desa pakraman

Pemurnian Tradisi Dalam Komunitas Adat
(SARAD, NO. 109 MEI 2009:hal.19)

I Wayan Sukarma

Dalam budaya tradisional, masa lalu dan simbol dihargai karena berisi dan bertanggung jawab atas pengalaman berbagai generasi. Dalam komunitas adat (desa pakraman), orientasi masa lalu tampak melalui kebutuhan atas penanggal Bali dalam menggumuli iklim. Penghargaan terhadap simbol tampak melalui pemuliaan Kahyangan Tiga, yang menjadi inspirasi bagi penataan sistem sosial mereka dalam koridor Tri Hita Karana. Ini mencerminkan kecintaan dan ketakjuban mereka kepada Tuhan, mengutamakan nilai kekeluargaan dan solidaritas sosial, serta ketundukan kepada alam dan mencoba hidup selaras dengan alam.
Dalam menciptakan keselarasan ini tidak bisa dihindari terjadinya dinamisasi tatanan nilai, sebagaimana Giddens mengafirmasi bahwa tradisi adalah cara untuk mengintegrasikan monitoring tindakan secara refleksif dengan penataan ruang dan waktu dalam komunitas. Dalam konteks ini refleksivitas mendefinisikan karakteristik dari semua tindakan manusia yang dalam praktik sosial terus-menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi terbaru yang paling praktis sebagai ciri dinamis dari modernitas.
Dalam komunitas adat masa lalu dan simbol adalah sarana untuk menangani ruang dan waktu yang memasukkan segala pengalaman dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang distrukturkan oleh praktik-praktik sosial. Agama sebagai inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi norma dalam dunia sosial sehingga kekuasaan Tri Murti yang secara teologis dipahami sebagai konsepsi kehadiran, secara kontekstual menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi, dan restrukturisasi tatanan nilai. Tindakan ini bukan rangkaian kumpulan interaksi dan nalar, tetapi konsistensi monitoring perilaku dan konteksnya yang ditujukan pada keteraturan dan keseimbangan sosial. Ini sebabnya tatanan nilai dalam komunitas adat senantiasa dalam proses perubahan, karena itu tradisi tidak sepenuhnya statis. Generasi baru harus menemukan ulang tradisinya ketika hendak mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya karena pewarisan nilai dalam suatu komunitas tidak dimungkinkan tanpa melalui proses pembelajaran. Pengalaman belajar inilah upaya merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan agar komunitas adat selalu selaras dengan nilai agamanya.
Proses pembelajaran ini menunjukkan bahwa tradisi tidak melawan perubahan sehingga ketika terjadi perubahan dalam konteks temporal ataupun spasial, itu bisa saja suatu bentuk yang bermakna. Akan tetapi interpretasi terhadap makna dari bentuk-bentuk perubahan sosial tidak pernah final, karena adaptasi nilai dalam praktik sosial dalam komunitas adat tidak serta merta sejalan dengan pengetahuan mereka tentang kehidupan sosial. Perluasan pemahaman krama desa pakraman tentang dunia sosialnya mungkin bisa menghasilkan penjelasan yang lebih mencerahkan tentang institusi mereka secerah modernitas membangun relasi ideologi dalam komunitas adat karena refleksivitas kehidupan sosial modern telah menjadikannya masuk akal. Oleh karena itu menjadi rasional, ketika Menteri Paskah Suzetta mengharapkan Gubernur Bali agar memberikan perhatian lebih luas bagi pembangunan pura karena “pura di samping untuk kepentingan ibadah umat Hindu juga memiliki daya tarik pariwisata” (Bali Post, 7 April 2009: hal 2). Di sini logosentrisme telah sukses menjalankan proses rasionalisasi dalam komunitas adat melalui negosiasi ide-ide modernitas sehingga terjadi konsensus bahwa “pura sebagai tempat ibadah” sekaligus bisa diterima bahwa “pura menjadi daya tarik pariwisata”. Dengan demikian dalam komunitas adat telah terjadi pasokan pengetahuan tentang kehidupan sosial ke dalam logika tindakan sosial sehingga menghasilkan peningkatan rasionalitas perilaku dalam kaitannya dengan kebutuhan spesifik.
Kondisi tersebut merupakan implikasi yang diyakini oleh warisan pemikiran Pencerahan sebagai tujuan. Ini terjadi karena penggunaan pengetahuan tidak homogen, perubahan tatanan nilai inheren dalam inovasi dan orientasi kognitif yang terus berubah, dan tidak ada pengetahuan kehidupan sosial yang mencakup semua situasi. Apabila pengetahuan krama desa pakraman tentang dunia sosialnya semakin baik maka cakupan konsekuensi yang tidak dikehendaki mungkin akan semakin terbatas, namun refleksivitas kehidupan sosial modern menghambat kemungkinan ini. Untuk itu diperlukan pemurnian tradisi, seperti yang dikonsepsikan dalam Tri Murti dan Tri Hita Karana; dan dengannya Krama Desa Pakraman memahami bahwa Mereka turut serta dalam membangun watak Alam dan sebaliknya, juga Alam berpartisipasi dalam membangun karakter Mereka. Untuk mewujudkan eksistensi Dirinya, Mereka selalu merujuk pada Realitas Tertinggi, Tuhan.


























