pendidikan hindu

PENDIDIKAN SEPANJANG ZAMAN:
Perspektif Sankhya-Yoga

I Wayan Sukarma


I. PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
”Sesungguhnya hubungan sang roh dengan benda-benda jasmaniah menimbulkan panas dan dingin, senang dan duka, yang datang dan pergi, tidak kekal, terimalah hal itu dengan sabar” (Bhagavad Gita, II:14).

Seloka tersebut hendak menunjukkan bahwa setiap hubungan selalu menimbulkan dualitas-paradoks yang bersifat memaksa sehingga manusia harus sabar, baik dalam suka maupun duka. Oleh karena sifatnya yang memaksa sehingga setiap hubungan selalu menimbulkan ikatan dan darinya lahirlah kewajiban. Kewajiban adalah dharma. Dharma adalah kebebasan manusia melaksanakan karma dan darinya mengalir kesejahteraan. Hal ini sebagaimana ditegaskan Mimamsa bahwa dharma adalah apa yang memberikan kesejahterakan. Misalnya, menurut norma moral bahwa tanpa ikatan perkawinan antara laki-laki dan wanita tidak memiliki kebebasan melakukan hubungan suami-istri. Tanpa kebebasan tersebut menyebabkan hubungan itu tidak pernah memberikan kesejahteraan misalnya, harapan kelahiran seorang anak. Mengingat, tiadanya ikatan perkawinan sehingga dari hubungan itu tidak memunculkan kewajiban suami-istri atau swadharmaning suami-istri dan ini berarti tiada kebebasan melakukan hubungan suami-istri. Jadi, ikatan (suami-istri) memberikan kebebasan (hubungan suami-istri).
Demikianlah dharma memaksa manusia menjalani kehidupan dalam ikatan-ikatan yang memberikannya pengalaman suka dan duka. Pengalaman duka diperoleh dari setiap ikatan karena manusia pada dirinya sendiri terdapat kecenderungan bertindak liar. Akan tetapi pada setiap ikatan justru mengandaikan kebebasan manusia untuk bertindak (sesuai dengan azas kehidupan) sehingga memberikannya pengalaman suka. Bertindak menurut azas kehidupan agar selaras dengan tujuan kehidupan merupakan idola pendidikan yang hendak dicapai melalui berbagai model pembelajaran. Kehidupan pada dasarnya memang adalah pendidikan. Faktanya bahwa setiap orang menjalani kehidupan dan karenanya dia memiliki pengetahuan tentang kehidupan. Malahan Djumransjah (2006:85) menegaskan bahwa proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembangan hidup dan kehidupan manusia. Seluruh pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan manusia karena segala pengalaman sepanjang hidup memberikan pengaruh pendidikan bagi seseorang.
Akan tetapi dalam dunia praksis pendidikan tidak sepenuhnya demikian, bahkan terdapat kecenderungan bahwa lembaga pendidikan lebih menelantarkan anak-anak dari kehidupannya daripada menjadikannya bijaksana menjalani kehidupannya. Mengingat, kebijaksanaan tidak bisa diraih dengan semata-mata menambah jumlah pengetahuan. Mungkin ini merupakan alasan bagi Sindhunata (Basis, 07-08, Tahun ke 57, Juli-Agustus 2008:halaman 4--22) mengatakan bahwa dewasa ini pendidikan berjalan seperti turbo. Anak-anak dipacu menyerap ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pendidikan berjalan sangat mekanis dan prinsipnya sangat bisnis. Sekolah diorganisasikan seperti organisasi yang target utamanya adalah efesiensi. Akibatnya, anak-anak hanya dididik menjadi instrumen untuk meraih efesiensi itu. Dengan demikian pendidikan telah merampas kebahagiaan masa kanak-kanak dari diri anak-anak. Mereka dipacu menguasai sejumlah pengetahuan sehingga hari-harinya padat dengan pekerjaan sekolah, seperti menyelesaikan pekerjaan rumah, mengikuti les-privat, ekstra kurikuler, diskusi kelompok, dan model belajar lainnya yang sejenis. Situasi ini otomatis mengurangi waktu bermain dengan keluarga sehingga bukan anak-anak saja, tetapi juga orang tua terbenam ke dalam pelajaran dan tugas-tugas pekerjaan sekolah yang sering sudah tidak dimengertinya lagi. Oleh karena itu banyak orang tua mengeluh bahwa anak-anak seakan-akan tidak mempunyai waktu lagi untuk tenteram dan tenang bersama orang tuanya (lebih lanjut dapat dicermati pemikiran Sindhunata dalam ”Melawan Pendidikan Turbo: Refleksi Ki Hadjar Dewantara” dalam Basis, 07-08, Tahun ke 57, Juli-Agustus 2008: halaman 4--22).
Ini berarti pendidikan yang pada dasarnya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan, ternyata dalam praktiknya lebih mengutamakan kemajuan ilmu dan teknologi sehingga ilmu dan teknologi mengatasi moralitas dan kemanusiaan. Pengetahuan dan keterampilan memang diperlukan dalam kehidupan yang sarat dengan kompetisi, tetapi untuk memenangkan persaingan hidup diperlukan integritas kepribadian sebagai landasan pengetahuan dan keterampilan itu. Pendidikan bukan dimaksudkan semata-mata hanya upaya untuk mendukung modernisasi, industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Boleh jadi, ini merupakan alasan Suhartono (2008:70) mengatakan bahwa masalah pendidikan muncul dalam kehidupan masyarakat disebabkan oleh komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan krisis moral. Menurutnya hal ini disebabkan oleh pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang materialistik-kapitalistik. Watak sistem perekonomian ini memang melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada praktik pendidikan. Penyelenggara pendidikan kelembagaan umumnya, kurang memperhatikan pentingnya persoalan metodologi kependidikan, malahan metode pengajaran mendapat penekanan berlebihan. Akibatnya, upaya penumbuhan bakat-minat sepenuhnya tergantikan dengan kemampuan reseptik-memoris. Wawasan kependidikan yang seharusnya berorientasi pada proses lalu berubah berorientasi pada hasil. Akibatnya, kreativitas individu menjadi tumpul dan sebaliknya, yang berkembang adalah moral peniruan. Kemudian, kehidupan sosial pada berbagai bidang mengalami mobilitas dinamis yang bergerak bukan ke arah tujuannya. Dalam kondisi sosial demikian, watak masyarakat menjadi sangat konsumtif dan tidak produktif, bahkan anti produktif terhadap kehidupan.
Dari gambaran tersebut bisa dinilai bahwa secara akumulatif semua pihak sudah terjebak dalam koridor komersialisasi pendidikan terutama melalui berbagai pendidikan kelembagaan. Orientasi pendidikan yang demikian sekaligus memosisikan pendidikan sekolah menjadi sentral. Penyelesaian pendidikan pada setiap jenjangnya menjadi tolok ukur tingkat pendidikan seseorang dalam masyarakat. Dari tolok ukur ini terbentuklah pendapat umum bahwa semakin tinggi pendidikan sekolah seseorang semakin terdidiklah dia. Ini menunjukkan telah terjadi pergeseran nilai kualitatif pendidikan menjadi semakin kuantitatif. Imitasi pendidikan seperti ini dapat dipastikan membuat pluralitas kehidupan sosial juga menjadi imitatif dan pendidikan hanya dapat menghasilkan kebangkrutan kehidupan sosial dalam segala bidang. Oleh karena itu paradigma pendidikan perlu direkontruksi berdasarkan wawasan kontekstual yang sedang berjalan dalam kehidupan masyarakat. Persoalannya, apakah pendidikan untuk teknologi dan industrialisasi ataukah teknologi dan industrialisasi untuk pendidikan? (Sudiarja, dkk., 2006:269; Djumransjah, 2006:139; Knight, 2007:227; dan Suhartono, 2008:71). Penyelesaian persoalan ini, baik Suhartono, (2008:72) maupun Dumransjah (2006:143) sepakat mengatakan bahwa jawabannya, bukan memilih salah satu di antaranya, melainkan merumuskan kedua persoalan itu ke dalam suatu sistem simultan yang integral, dinamis, dan dialektis.
Menurut Suhartono (2008:72) perumusan tersebut dengan pertimbangan berikut. Persoalan tentang ’pendidikan untuk teknologi dan perindustrian’ adalah wajar dan tidak mengandung problematika karena memang seluruh rangkaian kegiatan pendidikan bermuara pada terciptanya teknologi dan perindustrian. Akan tetapi ketika pendidikan diselenggarakan hanya semata-mata demi teknologi dan perindustrian berarti pendidikan cenderung mengalami marginalisasi dan pengrusakan nilai hakiki pendidikan itu sendiri. Dalam keadaan demikian pendidikan bisa kehilangan karakter moralitas dan spiritualnya karena secara fungsional pendidikan dinilai harus memiliki relevansi pelipatgandaan produksi. Walaupun demikian menurutnya, kekawatiran tersebut dapat diatasi dengan memutar balik rumusan persoalan, yakni menjadi ’teknologi dan industrialisasi untuk pendidikan’. Ungkapan ini bisa diartikan bahwa teknologi dan industrialisasi merupakan bukti faktual adanya perkembangan kehidupan sosial yang sekaligus berfungsi dinamis dan dialektik sebagai jalan menuju masyarakat terdidik. ’Masyarakat terdidik’ inilah yang diasumsikan bisa memanfaatkan teknologi dan industri untuk mencapai kemajuan pada bidang moralitas dan kemanusiaan. Artinya, manusia memerlukan pendidikan dalam dukungan teknologi dan industri sehingga seluruh ilmu pengetahuan dapat membantu perkembangan potensi bawaannya agar selalu selaras dengan ’lingkungan’. Keselarasan inilah inti dari seluruh tujuan pendidikan, tetapi justru pada upaya pencapaian tujuan inilah seluruh problematika pendidikan bermula.
II. MANUSIA DAN KEHIDUPANNYA
Manusia, apabila dipandang sebagai realitas maka ia bukan saja hanya merupakan realitas kuantitatif, tetapi juga realitas kualitatif. Hal-hal yang fisis-kuantitatif umumnya sudah jelas, tetapi hal-hal yang spiritual-kualitatif tetap tertinggal menjadi “misteri” (Suhartono, 2008:51). Untuk mengungkap misteri tersebut mungkin kitab Bhagavad Gita relevan dijadikan rujukan. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa semua makhluk termasuk manusia merupakan realitas kuantitatif dan kualitatif yang terdiri atas unsur material dan nonmaterial. Hal ini seperti dijelaskan dalam seloka berikut.
”Tanah, air, api, udara, ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah” (Bhagavad Gita, VII:4).

