tetap memasang jarak kritis terhadap buku ini sehingga memungkinkan untuk menemukan ruang makna baru dalam rangkaian data yang terpapar begitu apik.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...