Impian Untuk Desa Pakraman
(SARAD, NO. 110 JUNI 2009:hal.25)

I Wayan Sukarma

Impian bukanlah harapan kosong sekadar pemenuhan kepuasan sementara, melainkan kejelasan visi-lokal dalam dunia-global demi lokalitas, kebertahanan desa pakraman, kebalian orang Bali. Ini upaya pengembangan wawasan budaya lokal, baik melalui lokalisasi maupun glokalisasi dalam gelombang globaliasi. Semakin jelas visi-lokal, semakin efektif proses asimilasi dan akomodasi, dan semakin efektif respons budaya lokal terhadap pengaruh budaya global. Visi-lokal merupakan kejelasan sistem nilai yang dapat memacu produktivitas tindakan sosial orang Bali. Paras-paros misalnya, cara arif orang Bali membangun integrasi dan integritas sosialnya, mungkin dapat dijadikan pondasi konstruksi visi-lokal Bali. Akan tetapi modernisasi menghambat kemungkinan itu, karena pengaruhnya telah memacu frekuensi permainan moral sehingga modal sosial-budaya yang menjadi pondasi moralitas desa pakraman semakin goyah.
Pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran epistemologi sosial dalam masyarakat, yaitu dari ‘yang baik adalah yang benar’ ke ‘yang benar adalah yang baik’. Masyarakat tradisional beranggapan, apa yang baik menurut mereka, itulah yang benar bagi mereka. Sebaliknya, masyarakat modern beranggapan, apa yang benar menurut mereka, itulah yang baik bagi mereka (kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran adalah akal dan rasio, ’yang benar’ adalah ’yang masuk akal’, ’yang logis-rasional’ sebaliknya, yang tidak logis dan irasional adalah salah. Artinya, masyarakat tradisional lebih mengedepankan moralitas daripada rasionalitas, sedangkan masyarakat modern lebih mengedepankan rasionalitas daripada moralitas. Walaupun ini bukan soal pilihan, tetapi dapat diduga di antara moralitas dan rasionalitas ini, desa pakraman mengalami anomali dalam kebingungan berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas menyebabkan ketersesatan moralitas, karena itu desa pakraman mengalami kesulitan mewujudkan sukerta: parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Kebingungan dan ketersesatan ini merupakan proses minimalisme moral, pengerutan dan pengerdilan, bahkan pendangkalan makna moralitas yang tereduksi hingga ke dalam bentuknya yang paling rendah, seperti lenyapnya rasa malu, hilangnya rasa tanggung jawab, serta absurditas dan ironi sosial. Akibatnya, ukuran moral dalam masyarakat menjadi sangat relatif sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang tersembunyi di baliknya. Relativitas sifat moral ini akan menimbulkan kegamangan praktik sosial dan semakin longgarnya mekanisme kontrol sosial, yang pada gilirannya dapat memicu konflik sosial di desa pakraman dalam berbagai variasi dan variannya. Mengingat di dalam ruang, di tempat moralitas sedang dipermainkan, ruang itu tidak akan menjadi ekosistem yang mampu memberi ruang tumbuh perubahan peradaban.
Di sini desa pakraman memerlukan figur-figur yang sanggup menjadi penjaga pondasi moralitas dengan bersandar pada rasionalitas. Mungkin relevan untuk dipertimbangkan, menjaga keseimbangan antara sistemasi dan diskursus desa pakraman. Sistemasi, yakni awig-awig dan pararem desa diupayakan mampu merangkum tindakan kreatif krama desa sehingga dapat memberikan pengalaman rasionalitas. Sebaliknya, diskursus, yakni paruman desa diupayakan berlangsung dalam bahasa krama sehingga dapat memberikan pengalaman moralitas. ”Bahasa Ibu” inilah wujud kesadaran kolektif krama desa karena dengannya mereka saling memahami. Dalam rumusan Habermas dikatakan, ”bahasa” sebagai tempat pengalaman rasionalitas karena rasionalitas tertanam dalam struktur bahasa sendiri. Oleh karenanya ketika masuk dalam paruman desa, peserta paruman dapat mengajukan klaim bahwa pembicaraan itu jelas, benar, jujur, dan betul. Artinya, peserta paruman akan mengungkapkan dengan tepat yang dimaksudkan, yang dikatakan adalah yang mau diungkapkan, tidak berbohong, dan mengatakan yang wajar dikatakan.
Ini kesempatan krama desa belajar berkomunikasi secara rasional dengan mengambil sikap verbal terhadap pengalamannya. Paling tidak, mereka belajar mengatakan alam luar yang sesuai dengannya, mereka belajar mengatakan yang wajar dikatakan terhadap masyarakat, mereka belajar jujur mengungkapkan alam batinnya melalui bahasa yang jelas, dan mereka belajar membuktikan klaim itu dalam sebuah pergaulan. Artinya, rasionalitas adalah disposisi krama desa yang mampu berbahasa dan bertindak, yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya dan keharusan untuk seperlunya mempertanggungjawabkan perkataannya. Ini menegaskan, visi-lokal berisi kemampuan berbahasa ”ibu” dan bertindak menurut tradisi dan krama desa memperolehnya melalui interaksi dan kebebasannya. Ini gagasan tentang reinterpretasi dan reposisi Bahasa Bali, sebuah impian untuk menjadikannya ”Ibu Moralitas dan Rasionalitas Desa Pakraman”, penuntun pikiran, kata-kata, dan tindakan kepada sebuah kesadaran: ”Desa ring Raga”.



