”Inilah prakrti-Ku yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya ketahuilah prakrti-Ku yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini” (Bhagavad Gita, VII:5).

”Ketahuilah bahwa keduanya ini merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah asal mula dan leburnya alam semesta ini” (Bhagavad Gita, VII:6).

Seloka tersebut hendak menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua unsur asali, yaitu azas bendani dan azas rohani. Azas bendani merupakan unsur material meliputi delapan anasir dan azas rohani merupakan unsur nonmaterial, yaitu hidup yang menjadi anasir jiwa seluruh makhluk. Dalam ajaran Sankhya-Yoga dijelaskan bahwa azas bendani disebut prakrti dan azas rohani disebut purusa. Prakrti berarti yang ada sebelum segala sesuatunya dihasilkan atau disebabkan; sumber pertama dari semua benda; bahan asal dari mana semua benda menyebar; dan ke dalam mana semua benda pada akhirnya akan kembali. Prakrti adalah penyebab pertama dari segalanya, karena itu ia sendiri tidak memiliki penyebab. Sebagai penyebab yang tidak tersebabkan ia disebut prakrti; sebagai prinsip pertama dari alam semesta ia disebut pradhana; sebagai keadaan tidak termanifestasikan dari semua efek ia disebut avyakta; sebagai benda yang benar-benar halus dan tidak dapat diamati yang hanya disimpulkan dari produk-produknya ia disebut anumana; sebagai kekuatan yang selalu aktif tidak terbatas ia disebut shakti. Sebagai penyebab yang tidak tersebabkan, ia eternal, karena sesuatu yang terbatas dan tidak eternal tidak bisa menjadi penyebab pertama dunia. Dengan dirinya sebagai dasar dari produk-produk halus alam semesta, seperti pikiran (manas), intelek (buddhi) termasuk ego (ahamkara). Prakrti adalah kekuatan yang sangat halus, misterius, dan luar biasa besarnya yang melahirkan dan mengembalikan dunia dalam suatu tatanan siklis. Prakrti dengan demikian adalah azas bendani sebagai sebab pertama alam semesta terdiri atas unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan. Sama halnya dengan purusa, juga prakrti tidak dapat diamati secara empiris, tetapi nyata-nyata ada.
Sementara itu, purusa adalah kesadaran murni. Purusa adalah roh, subjek yang mengetahui. Ia bukan tubuh, juga bukan indera-indera; ia bukan otak, juga bukan pikiran (manas); juga bukan ego (ahamkara), dan juga bukan intelek (buddhi). Purusa bukan substansi yang memiliki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan esensinya. Purusa sendiri adalah kesadaran murni dan transendental. Purusa adalah pengetahui tertinggi, fondasi semua pengetahuan. Ia adalah subjek murni, karena hakikatnya yang demikian, ia tidak pernah dapat menjadi suatu objek pengetahuan. Ia adalah saksi diam, yang terbebaskan, penglihat yang netral, dan eternal yang damai. Ia berada di luar jangkauan ruangan dan waktu, di luar perubahan dan aktivitas. Ia menyinari dirinya sendiri dan membuktikan dirinya sendiri. Ia tidak tersebabkan oleh apapun, eternal dan meresapi semuanya. Ia riil, pengetahuan dan semua keragu-raguan termasuk penyangkalan yang mengimplikasikan keberadaannya. Ia disebut nistragunya, udasina, akarta, kevala, madhyastha, saksi, drasta, sadaprakashvarupa, dan jnata (lebih jauh keterangan tentang ini bisa ditelusuri dalam Tigunait, 1953; Hadiwijono, 1979; Saraswati, 1996; Suamba, 2004; Maswinara, 1999; Suka Yasa, 2006; dan Pendit, 2007).
Kemudian, dalam Bhagavad Gita (VII:6) ditegaskan bahwa Tuhan adalah asal-mula dan tujuan setiap kehadiran termasuk manusia. Di antara titik asal-mula dan titik tujuan ini berlangsung kehidupan dan manusia menikmatinya sebagai pengalaman hidup dengan bermacam-macam peristiwa. Aneka rupa peristiwa kehidupan ini disederhanakan oleh Suhartono (2008:59) menjadi tiga titik peristiwa. Pertama, titik asal-mula ditandai dengan peristiwa ’kelahiran’. Kedua, titik tujuan ditandai dengan peristiwa ’kematian’. Ketiga, titik eksistensi berupa ’garis lurus perjalanan kehidupan manusia’ yang menghubungkan antara kedua titik terdahulu. Ketiga titik ini dalam agama Hindu sejalan dengan konsep utpeti-stithi-pralina yang merupakan kekuasaan Brahma-Wisnu-Siwa. Brahma sebagai pencipta (utpeti) pengada kehidupan, Wisnu sebagai pemelihara (stithi) penjaga kehidupan, dan Siwa sebagai pelebur (pralina) yang mengakhiri kehidupan (Sudartha dan Oka Punyatmadja, 2001:21). Jadi, titik eksistensi kehidupan berposisi di antara titik asal-mula dan titik tujuan yang berfungsi menjembatani kedua titik tersebut. Sepanjang garis eksistensi inilah sering muncul berbagai persoalan hidup yang pada gilirannya cenderung mengaburkan, bahkan memisahkan antara titik asal-mula dan titik tujuan. Pada sepanjang garis eksistensi kehidupan (dunia relatif) manusia terbingungkan sehingga ia tersesat dan berputar-putar dalam kelahiran yang berulang-ulang. Banyaknya pengulangan masa kelahiran menyebabkan manusia melupakan waktu sehingga ia tidak memiliki pengetahuan tentang kelahirannya. Di sinilah Yoga (yuj) yang berarti penyatuan atau menghubungkan menerima legitimasinya, sebagaimana dijelaskan dalam Bhagavad Gita berikut.
”Bagi mereka yang pikirannya tertuju terus-menerus kepada-Ku, Aku segera menjadi penyelamat mereka dari lautan penderitaan makhluk fana” (Bhagavad Gita, XII:7).