Ketika Wajah Bali Sudah Keriput
(SARAD, NO. 111 JULI 2009:hal.27)

I Wayan Sukarma

Zaman kemajuan telah mendemontrasikan semakin tingginya upaya saling mendominasi dan saling menundukkan antara bidang kehidupan, bahkan antara mereka cenderung saling memperalat. Ini akibat dari semakin intensifnya komunikasi dan interaksi yang membuat batas ruang dan waktu menjadi tidak terlalu relevan. Sekat-sekat yang secara spasial dan temporal memisahkan manusia semakin melentur, bahkan kabur sehingga identitas begitu cair, bahkan seolah-olah semua telah lebur tanpa tanda pengenal. Batas-batas wilayah, kebangsaan, kesukuan, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan lain-lainnya semakin samar. Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moralitas menjadi tidak begitu jelas sumber dan cara-cara mengurainya. Dapat diduga, ketakjelasan semacam ini merupakan sumber kesulitan dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali. Namun begitu jelas sarat ’harapan’.
RTRWP Bali memang mengandung banyak harapan, bila tidak begitu maka wacananya tidak akan meriah, semeriah harapan koran lokal. Bukan hanya itu, bahkan Bachrul Hakim (Sinar Harapan, 2 Juni 2009:hal.15) mengharapkan, “pariwisata Bali bisa terus tumbuh tanpa mengorbankan adat, tradisi, dan lingkungan alam Bali”; dan berdoa, “mudah-mudahan Sang (Hyang) Widhi Wasa melindungi umatNya di Bali, agar wajah dan jati diri Bali yang asli tetap terjaga”. Harapan dan doa ini merupakan bagian penutup atas deskripsinya tentang dinamika pariwisata Bali sejak 1999 hingga 2007 dengan titik tolak perkembangan pariwisata masa 1970-an dalam bungkus Wajah Asli Bali Semakin Pudar. Lebih ekstrem lagi, bahkan Ida Pandita Rsi Agung Dwija Bharadwaja (Bali Post, 13 Juni 2009:hal.6) meramalkan, bila Tidak Hati-hati Bali Bisa Binasa.
Gejala penuaan wajah Bali memang digambarkan dalam ’harapan itu’ melalui pesan, ’jangan korbankan adat, tradisi, dan alam Bali demi pariwisata’. Sepertinya pesan ini hendak menyampaikan perbedaaan posisi pariwisata dengan adat, tradisi, dan alam Bali. Perbedaan ini juga hendak menjelaskan korelasi antara mereka, tetapi kecenderungannya adat, tradisi, dan alam Bali pada posisi dikorbankan. Perhatikan fenomena alih fungsi lahan dan penggunaan air untuk pariwisata; longgarnya praktik dan kontrol sosial di desa pakraman; dan tingginya diferensiasi nilai. Apabila kondisi ini dibiarkan terlalu lama maka pada suatu saat wajah Bali akan keriput dan tidak lagi dikenali. Ketika Wajah Bali Sudah Keriput: adat mengkerut, tradisi menciut, dan alam tandus (sandyakalaning Bali?). Ini saatnya alam Bali tidak lagi mampu menyusui, adat dan tradisi tanpa visi – toh orang Bali tidak makan dolar – siapakah yang harus perduli?
Inilah isi ‘doa itu’, yang harus perduli menjaga wajah dan jati diri Bali yang asli adalah umat Hyang Widhi Wasa di Bali. Ini anjuran agar krama desa lebih menguatkan sradha-bhakti, sebagaimana Tri Murti memberikan landasan ideal pada desa pakraman. Brahma adalah titik asal-mula kehidupan, Siwa adalah titik tujuan kehidupan, dan Wisnu adalah garis eksistensi kehidupan. Pemaknaan sradha-bhakti kepada Hyang Widhi Wasa dalam dunia metafisis-idealistis memang semestinya dapat mencerahi kehidupan dunia fisis-materialistis yang terkapling-kapling berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan manusia. Jadi, sradha-bhakti bukanlah entitas yang lepas-terpisah dari dunia nyata, tetapi bertali-kelindan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Sradha-bhakti inilah yang menuntun pikiran dan tindakan kreatif krama desa sekaligus melindungi kebebasannya. Dengannya Tri Hita Karana dan Tri Mandala menjadi sumber moral dalam memahami kehendak Ruang dan Wilayah Desa Pakraman – Jati Diri Bali. Di sini agama Hindu lebih fungsional dalam kehidupan setidak-tidaknya, dapat menjadi sumber penjelasan terakhir tentang masalah fundamental kehidupan karena memberikan dasar-komitmen dan tujuan kehidupan; menjadi sumber ketenangan dan kedamaian karena memberi kepastian hidup; menjadi pembenaran atas praktik-praktik kehidupan dalam masyarakat karena memberi azas-azas moralitas; serta meneguhkan tata nilai dan memuaskan kerinduan yang paling mendalam karena memberi pengalaman mengenai keimanan. Pada gilirannya bidang-bidang kehidupan yang semula dibatasi sekat-sekat spasial dan temporal semakin diresapi sradha-bhakti sehingga kehidupan kembali pada garis eksistensinya; dan sudah semestinya ’dari mana semuanya lahir, dengannya semua bertahan hidup, dan kepadanya semua kembali’. Dengan demikian Desa Pakraman tetap dan selalu menjadi Desa bagi Pakramannya. Inilah Asli: Wajah Bali.


























Dharma Untuk Desa Pakraman
(SARAD, NO. 112 AGUSTUS 2009:27)