”Pusatkan pikiranmu hanya pada-Ku; biarlah kesadaran ada pada-Ku, setelah itu engkau akan hidup di dalam-Ku, dan ini tak perlu disangsikan lagi” (Bhagavad Gita, XII:8).

”Apabila engkau tak mampu memusatkan pikiranmu dengan mantap pada-Ku, maka kemudian usahakanlah mencapai-Ku dengan jalan yoga kebiasaan” (Bhagavad Gita, XII:9).

”Bila engkau tak sanggup melakukan yoga kebiasaan, lakukanlah kerja demi Aku, kendatipun dengan melakukan kegiatan kerja demi untuk-Ku, engkau akan mencapai kesempurnaan” (Bhagavad Gita, XII:10).

”Apabila ini pun tak dapat engkau lakukan, carilah perlindungan dalam yoga kepada-Ku, tanggalkan semua pahala karma itu, lakukan dengan berpegang teguh dalam mengendalikan diri” (Bhagavad Gita, XII:11).

Dengan memperhatikan seloka Bhagavad Gita di atas sehingga idealnya, jika titik asal-mula kehidupan bernilai ketuhanan maka titik tujuan kehidupan haruslah bernilai ketuhanan. Konsekeunsinya, titik eksistensi kehidupan tidak bisa tidak, harus berkategori nilai ketuhanan. Jika demikian maka akibatnya, seluruh sikap dan perilaku kehidupan manusia mutlak harus bernilai ketuhanan. Hal ini sebagaimana diajarkan dalam Yoga dan ditegaskan dalam Bhagavad Gita (IV:6) berikut, ”Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku adalah Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu sendiri dan menjadi ada dengan kekuatan Maya-Ku”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya manusia adalah Iswara sehingga orientasi dan tujuan serta seluruh sikap dan perbuatan dalam kehidupannya haruslah dibaktikan kepada hakikat dasarnya itu, Iswara.
Walaupun umat beragama mungkin dapat sepakat mengatakan bahwa asal-mula kehidupan ini adalah Tuhan dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya, tetapi tampaknya hampir semua orang, bila kesempatan memungkinkan cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan. Ini berarti pengetahuan manusia belum terhubungkan secara kausalistik-fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari. Dari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku ini muncullah pendidikan (Suhartono, 2008:52). Intinya, pendidikan diperlukan untuk mengatasi kemunafikan manusia, yakni untuk menyelaraskan antara pengetahuan dan perilaku. Pentingnya keselarasan ini dalam Bhagavad Gita ditegaskan bahwa Krshna menilai dan mengatakan Arjuna adalah seorang munafik dan hipokrit karena menolak kewajibannya sebagai ksatria, yaitu berperang. Hal ini dijelaskan sebagai berikut. ”Pada saat kesulitan seperti ini, dari manakah kedukaan dan kelemahan hati datang, dan sesungguhnya bukan sifat satria (anarya), tidak luhur, dan memalukan,...” (Bhagavad Gita, II:2). ”...janganlah kau biarkan kelemahan dan rasa takut itu, bangunlah!...” (Bhagavad Gita, II:3). “Engkau berduka kepada mereka yang patut engkau sedihkan, namun engkau berbicara tentang kata-kata bijaksana. Orang bijaksana tak akan bersedih, baik bagi yang hidup maupun yang mati...” (Bhagavad Gita, II:11).
Artinya, jika Arjuna adalah seorang ksatria maka kewajibannya menurut aturan hidup adalah berperang. Berdalih dengan ajaran ahimsa ’tidak menyakiti makhluk’ Arjuna menolak berperang, dan ini berarti pengingkaran terhadap kewajiban. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Arjuna melawan pengetahuannya tentang yang baik dan yang benar (berbicara kata-kata bijaksana, tetapi pengecut) sehingga menurut Krshna ia adalah seorang munafik. Dari sinilah Krshna mulai menyampaikan wejangan-wejangan tentang arti dan makna pendidikan-kehidupan serta upaya menjaga keselarasannya. Keselarasan antara pengetahuan dan perilaku (pikiran, ucapan, dan tindakan), justru merupakan idola dari seluruh rangkaian ajaran dalam disiplin Yoga. Keselarasan ini yang memungkinkan seluruh rangkaian kegiatan kependidikan Yoga mengalirkan cita-citanya yang tertinggi, yaitu penyatuan antara jivatman dan paramatman.
Penyatuan tersebut setidak-tidaknya dapat dipahamai melalui pemikiran filosofis bahwa titik asal-mula dan titik tujuan adalah dua titik identik yang berada di dunia ’metafisis’. Oleh karena itu ’tunggal’ adanya, bersifat universal dan absolut, serta tidak mengalami perubahan. Keberadaannya yang demikian ini berarti di luar jangkauan kemampuan akal-pikiran, tetapi niscaya adanya (Gryson, 2003:98; Suhartono, 2008:59). Keberadaan yang absolut itu memang sukar dimengerti dan dipahami karena manusia masih berbadan jasmani. Hal ini sebagaimana ditegaskan Bhagavad Gita (XII:5) berikut. ”Bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Berwujud, kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani”. Sementara itu Suhartono (2008:59), juga menegaskan bahwa garis eksistensi berada di dunia ’fisis’. Oleh karena itu plural adanya, bersifat serba berhingga, khusus, dan sarat perubahan sehingga ’relatif’ adanya. Menurutnya, dunia fisis adalah ruang lingkup pengalaman dan pemikiran manusia dan dari sinilah muncul dan berkembang berbagai macam interpretasi tentang arti dan makna kehidupan yang mengakibatkan keragaman filsafat hidup serta sikap dan perilaku hidup. Keanekaragaman eksistensi kehidupan inilah yang menjadi faktor dominan penyebab keterpisahan antara asal-mula dan tujuan kehidupan. Padahal secara fenomenologis dapat dikatakan bahwa dunia fisis (garis eksistensi kehidupan) ini merupakan gejala atau penampakan dari dunia metafisis (asal-mula dan tujuan kehidupan).
Misteri dimensi spiritual-kualitatif manusia tetap merupakan tantangan bagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora termasuk pendidikan yang memang konsentrasi utamanya pada upaya memahami manusia secara holistik dan komprehensip. Upaya ini semakin tidak mudah karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia semakin terpuruk jauh ke dalam lorong filosofi kehidupan sekuler-positivistik dengan orientasi hedonisme-materialistik. Akibatnya, dunia sipritual-transendental terabaikan. Kehidupan hanya memperoleh arti dan maknanya pada dimensi kekikian dan semakin tidak perduli pada dimensi kehidupan hari esok. Penilian mengenai kehidupan seperti ini bertentangan dengan sifat hakikat manusia yang selalu bergerak menuju ke masa depan dan faktanya bahwa manusia tidak mungkin kembali ke hari kemarin. Dengan demikian kehidupan cenderung terpusat pada kepentingan (dengan mengabaikan kebenaran) di mana manusia menjadi titik sentral. Dalam keadaan demikian manusia memosisikan dan memerankan dirinya di atas segala-galanya, dan karena itu ia memiliki kekuasan untuk memanfaatkan potensi alam termasuk dirinya sendiri dan sesama. Di bawah kekuasaan manusia kehidupan ini berlangsung menjadi ”antroposentristik” (Djumransjah, 2006:86; Sudiarja, 2006:298; Knight, 2007:21; dan Suhartono, 2008:52). Dalam konteks ini konsepsi tri hita karana mendapat legitimasi meyakinkan, yakni sebuah konsep yang menyarankan agar manusia senantiasa harmonis dengan sesama, alam, dan Tuhan. Pada kenyataan dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional di Bali (baca: desa pakraman) konsepsi tri hita karana diterjemahkan menjadi tata sukerta: parhyangan, palemahan, dan pawongan.
Harmonisasi ini menunjukkan bahwa sepanjang eksistensinya manusia senantiasa berusaha mendidik dirinya dengan menemukan keselarasan antara pengetahuan dan perilakunya. Ini berarti pendidikan adalah persoalan yang melekat secara kodrati dalam diri manusia. Suhartono (2008:90--91) menegaskan bahwa pendidikan tersebar dalam seluruh sektor kegiatan kehidupan masyarakat manusia, baik dalam dimensi horizontal maupun vertikal. Menurutnya pendidikan itu ada, ketika manusia berinteraksi dengan dirinya sendiri; ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam setiap kegiatan kemasyarakatan; ketika manusia berinteraksi dengan alamnya; bahkan pendidikan semakin jelas ketika manusia berinteraksi dengan Tuhan. Malahan ditegaskan bahwa antara pendidikan dan manusia bagaikan wadah dengan isinya. Tujuan pendidikan juga menjadi tujuan kehidupan manusia. Mengingat kehidupan berlangsung dinamis dan dialektis sehingga tujuan pendidikan juga tidak pernah statis. John Dewey (Djumransjah, 2006:122) misalnya, menyarankan agar tujuan pendidikan memenuhi kriteria berikut, yaitu harus menciptakan perkembangan yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya; harus fleksibel menurut situasi dan kondisi; dan harus menunjukkan kebebasan kegiatan.
Dalam konteks pendidikan yang demikian, menurut Suhartono (2008:53) manusia adalah makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek dia selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan sikap dan perilakunya. Inilah hakikat tujuan pendidikan yang didialogkan melalui berbagai model pembelajaran, baik formal di sekolah, informal dalam keluarga, maupun nonformal dalam masyarakat. Secara sistematis dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah mencerdaskan potensi spiritual, intelektual, dan emosional. Masa pendidikan berlangsung sepanjang zaman dalam berbagai kegiatan kehidupan terutama dalam lingkungan sosial-budaya. Akhirnya, dapat dipahami bahwa kegiatan pendidikan selalu menjadi kegiatan pembelajaran, seperti dharma-kuruksetra, ’kewajiban menjalani pertempuran dan perjuangan hidup’ sebagaimana digambarkan Bhagavad Gita. ”Badan ini dinamakan lapangan (ksetra) dan dia yang mengetahuinya disebut ksetrajna” (Bhagavad Gita XIII:1). ”Ketahuilah, Aku adalah ksetrajna dari semua ksetra, demikian pula ilmu pengetahuan mengenai ksetra dan ksetrajna menurut pendapat-Ku adalah ilmu pengetahuan yang sesungguhnya” (Bhagavad Gita XIII:2). Dari sinilah dapat dipahami bahwa pendidikan itu memang berlangsung dalam kehidupan sepanjang zaman.