I Wayan Sukarma

Komitmen Wali Kota Denpasar Rai Mantra dalam melestarikan dan menjaga eksistensi desa pakraman tidak diragukan lagi karena gelontorkan 875 juta rupiah untuk 35 desa pakraman (Bali Post, 1 Juli 2009:hal.3). Bisa jadi komitmen ini merupakan suatu bentuk keprihatinan terhadap semakin tergerusnya nilai-nilai tradisional yang disebabkan oleh semakin derasnya pengaruh nilai-nilai modern di desa pakraman. Prihatin karena desa pakraman yang sesungguhnya media ekspresi religiusitas umat Hindu Bali telah menjadi medan ekspresi nilai-nilai nonreligius dan permainan moral. Keprihatinan ini merupakan himbauan moral agar orang Bali semakin perduli kepada desanya, apabila tidak maka desa pakraman tinggallah kenangan. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya agar orang Bali (krama desa) dapat mengambil tanggung jawab tersebut di tangannya sendiri? Kalau ditelusuri yang paling wajar memikul tugas ini adalah pemimpin desa pakraman, yaitu prajuru desa.
Mungkin ada prajuru desa yang melontarkan balik pertanyaan, memangnya siapa saya? Emangnya gue pikirin? Mereka bukannya hendak menyangkal tanggung jawab, tetapi mungkin persoalan-persoalan desa pakraman telah memangsanya, mungkin permainan moralnya sendiri telah menelannya mentah-mentah. Menjadi relevan ungkapan (Hardono Hadi (2007:103) dalam Kepemimpinan Religius Transformatif), “bagaimana saya dapat mengentaskan orang lain dari benaman lumpur kehidupan ini, kalau saya sendiri terpasung di dalamnya”. Akan tetapi takdir warga desa bukanlah melarikan diri dari ketidaksempurnaan, karena itu jauh lebih baik mencoba daripada terbenam dan menjadi lumpur itu sendiri. Persoalan desa pakraman memang menjamah seluas jangkauan globalisasi dan sedalam batin warga desa. Nilai-nilai nonreligius begitu perkasa menjelajahi sendi-sendi kehidupan pakraman, bahkan telah mewabah ke dalam sanubari warga desa. Menghadapi persoalan ini tidak terlalu mudah kalau hanya mengandalkan kemampuan prajuru. Prajuru desa perlu mengadakan temu-wirasa, berbagi-hati dengan mereka yang sama-sama merasa prihatin.
Berbagi keprihatinan tidak dapat dihindari karena desa pakraman memang bukan tempat yang memuaskan dan sifat warga desa memang tidak begitu ideal. Ketidaksempurnaan ini bukan kondisi yang harus diratapi ataupun dosa yang harus dimanipulasi, tetapi digunakan untuk memahami keterbatasan. Kesadaran akan keterbatasan dapat menjadi pintu masuk ke dalam ketidakterbatasan untuk memahami indahnya kebebasan. Warga desa memang tidak perlu mencari kebebasan di dunia lain, karena dunia seperti desa pakraman adalah tempat bagi kebebasan. Kebebasan untuk memahami perbedaan cara-cara kehadiran dalam dunia yang tidak seragam karena alam telah membentuk banyak bahasa, agama, dan tradisi sosial yang berbeda. Perbedaan inilah tugas warga desa untuk menciptakan tatanan desa pakraman dan menemukan jalan hidup bersama. Dengannya desa pakraman menjadi tempat persemakmuran bersama melalui kerja sama untuk mencapai martabat dan kehidupan mulia bagi semua.
Kemuliaan yang ditawarkan dalam menjaga eksistensi desa pakraman adalah prinsip dasar dharma. Dharma (yang menurut Radhakrishnan (2003) dalam Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat) sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan catur purusha artha (empat tujuan kehidupan), catur varna (empat kelompok lapisan sosial), dan catur asrama (empat tingkatan kehidupan). Dharma sebagai realisasi kehormatan spiritualitas manusiawi, kehidupan sosial warga desa tempat mengenal hak-hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan berkembang dalam persahabatan. Tempat warga desa melatih diri mencapai suasana kesempurnaan dan kemurnian spiritual menuju perkembangan kondisi sosial yang dapat mengantarkannya kepada kehidupan material, moral, dan intelektual sesuai dengan kebaikan dan kedamaian semua orang.
Akhirnya harus diterima, warga desa memang manusia religius sehingga desa pakraman memang lingkungan tempat memperoleh pengetahuan agama, merefleksikan kesadaran agama, dan mempraktikkan agama. Tuhan sebagai yang esensial dalam agama dipahami sebagai Pengada di titik asal-mula, Pemelihara pada sepanjang garis-eksistensi, dan Pelebur di titik tujuan-kehidupan. Kehidupan yang dihiasi indahnya nilai-nilai ketuhanan akan memberikan kegembiraan keberagamaan dalam dunia sosial yang diselimuti moral. Kegembiraan semacam ini tidak menyisakan ruang bagi tindakan munafik dan hipokrit, seperti mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama, yang menebar ketakutan, kengerian, kehancuran, dan kemusnahan ras manusia. Jadi, warga desa harus mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri tanpa menunggu teladan prajuru karena merealisasikan ketuhanan merupakan tujuan hidup pribadi. Inilah Dharma Desa Pakraman.























Kalau Prajuru Desa Pakraman Kesurupan
(SARAD, NO. 113 SEPTEMBER 2009:hal.25)