III. PENDIDIKAN SEPANJANG ZAMAN
Dalam pandangan Sankhya-Yoga bahwa pendidikan pada hakikat adalah upaya sadar untuk mengenal realitas-kehidupan agar manusia senantiasa selaras dengan asal-mula dan tujuan kehidupan itu sendiri. Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa menurut Sankhkya-Yoga realitas dibangun oleh dua azas, yaitu prakrti dan purusa. Selain itu, juga Sankhya-Yoga mengajarkan bahwa prakrti atau asas kebendaan memiliki tiga guna, triguna. Ketiga guna itu dipandang sebagai kekuatan-kekuatan yang menyusun prakrti. Walaupun demikian ketiga guna ini bukan dalam arti bahwa ketiga guna ini yang membentuk prakrti. Akan tetapi keduanya, baik prakrti maupun ketiga guna itu saling ketergantungan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Baik prakrti maupun ketiga guna itu memiliki sifat tidak terbatas. Sama halnya dengan prakrti, juga ketiga guna itu dapat diamati bahwa ketiganya ada disimpulkan dari akibat-akibatnya. Jadi, prakrti dan triguna merupakan dua hal berbeda yang amat sublim, tidak bisa diamati dengan indera sebagaimana dalam pengalaman empiris, tetapi keduanya tidak bisa terpisah dalam mewujudkan realitas. Realitas inilah merupakan akibat-akibat dari keduanya sehingga realitas dalam segala manifestasinya merupakan penampakannya yang paling mungkin dikenal. Ini sebabnya menurut Sankhya-Yoga dunia jasmani yang fenomenal ini dipahami sebagai perwujudan prakrti. Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagavad Gita (XIII:19) ”Ketahuilah juga olehmu bahwa prakrti dan purusa, keduanya tanpa awal dan ketahui pulalah bahwa perubahan dan trigunanya terlahir dari prakrti juga”.
Triguna adalah kesatuan tiga kekuatan yang terdiri atas satvam, rajas, dan tamas. Satvam adalah hakikat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat tenang dan menenangkan, terang dan menerangi. Dalam Bhagavad Gita, sattvam teridentifikasi sebagai sifat-sifat dewata, daiva-sampad, yang dinyatakan sebagai sifat orang-orang yang mulia karena unsur ini yang menimbulkan segala yang baik dan yang menyenangkan. Rajas adalah sumber aktivitas dan pengluasan, karenanya menjadi sumber kesusahan dan penderitaan. Dalam Bhagavad Gita, rajas dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber energi yang menyebabkan segala sesuatu bisa eksis melalui tindakannya, karma. Rajas sebagai pusat dari sumber kekuatan aktivitas menjadi penyebab eternal bagi tindakan dua guna lainnya. Tamas adalah kekuatan yang menentang segala aktivitas sehingga menimbulkan segala keadaan yang apatis (dingin, lembab, gelap), atau yang acuh tidak acuh, kemalasan, dan ketidaktahuan. Bhagavad Gita mengindentifikasi kekuatan rajas ini sebagai sifat-sifat raksasa, asura-sampad, seperti kama (keinginan), lobha (kelobaan), kroda (kemarahan) tiada batas, penyebab kebingungan, yang dinyatakan sebagai tiga pintu gerbang menuju neraka. Demikian ketiga guna itu memiliki tabiat asasi berlainan, tetapi ketiganya saling bergantungan sehingga tidak dapat dipisahkan antara yang satu daripada yang lain. Kerja sama yang erat di antara ketiganya itu digambarkan dengan kerjasama di antara nyala api, minyak, dan sumbu pada sebuah pelita. Ini mengandaikan tidak ada sesuatu yang tenang dan menenangkan, yang terang dan menerangi; yang benar-benar bebas dari kemalasan, ketidaktahuan, dan apatistik; yang tidak disebabkan oleh suatu sumber aktivitas bersama. Ini sebabnya Bhagavad Gita mengidentifikasikan bahwa sisi gelap merupakan bagian integral dari sisi terang, baik sifat-sifat dewata maupun sifat-sifat raksasa merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan yang mendapatkan maknanya, apabila rajas berkenan mewujudkannya ke dalam sebuah tindakan, karma.
Keseimbangan tindakan dan menjaganya agar selalu selaras dengan asal-mula dan tujuan kehidupan merupakan perhatian dari seluruh praktik Yoga. Pada prinsipnya Yoga adalah disiplin diri tingkat tinggi meliputi pengendalian diri secara etis, fisis, psikologis, dan spritual. Dalam rangka ini menurut Yoga bahwa pikiran menempati posisi sentral. Pikiran yang dalam terminologi Yoga disebut citta merupakan ajaran utama karena Yoga merupakan suatu cara mengawasi pikiran, gerak-gerak pikiran, dan mode-mode pikiran. Yoga dengan demikian merupakan tindakan membatasi modifikasi-modifikasi dan/atau pluktuasi-pluktuasi pikiran, yogashcittavrttinirodhah. Maksudnya, agar kesadaran yang biasa diganti dengan kesadaran yang luar biasa, kesadaran menyeluruh tanpa dibatasi oleh ruang, waktu, dan tindakan. Kesadaran luar biasa ini merupakan bukti bahwa orang telah mendapat pengalaman dan kemampuan mistis sudah dikenal oleh orang India sejak zaman kuna. Keterangan tentang ini dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Yoga-sastra dan Upanisad, seperti pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh mahaguru Madhva-charya, Ramanuja-charya, dan Sankara-charya. Pada zaman yang lebih kemudian, Yoga menggabungkan diri dengan aliran agama, bahkan dengan aliran filsafat yang bermacam-macam. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa setiap aliran filsafat mencoba memberikan dasar yang teoretis kepada Yoga-nya. Sebagaimana kata “Yoga” dalam bahasa Sanskerta berasal dari akar kata “yuj” berarti “menghubungkan”, persatuan antara spirit-individu dan spirit-universal (jivatman-paratman). Walaupun demikian Patanjali mengatakan bahwa Yoga merupakan upaya mencapai kesempurnaan melalui mengendalian tubuh, indera, dan pikiran. Patanjali juga menegaskan bahwa modifikasi-modifikasi pikiran dapat dikendalikan dengan latihan (abhyasa) dan ketidakmelekatan (vairagya) (lebih jauh tentang hal ini dapat ditelusuri dalam Tigunait, 1953; Hadiwijono, 1979; Saraswati, 1996; Suamba, 2004; Maswinara, 1999; Suka Yasa, 2006; dan Pendit, 2007).
Dalam kaitannya dengan abhyasa dan vairagya patut dipahami bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk berpengetahuan, makhluk berpendidikan, dan makhluk berkebudayaan (Suhartono, 2008:51--58). Manusia sebagai makhluk berpengetahuan lahir dengan kodratnya berupa cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah kemampuan khusus yang mempersoalkan nilai ’kebenaran’; Rasa adalah kemampuan khusus yang mempersoalkan nilai ’keindahan’; dan Karsa adalah kemampuan khusus yang mempersoalkan nilai ’kebaikan’. Kemudian, ketiga jenis nilai ini dijadikan landasan untuk mendirikan filsafat hidup, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan perilaku hidup serarah kepada tujuan hidup. Filsafat hidup mengandung pengetahuan yang bernilai universal, meliputi masalah asal-mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan. Pedoman hidup adalah pengetahuan umum yang secara khusus dijadikan suatu prinsip yang dianggap benar karena sesuai dengan hakikat asal-mula yang berguna bagi pencapaian tujuan kehidupan. Sikap dan perilaku hidup adalah pengetahuan khusus dan konkret, berupa langkah-langkah kehidupan yang ditentukan sepenuhnya oleh pedoman hidup (Syam, 1984:122; Suhartono, 2008:53--54).