I Wayan Sukarma

Bumi mungkin akan hancur oleh kelalaian hukumnya sendiri misalnya, tabrakan dengan planet lain, kerusakan dalam perutnya (seperti semburan lumpur di Porong, Sidoarjo), sirnanya sinar matahari atau mungkin oleh kejahatan alam lainnya. Akan tetapi ini hanya kemungkinan yang sangat kecil, dibandingkan dengan kemungkinan yang ditimbulkan oleh kejahatan moral. Bumi akan musnah lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh perbuatan manusia, bahkan kebodohannya yang memuncak pada kebingungan (sad ripu) dapat memusnahkan dirinya sendiri. Perbuatan immoral yang bercenderungan destruktif rupanya, lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh kebingungan. Kebingungan yang membuat manusia mengalami frustasi berkepanjangan dalam kelahiran berulang-ulang. Malahan untuk meyakinkan Arjuna yang sedang kebingungan dan putus asa, Krishna harus memeras sebuah penjelasan tentang struktur keseluruhan jagad-raya dan kultur seluruh kehidupan menjadi tujuh ratus seloka. Artinya, keseluruhan struktur Bali dan seluruh kultur kehidupan manusia Bali akan musnah, lebih besar karena perbuatan orang Bali sendiri daripada bencana alam. Bali akan sirna, bila manusia Bali kebingungan dan putus asa.
Manusia bingung memilih antara ’yang benar’ dan ’yang salah’ atau antara ’yang baik’ dan ’yang buruk’, suatu kelaziman yang disodorkan dalam dunia sosial. Walaupun suatu kelaziman, melakukan penilaian moral memang bukan perkara mudah. ’Benar-salah’ ataupun ’baik-buruk’ bukanlah peristiwa ’hitam-putih’ karena relativitas dunia sosial tidak memutlakkan nilai. Dari sifat nilai inilah penyesatan logika dan permainan moral dimulai karena pengesahan etis memang melewati begitu banyak pertimbangan ’yang mesti’ dan ’yang harus’ diperhatikan. Pertimbangan berdasarkan dimensi Rasionalitas dan Moralitas ini mungkin merupakan kesulitan yang memaksanya kebingungan dan mendesaknya hingga putus asa. Kondisi ini dapat saja mendorongnya lebih mengikuti sifat liarnya (untuk melakukan pemutarbalikan logika dan moral) daripada kebebasannya (untuk mengakui agama, kebudayaan, hukum, tradisi sosial, dan adatnya). Dapat diduga, prajuru seperti ini yang lebih banyak dijumpai Windia sehingga menurutnya, ke depan diperlukan prajuru yang tidak pongah dan tidak bengkung (Bali Post, 13 Agustus 2009:hal.19). Mungkin dapat diusulkan, juga pada masa depan diperlukan prajuru yang tidak pangkah.
Prajuru pangkah biasanya, melakukan apa yang tidak dapat dilakukan (diskompetensi). Misalnya, bertindak menyimpang, bahkan melampaui kekuasaan, kewenangan, dan otoritas yang melekat pada kata ”prajuru”. Prajuru pongah umumnya, melakukan apa ’yang tidak semestinya’ dan ’yang tidak seharusnya’ dilakukan (immoral). Misalnya, berbuat menyimpang, bahkan bertentangan dengan spirit awig-awig dan pararem desa. Prajuru yang pangkah dan pongah inilah lazimnya bengkung, kira-kira ’tidak tahu diri’ alias ’tanpa kesadaran’ atau ’kesurupan’. Prajuru kesurupan akan (bengkung dengan pangkah dan pongah) memaksakan kehendak menggantikan kebebasan berpikir dengan kepatuhan membabibuta, menggantikan perkembangan moral dengan kebungkaman moral, bahkan menggantikan rasa kemanusiaan dengan arogansi dan keegoisan. Akibatnya, kondisi moralitas menjadi abnormal, dikoyak-koyak oleh kesalahpahaman, kebencian, dan perselisihan; bahkan kehidupan dipenuhi dengan suasana ketidakpastian, kecurigaan, dan ketakutan. Warga desa mengalami ketegangan mental, bahkan hidup dalam kecemasan dan kekecewaan. Akhirnya, desa pakraman pun berada dalam kondisi kesurupan, tidak ada lagi agama dan satu adat yang bisa diterima oleh semua warga desa. Boleh jadi, ini sandyakalaning keseluruhan struktur dan seluruh kultur kehidupan desa pakraman, bila tidak etis disebut pralaya.
Warga desa yang berpikir jernih tentu tidak membiarkan desa pakramannya ‘busuk’ hanya karena prajuru kesurupan yang ‘korup’ dalam merumuskan dan mempraktikkan awig-awig dan pararem desa. Mereka yang tafakur bisa merasakan desa pakraman yang ditinggalinya bukan sebuah kekeliruan dan kesangsian, tempat kebingunan dan putus asa. Melainkan arena damai bagi berseminya rasa kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan, seperti pencapaian luhur generasi masa lalu. Pada masa depan desa pakraman lebih memerlukan prajuru berpengetahuan dan berkesadaran agama Hindu. Bukan hanya mengenai sradha dan bhakti, tetapi juga prajuru yang secara nyata mempraktikkan susila dalam perbuatannya. Prajuru susila menerima agama Hindu menjadi sistem keyakinan dan inti sistem nilai dalam rekontruksi sosial desa pakraman. Membiarkan dirinya disusup-lingkupi sradha-bhakti serta menerima susila menjadi pendorong dan pengontrol perbuatan dan tindakan warga desa. Merelakan agama Hindu menjadi orientasi dan motivasi kehidupan warga desa untuk membantu mereka mengenal dan menghayati sesuatu yang suci dan sakral. Melalui pengalaman keberagamaan dan penghayatan kepada Hyang Widhi, mereka memiliki kepekaan rasa untuk memahami indahnya mencintai sesama dan mengasihi sarwa prani. Cinta-kasih ini membangun visi mereka tentang keselamatan Jagad Bali dan selalu eling: “manusia menderita akibat dirinya sendiri”.


















Pudarnya Pesona Agama Tirta
(Sabda, No. 01 Agustus 2010:hal. 21--22)