Pada hakikatnya perubahan sikap dan perilaku hidup agar selalu produktif bagi pencapaian tujuan kehidupan merupakan bidang garapan dunia pendidikan. Dengan demikian tugas pendidikan adalah mengembangkan kodrat manusia, berupa cipta, rasa, dan karsa sehingga ia bisa selaras, baik dalam suka maupun duka. Dalam Bhagavad Gita (II:15) ditegaskan bahwa ”sesungguhnya orang yang teguh pikirannya, yang merasakan sama antara susah dan senang, orang seperti inilah yang patut hidup kekal abadi”. Tegasnya, pendidikan haruslah dapat meneguhkan pikiran dan membebaskan pengaruh-pegaruh inderawi dari sektor eksternal sehingga pikiran tidak tergoyahkan. Ini pada dasarnya merupakan tema sentral dalam praktik Yoga, yaitu mengontrol gerak-gerak pikiran sehingga pikiran dapat menjadi landasan bagi tindakan. Ini dimungkinkan karena manusia memiliki dirinya sendiri, ia berdaulat, bersemayam dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu meskipun tidak sempurna penuh ia berdiri sendiri, ia adalah pribadi. Ia adalah pribadi karena ia adalah rohani (Sudiarja, 2006:37). Pribadi ini adalah ”mahapurusa yang ada dalam badan disebut saksi, pengawas, pendukung, yang mengalami, penguasa tertinggi, paramatman” (Bhagavad Gita, XIII:22). Pribadi inilah yang memungkinkan berlangsungnya pengalaman suka-duka, ”prakrti disebut sebagai penyebab terciptanya badan dan indera-indera, dan purusa dikatakan sebagai penyebab adanya pengalaman suka dan duka” (Bhagavad Gita, XIII:20).
Manusia sebagai makhluk berpendidikan dapat dicermati pada kehidupan dalam pengalaman empiris sehari-hari. Sejak lahir, bahkan beberapa ahli psikologi pendidikan berpandangan bahwa pendidikan telah berlangsung sejak manusia dalam kandungan sehingga sejak itu dia terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dijaga, dirawat, dididik, diajar, dan dilatih oleh orang tua, keluarga, dan masyarakatnya termasuk pendidikan kelembagaan (sekolah) menuju tarap kedewasaan sampai dengan terbentuk potensi kemandirian mengelola kelangsungan hidupnya. Setelah kedewasaan ini dicapai kemudian, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dan pembelajaran dalam rangka pematangan dirinya. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menjaga kelestarian alam, yakni tempat berlangsungnya seluruh rangkain kegiatan pendidikan. Artinya, pematangan diri adalah upaya manusia untuk menjadikan dirinya semakin arif dengan sikap dan berperilaku adil terhadap segala sesuatu yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupannya. Dengan demikian persoalan pendidikan adalah persoalan yang cakupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Kegiatan kehidupan manusia, baik langsung maupun tidak selalu mengandung fungsi dan makna kependidikan (Jalaluddin, 2002:243; Tilaar, 2002:188; Suhartono, 2008:54--56).
Manusia sebagai makhluk berkebudayaan ditunjukkan dengan kegiatan pewarisan nilai-nilai kehidupan dari generasi kepada generasi berikutnya. Manusia secara psikologis memiliki dua jenis dorongan yang menentukan bentuk tingkah lakunya, yaitu insting dan insight. Insting merupakan dorongan nafsu belaka. Pada tarap ini manusia tidak berbeda dengan hewan, karena itu insting sering disebut dorongan hewani. Sebaliknya, insight merupakan dorongan insani (manusiawi) berupa akal dan budi. Akal adalah kemampuan melakukan pembedaan atas realitas dan budi adalah kemampuan melakukan pemilihan sesuai dengan kodrat manusia. Dengan akalnya manusia membagi dan menandai realitas atas fakta-fakta ke dalam nama dan bentuk. Dengan budinya manusia melakukan pilihan-pilihan atas fakta-fakta sesuai dengan kodratnya (kemanusiaan) berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai. Dalam konteks ini manusia mengatur dan mengontrol sikap dan tingkah lakunya secara rasional sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengabaikan norma dan nilai dalam lingkungannya. Pada tarap ini manusia dapat dikatakan telah berbudaya karena telah membedakan antara “yang harus” dan “yang tidak harus”, antara “yang boleh” dan “yang tidak boleh” berdasarkan pertimbangan moral disertai dengan kemampuan menggunakan simbol. Ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara akal-budi pada satu sisi dengan kebudayaan pada sisi lain (Poedjawijatna. 1996:14; Jalaluddin, 2002:240; Sukarma, 2007:12).
Paradigma tersebut mengantarkan pemahaman pada sebuah pengertian bahwa kualitas suatu masyarakat tampak dari tingkat kebudayaannya karena kebudayaan merupakan presentasi tingkat pemikiran masyarakat tersebut. Secara konseptual bahwa tingkat pemikiran dan tingkat pendidikan (suatu masyarakat) memiliki korelasi positif dengan kemajuan kebudayaan. Ini sebabnya kebudayaan hanya diwariskan melalui proses pembelajaran dan bukan secara geneal-fisiko-biologis. Kebudayaan yang hidup di dalam pikiran merupakan sikap mental dan pola tingkah laku yang dipelajari dan disampaikan dari generasi kepada generasi berikutnya. Setidaknya ada tiga proses pembelajaran kebudayaan yang penting dalam kaitannya dengan manusia sebagai makhluk hidup dan bagian dari suatu sistem sosial. Proses pembelajaran kebudayaan yang berlangsung sejak dilahirkan sampai mati, yaitu dalam kaitannya dengan pengembangan pikiran, perasaan, hasrat, kehendak, dan emosi dalam rangka pembentukan kepribadian dikenal sebagai proses internalisasi. Mengingat manusia adalah bagian dari suatu sistem sosial maka setiap individu harus selalu belajar tentang pola tindakan, agar ia dapat mengembangkan hubungannya dengan individu-individu lain dalam lingkungan sekitarnya disebut sosialisasi. Selanjutnya, proses pembelajaran kebudayaan, yaitu seseorang harus mempelajari dan menyesuaikan sikap dan alam berpikirnya dengan sistem norma yang hidup dalam kebudayaannya dikenal dengan enkulturasi atau pembudayaan (Purwanto, 2000:43; Sudiarja, 2006:276; Sukarma, 2007:14). Pendidikan dan pembudayaan dengan demikian merupakan dua sisi dari satu mata uang yang berfungsi meningkatkan kemanusiaan. Ini kunci yang menentukan tingkat kualitas individu ataupun suatu masyarakat seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan, yaitu mewujudkan individu mandiri dan masyarakat madani sebagaimana pengertian dan tujuan pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara terus-menerus menurut Suhartono (2008:56--58) manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran, baik yang bersifat universal-abstrak, yang teoretis, maupun yang praktis. Nilai kebenaran ini mendorong terbentuknya sikap dan perilaku arif dan berkeadilan serta dengannya manusia membangun kebudayaan dan peradabannya. Kebudayaan, baik yang material maupun yang spiritual merupakan upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan berimbang, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal dengan sikap terdidiknya manusia mendukung kodrat hidup untuk senantiasa terdorong membangun hubungan dengan diri sendiri dan sesama termasuk dengan alam secara berkeadilan. Dalam membangun keterhubungan ini manusia wajib membangun moral ’pengendalian diri’ dalam berperilaku sehingga ia mampu menjalani kehidupannya menurut azas kecukupan, bukan menuruti keinginan. Pentingnya pengendalian keinginan karena memang pada dasarnya manusia adalah bagian dari keinginan itu sendiri, seperti ditegaskan dalam Bhagavad Gita (XIII:6) bahwa ”keinginan, kebencian, suka, duka, yang bercampur kesadaran, kemantapan, semuanya secara singkat merupakan bagian dari ksetra yang dilukiskan dengan perubahannya”.
Dengan menyadari bahwa badan adalah ksetra ’lapangan atau medan’ keinginan, kebencian, suka, dan duka kemudian, Yoga mengajarkan cara-cara mengendalikannya, antara lain dengan ”rendah hati, ketulusan, tanpa kekerasan, kesabaran, keadilan, serta mengabdi kepada guru kesucian, keteguhan iman, dan mawas diri (Bhagavad Gita, XIII:7). Rendah hati menyebabkan terhindar dari penghinaan; ketulusan menyebabkan terhindar dari kemelekatan; tanpa kekerasan menyebabkan terhindar dari tindakan menyakiti; kesabaran menyebabkan terhindar dari keresahan; keadilan menyebabkan terhindar dari penganiayaan; mengabdi kepada guru kesucian menyebabkan terhindar dari kebodohan; keteguhan iman menyebabkan terhindar dari kemungkaran; dan mawas diri menyebabkan terhindar dari kesalahan persepsi. Terhindar dari kesalahan-kesalahan ini pada gilirannya, manusia dapat diarahkan pada ”ketidakinginan akan keduniawian, lenyapnya ke-aku-an dan pemahaman akan keburukan kelahiran, kematian, usia tua, sakit, dan kesengsaraan” (Bhagavad Gita, XIII:8). Tanpa keinginan terhadap objek-objek bendani yang duniawi menyebabkan tiada lagi ikatan yang patut dicemaskan sehingga rasa kepemilikan pun lenyap. Dengan demikian, kelahiran, kematian, usia tua, sakit, dan kesengsaraan, bukan lagi menjadi peristiwa yang menakutkan. Mengingat pada dasarnya manusia ditaklukkan kepada lima klesa (panca klesa) atau godaan hidup atau siksaan yang asasi, yaitu (1) ketidaktahuan atau keterbatasan kemampuan membedakan antara purusa dan prakrti (avidya); (2) sangka diri, yaitu rasa salah yang menyamakan purusa dan citta (asmita); (3) terikat kepada nafsu atau kecenderungan untuk mengikuti segala keinginan (raga); (4) keengganan untuk menderita atau keinginan untuk menikmati kesenangan secara berlebihan (dvesa); dan (5) keinginan hidup lama (umur panjang) sehingga ketakutan akan kematian (abhinivesa). Dalam Yoga-sutra (II:3) ditegaskan, “Avidyasmita raga dvesabhinesah klesah” (penjelasan lebih lanjut dapat ditelusuri dalam Suka Yasa, dkk (2006), Yoga: Marga Rahayu).
Kelima klesa ini merupakan godaan yang menyiksa manusia pada sepanjang garis eksistensinya sehingga mengatasi kelima klesa ini menjadi sasaran pendidikan-yoga melalui pelatihan dan pembelajaran, abhyasa dan vairagya. Upaya ini dijelaskan dalam bentuk delapan tingkatan Yoga, yang disebut Astanga-Yoga. Astangga-Yoga, terdiri atas delapan cara mempraktekkan atau mendemontrasikan ajaran Yoga, yaitu pengekangan diri (yama), pengamatan (niyama), sikap tubuh (asana), pengaturan nafas (pranayama), penarikan indera dari objek-objeknya (pratyahara), pemusatan perhatian (dharana), permenungan atau meditasi (dhyana), dan pemusatan yang sempurna atau tafakur (samadhi). Delapan anggota Yoga ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mulai dari pengekangan diri (yama) sampai dengan penarikan indera dari objek-objeknya (pratyahara) disebut bahiranga, yakni pertolongan-pertolongan tidak langsung atau dari luar. Mulai dari pemusatan perhatian (dharana) sampai dengan pemusatan sempurna atau tafakur (samadhi) disebut antaranga, yakni pertolongan-pertolongan langsung atau dari dalam diri. Bagian pertama dapat dibagi menjadi dua, yaitu persiapam etis terdiri atas pengekangan diri (yama) dan pengamatan (niyama), dan persiapam badani terdiri atas sikap tubuh (asana), pengaturan nafas (pranayama), dan penarikan indera dari objek-objeknya (pratyahara). Bagian kedua dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama permenungan terdiri atas pemusatan perhatian (dharana) dan meditasi (dhyana), dan kedua pemusatan pikiran atau tafakur (samadi) (Hadiwijono, 1979; Saraswati, 1996; Suka Yasa, dkk, 2006). Dalam Bhagavad Gita (XIII:24) ditegaskan, ”dengan meditasi, seseorang memandang Sang Diri pada Sang Diri dengan Sang Diri, yang lain dengan Sankhya (jalan pengetahuan), dan yang lain lagi dengan karma yoga”.
Dari delapan cara mendemontrasikan ajaran Yoga itu dapat dimengerti bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui berbagai pembelajaran belum menjadi bagian dari pemiliknya, sebelum dimaknai dalam praktik kehidupan. Artinya, memahami apa yang diketahui dan memaknai apa yang dipahami merupakan cara mendamaikan pengetahuan dan perilaku hidup agar senantiasa selaras. Memaknai apa yang dipahami merupakan kemampuan mengapresiasikan pengetahuan dalam dunia praksis kehidupan melalui beragam peristiwa dan pengalaman. Dengan demikian eksistensi kehidupan sedapat mungkin selalu konsisten dengan titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan. Untuk inilah, menjaga harmoni titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan dengan eksistensi kehidupan dalam dinamika dan dialektikanya, Yoga hadir dalam kehidupan manusia. Dengannya garis eksistensi kehidupan bisa menghubungkan titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan karena kedua titik dan garis itu konsisten dalam nilainya yang sama. Untuk memelihara keselarasan dan keseimbangan nilai ini, manusia patut ”berusaha dengan sungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan rohani, pengetahuan tentang kebenaran, memahami sedalam-dalamnya tujuannya,...” (Bhagavad Gita, XIII:11).
Hal ini juga sebagaimana ditegaskan dalam seloka berikut, ”Yoga yang tua itu pulalah yang Ku-ajarkan kepadamu sekarang sebab engkau adalah pengikut dan kawan Ku, sesungguhnya ini sangat rahasia (Bhagavad Gita, IV:3). Seloka ini pada prinsipnya mengamanatkan bahwa seluruh kehidupan adalah Yoga sehingga harus dipelajari oleh mereka yang merasa sebagai pengikut dan kawan kehidupan. Artinya, Yoga mengajarkan persahabatan makhluk, persahabatan manusia dengan kehidupannya karena persahabatan adalah kehidupan dan kurangnya persahabatan adalah kematian (Radakrishnan, 2003). Yoga mengajarkan warna-warni peristiwa dan pengalaman manusia pada sepanjang garis eksistensi kehidupannya, agar manusia memperoleh kesadaran pada asal-mula dan tujuan kehidupannya. Di sinilah dharma memperoleh arti dan makna yang sesungguhnya dan jika dharma korup dan dimanipulasi dalam dunia praksis kehidupan maka manusia akan dikembalikan kepada Yoga. Hal ini ditegaskan dalam seloka berikut, ”sesungguhnya mana kala dharma berkurang kekuasaannya dan tirani hendak merajalela, saat itu Aku ciptakan diri-Ku sendiri” (Bhagavad Gita, IV:7). Jadi, Yoga adalah cara mempraktikkan dharma, mengajarkan kebebasan kepada manusia menuruti aturan hidup, agar manusia konsisten pada asal-mula dan tujuan kehidupan. Ini adalah hakikat pendidikan sepanjang zaman.