I Wayan Sukarma

Air itu kebutuhan hidup. Bukan hanya kebutuhan, bahkan air bersama tujuh unsur lainnya merupakan delapan anasir material kehidupan. Krishna bersabda, “tanah, air, api, udara, ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alamKu yang terpisah” (Bhagavad Gita, VII:4). Thales, pemikir Yunani Kuno mengatakan, air itu hakikat segala sesuatu. Orang Bali meyakini, air mewarisi sifat-sifat Wisnu, dewa penyelenggara kehidupan. Dengan keyakinan ini bersama fungsi Brahma dan Rudra, dewa pangada dan tujuan kehidupan, air-kehidupan orang Bali mengalir sepanjang tradisi desa pakraman. Tri Murti ini diyakini sebagai manifestasi Bhatara Siwa dan persembahan kepadaNya tidaklah sempurna tanpa air. Dalam kesatuannya dengan tridatu, air diyakini memiliki kekuatan gaib-mistis dalam rangka memperluas dunia-manusia ke dunia-dewa-dewi. Begitulah orang Bali menerima dan mengapresiasi air dan dengannya, mereka memandang dan memelihara dunia-kehidupan (bhuana agung dan bhuana alit). Dunia yang diorientasikan pada kesucian dan lebih diproyeksikan pada kehidupan di sini-kini (bukan akhirat: neraka-surga-moksa).
Mungkin karena dominan dan begitu beragamnya penggunaan air (bahan baku tirtha) dalam keberagamaan sehingga orang Bali menyebut sistem keyakinannya dengan Agama Tirtha (sebelum bernama Agama Hindu). Selain itu, juga mungkin karena sifat dan fungsi air dalam jagat raya sama-sejalan dengan tujuan Agama Tirtha: Kesejahteraan (dengan ‘K’ besar). Sebuah konsep yang dikemas dalam rumusan tri hita karana dan disimbolkan dengan kahyangan tiga di desa pakraman. Di sini air-kesejahteraan menjadi tirtha dalam upacara yadnya, panglukat dalam ruwatan, loloh dalam usada, dan yang lainnya sesuai dengan sifat dan fungsi air pada setiap bidang kehidupan. Demikianlah air dihadirkan menjadi tirtha dan kemudian diapresiasi menjadi penuntun, pelindung, dan kekuatan hidup. Inilah Agama Tirtha, pengetahuan kesucian yang dalam praktiknya dipahami menjadi tradisi Bali.
Kesadaran religius tidak kekal seperti ajarannya, tetapi mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Zaman kemajuan telah memaksa orang untuk mengembangkan kebutuhan dan kepentingannya hanya sebatas kata “sejahtera”. Kata ini mereduksi dan memanipulasi kehidupan menjadi begitu instrumental, karena itu orang lebih memilih tindakan strategis-teknis. Tindakan ini menyebabkan kehidupan diproyeksikan pada pertumbuhan ekonomi, mobilisasi sosial, dan ekspansi budaya. Perluasan semacam ini cenderung mengabaikan pemahaman institusional-etis. Dalam kehidupan yang lebih teknis daripada etis ini akan berakhir pada sekularisai. Pada gilirannya air pun kehilangan nilai religiusnya, kehilangan sifat-sifat Wisnu, bahkan kehilangan identitas karena kemasannya telah mewakili kehadirannya. Orang tidak lagi minum air, melainkan label minuman kemasan gelas atau botol, seperti aqua dan coca-cola, bahkan berbagai label miras. Subak semakin terpinggirkan bukan hanya karena sawah sudah kuno-kolot, tetapi juga karena air sudah menjadi barang rebutan (hotel, pabrik es, perusahan air minum, dan minuman kemasan). Kalaupun masih ada yang hendak melukat, mereka kesulitan menemukan tukad, campuhan, bulakan, kelebutan, dan pancoran yang layak untuk itu karena polusi air semakin kritis. Pada gilirannya tirtha pun tidak lagi memerlukan sumber dan tempat khusus untuk itu karena kantong plastik dan botol bekas kemasan minuman sudah dipandang layak menggantikannya.
Begitulah kesadaran teknokratis telah mengatasi kesadaran komunikatif yang berakhir pada privatisasi dan deprivatisasi agama serta sekularisasi. Pemisahan secara tegas antara bidang kehidupan religius dan nonreligius serta berkurangnya legitimasi sosial berdasarkan nilai-nilai agama menyebabkan semakin longgarnnya mekanisme kontrol sosial desa pakraman. Misalnya, subak semakin kehilangan legitimasi religiusnya karena tanah-pertanian dipahami sebagai objek-produktif. Pemahaman ini mungkin saja disebabkan oleh pengetahuan hegemonik tentang pajak atas tanah-pertanian sehingga apresiasi terhadap maknanya tidak lebih dari sekadar objek-komoditas. Akibatnya, Bhatari Sri dan Bhatari Nini seperti kehilangan kasih-sayang kesejahteraan. Bhatari Danu seolah-olah kehabisan pancaran energi kemakmuran karena danau dan sungai tidak lagi menjadi tempat subur tumbuhnya peradaban. Sungai kehilangan pesona bhanaspati-raja karena fungsinya tidak lebih dari sekadar menghanyutkan limbah. Pada gilirannya air dan segala hal yang berkaitan dengan tradisi agraris kehilangan pesona religius. Dalam hal ini, tentu terdapat perkecualian terhadap pura subak dan itupun kalau orang Bali masih menjadi penyungsungnya.
Memudarnya pesona religius tradisi agraris tidak lepas dari cara orang Bali merefleksikan pengalamannya mengenai air-pertanian. Pada masa lalu, air begitu diperebutkan oleh para petani sehingga mereka berlomba-lomba dengan musim untuk menyelesaikan usaha pertaniannya. Air begitu penting dan berharga, bukan hanya karena air itu kebutuhan hidup, tetapi juga karena air menjadi kepentingan usaha pertanian. Kekuatan pertanian bergantung pada air, kebertahanan pangan bergantung pada kekuatan pertanian, dan pada pangan orang menggantungkan hidupnya. Pada skema ini alam dipahami sebagai sumber kesejahteraan, tentu selain moralitas dan religiusitas, seperti dalam harmoni tri hita karana. Begitulah alam menjadi ibu yang menyusui anak zaman. Akan tetapi pada masa kini, zaman kemajuan telah mengubah kesadaran tentang air-alam dan alam-air. Misalnya, orang tahu bahwa beras belum diproduksi dengan mesin, tetapi profesi petani semakin langka karena beras bisa saja dibeli kepada negeri tetangga. Sederhananya, ‘buat apa ngurusin pertanian, kalau tanpa beras tidak perlu mati kelaparan’.
Rupanya, pengalaman mengenai air-pertanian ditindas-gilas oleh pengalaman mengenai uang (untuk membeli beras). Kalau pada masa lalu orang Bali bekerja demi beras (kanggoang ngalih baas akilo) untuk bertahan hidup, tetapi pada masa kini mereka bekerja demi uang. Di sini uang kehilangan esensinya sebagai alat tukar (menurut nilai nominalnya) karena uang telah menjadi tujuan. Kemudian, orang lebih mengandalkan diri pada uang daripada percaya pada cara mendapatkannya. Akhirnya, pengalaman mengenai uang telah mengaborsi mengalaman mengenai air-pertanian sehingga makna air-pertanian semakin terdistorsi di bawah kesadaran. Ruang tempat menyimpan dan menyembunyikan kemegahan religiusitas tradisi agraris sehingga orang melupakan bahwa bidang pertanian pernah menjadi profesi pilihan.