IV. REFLEKSI
Manusia bingung dan tersesat pada sepanjang garis eksistensi kehidupannya, antara titik asal-mula dan titik tujuan kehidupan. Manusia mengalami kebingungan karena suka dan duka selalu hadir dalam seluruh pengalaman hidupnya. Seolah-olah telah memilih suka, tetapi juga duka diperolehnya karena manusia di dalam dirinya sendiri terdapat kecenderungan lebih memilih suka daripada duka. Padahal memilih salah satu akan memperoleh keduanya. Duka adalah bagian integral dari Suka. Lebih memilih jalan ilmu pengetahuan (jnana) daripada jalan tindakan (karma) akan memperoleh keduanya. Jadi, kehidupan bukanlah persoalan pilih-memilih, tetapi persoalan menjalani dan melakukan dharma. Jikalau tidak demikian maka seluruh kehidupan adalah klesa (keterikatan) dan duhka (penderitaan). Dalam keadaan begini, Yoga menjelma kembali dalam kehidupan, menuntun manusia dalam melaksanakan dharma. Ajaran Sankhya membuka kesadarannya mengenai hakikat realitas kehidupan dan Yoga menuntunnya dalam mendemontrasikan kesadaran itu.
Dengan demikian bisa dimengerti bahwa manusia tersesat pada sepanjang garis eksistensi kehidupannya karena ia kebingungan. Ia bingung karena tidak memahami hakikat kenyataan hidup sehingga tersesat dan jatuh ke dalam pilihan-pilihan hidup yang keliru. Fenomena dunia fisikal adalah penampakan prakrti dan purusa sebagai saksi bisu yang diam dalam penampakan adalah Isvara. Dunia penampakan yang relatif, yang terbagi-bagi ke dalam nama-rupa telah menyesatkan manusia melakukan pilihan-pilihan yang sesungguhnya bukan pilihan. Memang dunia relatif seolah-olah menyediakan pilihan-pilihan sehingga manusia terjebak dalam pilihan-pilihannya. Manusia tersesat dalam kecenderungan pilihannya sendiri karena menyangka Yang Relatif adalah Yang Absolut. Manusia tersesat ketika menyangka badan adalah dirinya. Akibatnya, manusia mengalami frustrasi berkepanjangan dan berputar-putar (samsara) dalam tumimbal ke-lahir-an (punarbhawa). Dalam keadaan begini, Sankhya diperlukan untuk memahami Yang Relatif dan Yang Absolut dan Yoga dibutuhkan untuk menjalankannya. Dalam memenuhi keperluan dan kebutuhan ini Sankhya-Yoga dihadirkan untuk memberikan pendidikan sepanjang zaman.