Yang Senantiasa Mengalir
Dalam proses kebudayaan, generasi baru harus menemukan ulang tradisinya ketika hendak mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya karena pewarisan nilai tidak dimungkinkan tanpa pembelajaran. Kalau agama itu inti dari sistem nilai yang dipraktikkan dalam dunia sosial, maka substansi tradisi terdapat pada esensi agama. Jadi, untuk memahami tradisi dapat dimulai dari pemahaman tentang agama. Sederhananya, agama adalah risalah pengetahuan kesucian yang diajarkan oleh guru. Guru adalah ia yang senantiasa mengusahakan dan memiliki pengetahuan kesucian. Ia menguasai tubuh dan pikirannya, bahkan nafsu, reaksi, dan meditasinya sendiri. Ia telah mentransendensikan ilusi (maya) dan pemikiran manusia normal lainnya. Ia tidak terganggu oleh kemalangan dan ia melampuai nasibnya.
Guru senantiasa mengusahakan pengetahuan kesucian dengan tiga cara. Melalui pengalaman inderawi dengan pembuktian langsung berdasarkan manah (empirisme); melalui penalaran rasional dengan pikiran analitik berdasarkan buddhi (rasionalisme); dan melalui pengalaman intuisi dengan mistis mentransendensikan realitas dunia-kehidupan berdasarkan citta (intuisisme). Guru dalam tradisi Bali dikenal sebagai “Siwa”, inkarnasi kebenaran dan mengungkapkan kebenaran melalui pengajaran dan jalan hidupnya. Kepada guru ini orang mesti menunjukkan sikap susrusa dan sradha, sebagaimana orang Bali menyerahkan kehidupan religiusnya kepada sulinggih.
Susrusa adalah keinginan yang kuat untuk mendengarkan dan patuh pada apa yang masuk ke telinga. Sikap patuh ini mengimplikasikan ketundukan, takzim, dan pelayanan. Proses pembelajaran memang menuntut kemampuan total untuk bisa mendengar dan melihat. Mendengar tanpa melakukan interpretasi dan melihat tanpa melakukan evaluasi. Untuk itulah diperlukan sradha, sikap percaya dan ketenangan pikiran. Sradha menuntut dibuangnya sikap pikiran yang independen dan kritis yang hanya mengandalkan kemampuan akal-rasional dalam menalarkan realitas. Dalam sradha juga dibutuhkan sikap takzim, keinginan yang kuat penuh semangat untuk mencapai pengetahuan kesucian, bukan rasionalisasi agama. Penyerahan diri berupa kepatuhan (susrusa) dan keyakinan (sradha) kepada otoritas guru merupakan upaya pewarisan budaya.
Dengan cara ini, tradisi Bali senantiasa ajek dalam semangat agama Hindu. Tentu saja didukung dengan mempraktikkan pandangan hidup, seperti pengasingan monastik, asketisme, meditasi, berdoa, amalan yoga, dan persembahyangan. Persembahyangan berfungsi mengalirkan esensi kebenaran suci kepada pelakunya. Kebenaran ini hadir dalam bentuk simbolik yang suci mengarahkan pikiran dan tindakan. Di sini tradisi Bali terkait dengan tapa, brata, dan upacara, sebagaimana orang Bali terikat pada rerahinan dan panca yadnya. Ini sajalah yang berlaku sebagai latar belakang mencari kesejatian tradisi Bali. Dengan kesejatian ini desa pakraman tetap dan selalu mengalirkan air-kehidupan tri murti.





Mabanten Tak Terbatas Kewajiban
(Sabda, No.2 September 2010:hal. 26--27)