SUMBER BACAAN
Djumransjah. 2007. Filsafat Pendidikan, Malang: Bayu Media Publishing.

Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Ghony, M. Djunaedi. 1981. Arah Sasaran Tujuan Pendidikan: Suatu Tinjauan Analisa Teoretis. Surabaya: Usaha Nasional.

Hartoko, Dick. 1985. Memanusiakan Manusia Muda: Tinjauan Pendidikan Humaniora. Yogyakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.

Jalaluddin, 2002. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Knight, George, 2007, Filsafat pendidikan (penerjemah: Mahmud Arif), Yogyakarta: Gama Media.

Lengrand, Paul. 1981. Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat. Jakarta: Gunung Agung.

Lunandi, A.G. 1981. Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Maswinara, I Wayan. 1999. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya: Paramita.

O’Neil, William F. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pendit, Nyoman S, 2005, Filsafat Dharma Dari India: Untuk Orang Awam, Denpasar: Pustaka Bali Post.

Pidarta, Made. 1990. Perencanaan Pendidikan Partisipatori Dengan Pendekatan Sistem. Jakarta: Rineka Cipta.

Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.

Purwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkunan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyan, A. Tabrani. 1992. Pendidikan Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Bina Mulia.

Sadulloh. Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Saifulah, Ali. 1989. Pendidikan Pengajaran & Kebudayaan: Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.

Sindhunata (ed.). 2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita; Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.

Sindhunata. ”Melawan Pendidikan Turbo: Refleksi Ki Hadjar Dewantara” (dalam Basis, 07-08, Tahun ke 57, Juli-Agustus 2008:halaman 4—22).

Sudiarja, A., G. Budi Subanar, St. Sunardi, T. Sarkim, 2006. Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikiran yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT. Gramedia.

Suhartono, Siparlan, 2007, Filasafat Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Sukarma, I Wayan. 2007. ”Menjadi Generasi Pembelajar: Memahami Eksistensi Sekaa Teruna” (dalam Jurnal: Sabha Yowana edisi 02/VII/2007:halaman 12-20).

Suparmo, Paul. 1997. Filsafat Konstruktifisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Syam, Mohammad Noor. 1984. Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.

Tigunait, Pandit Rajmani. 1983. Seven Systems of Indian Philosophy. Pennyslvania: The Himalayan International Institute of Yoga.

Tilaar, A.R. 2004. Multikultularisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Gramedia Midiasarana Indonesia.

Tim. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Cipta Jaya.

Walsh, Roger. 2004. Essensi Spiritual: 7 Cara Praktis membangkitkan Hati dan Pikiran: Risalah-Risalah Dasar untuk Menumbuhkan Cinta, Kebahagiaan, Kedamaian, dan Keharmonisan. Yogyakarta: Pohon Sukma.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...