I Wayan Sukarma

Agama itu pelembagaan religiusitas – kesadaran mengenai hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Tuhan. Dari penghayatan kesadaran tentang hubungan dan ikatan dengan Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, muncullah agama Hindu terdiri atas empat unsur utama, yaitu tattwa (dogma agama), susila (moral agama), acara (ibadat agama), dan parisada (lembaga agama). Tattwa merumuskan hakikat Hyang Widhi dan kehendakNya bagi umat Hindu dan masyarakat. Susila menggariskan pedoman tingkah laku sesuai dengan pengalaman dan kepercayaan kepada Hyang Widhi dalam kehidupan pribadi, sesama, dan masyarakat. Acara menetapkan cara bagi penataan hubungan dengan Hyang Widhi dan meningkatkan hubungan denganNya. Parisada mengatur hubungan antarumat dan hubungan umat Hindu dengan pemimpin agamanya dalam rangka penghayatan religiusitas bersama. Dalam praktiknya agama Hindu dikontekstualisasikan dengan tradisi sehingga susila yang dominan. Akan tetapi, acara tetap lebih menonjol di atas penghayatan tattwa dan peran parisada yang tenggelam dalam urusan organisasi.
Acara yang menetapkan cara yang seharusnya bagi penataan hubungan umat Hindu dengan Hyang Widhi menentukan tempat, waktu, cara, sarana, dan bentuk hubungan itu diselenggarakan. Ketentuan ini menetapkan pura sebagai tempat pemujaan (ista dewata); padewasan sebagai penunjuk hari baik; upacara yang memberikan peraturan dan petunjuk pelaksanaan; upakara menetapkan banten dan sesajen lainnya; dan menetapkan rerahinan sebagai perayaan. Dalam sebuah upacara yadnya misalnya, penggunaan upakara berupa banten memang menonjol, seperti segehan, canang, daksina, dapetan, penyambutan, penyucian, linggastana, sesayut, rayunan, dan rantasan. Selain banten juga melibatkan pandita/pinandita, serati, sekaa tabuh, sekaa santhi, dan simbol-simbol lainnya. Mengingat begitu banyaknya unsur yang membangun sebuah upacara yadnya dan berlangsung melalui tahapan yang ketat dengan perlengkapan khusus sehingga terkesan meriah. Kemeriahan ini sempat menjadi polemik internal tentang pemisahan antara adat dan agama. Malahan secara eksternal pernah muncul keraguan terhadap sistem ketuhanan agama Hindu, bukan monoteisme seperti persyaratan agama formal yang resmi diakui oleh negara.
Padahal kemeriahan acara itu merupakan refleksi dari solidaritas religius umat Hindu ketika mereka membangun dan memelihara dunia kehidupannya berdasarkan suatu sistem terpadu mengenai kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan benda-benda suci yang menyatu dalam komunitas desa pakraman. Komunitas umat Hindu inilah gambaran kolektif, yaitu simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama bagi semua warga desa pakraman yang memungkinkan mereka merasa satu sama lain sebagai umat Hindu. Gambaran komunitas umat Hindu atau kolektif seperti ini menunjukkan cara warga desa pakraman melihat diri mereka dalam hubungannya dengan objek yang mempengaruhinya. Gambaran kolektif inilah bagian dari isi kesadaran kolektif desa pakraman. Kesadaran kolektif ini mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para individu warga desa pakraman yang menjadi maksud dan tujuan kolektif. Kesadaran kolektif inilah konsensus normatif yang menjadi acuan bagi tindakan sosial-religius warga desa pakraman kemudian, lebih dikenal dengan adat yang dalam bentuk jamaknya disebut adat istiadat atau tradisi Bali.
Kesadaran kolektif ini bukanlah konsensus normatif yang final, tetapi senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan zaman. Zaman kemajuan dalam label modernitas misalnya, telah menyebabkan perluasan bidang-bidang kehidupan termasuk pada bidang kehidupan religius. Perluasan inilah yang menjadi pemicu bagi dinamika dan dialektika serta berbagai perubahan paradigma keberagamaan. Acara yang merupakan sarana untuk berhubungan dan meningkatkan hubungan dengan Hyang Widhi kemudian, lebih ditujukan untuk meningkatkan ketertiban mengikuti peraturan, kesetiaan mengikuti petunjuk, dan rapinya pelaksanaan. Acara juga ditujukan untuk meningkatkan kemeriahan aksesoris, indahnya pakaian adat, dan maraknya iringan tetabuhan, kidungan, dan tarian. Lama-kelamaan acara dapat berubah menjadi magi dan tabu. Ini terjadi manakala acara dipandang sebagai rangkaian perbuatan, kata-kata, dan benda-benda yang kalau dilakukan dengan baik, maka dengan sendirinya akan mendatangkan keberuntungan. Akhirnya, tujuan acara bukan untuk memuja dan menyembah Hyang Widhi serta memperteguh hubungan dengannya, tetapi untuk mendapatkan keberuntungan sekaligus terhindar dari bahaya.
Inheren dalam perubahan tersebut juga banten mengalami pergeseran struktur serta makna yang menyertainya. Pergeseran ini meliputi, antara lain bahan baku, penggunaan, pengerjaan, dan cara perolehan. Pragmatisme yang menekankan pada nilai-guna misalnya, telah mendorong orang merasa lebih praktis membeli daripada membuat banten sendiri, karena itu muncullah perluasan institusi keagamaan misalnya, dagang banten dan industri ritual. Bukan hanya pada saat rerahinan dan upacara, tetapi setiap hari terjadi distribusi banten dan sesajen lainnya secara besar-besaran. Banten telah diterima menjadi komoditas yang bertumpu pada nilai-tukar dan upacara menjadi jasa yang tidak berbeda dengan jasa seperti profesi lainnya. Rupanya pasar telah menjadi kekuatan baru yang mengambil alih kesadaran religius umat Hindu sehingga membeli ataupun membuat banten sendiri tidak mempengaruhi khidmatnya upacara. Legitimasi dagang banten kian kuat sejalan dengan semakin meriahnya industri ritual, seperti upacara yang diselenggarakan Krematorium Santha Yana di Denpasar. Harga satu paket upacara ditawarkan seperti berikut.
PAKET URAIAN HARGA (Rp)
I UPACARA MAKINGSANN DI GENI
(biaya ambulance, pembakaran, banten dan sesari) 5.500.000,00
II UPACARA NGABEN SAMPAI NGANYUT
(Biaya ambulance, pembakaran, banten, dan sesari) 11.000.000,00
III UPACARA NGABEN SAMPAI NYEKAH (MAMUKUR)
(Biaya ambulance, pembakaran, banten, dan sesari) 19.000.000,00
IV UPACARA NYEKAH (MAMUKUR)
(Biaya tempat, banten, dan sesari) 9.000.000,00
V BANTEN NGELINGGIHAN 1.000.000,00
VI BANTEN NGERORASAN 1.500.000,00
VII PEMAKAIAN ANGKLUNG
(1) Ngaben 1 (satu) kali
(2) Mamukur 2 (dua kali
(konsumsi sekaa angklung ditanggung pemakai) Harga ini tidak dicantumkan karena bisa dinegosiasikan sesuai dengan perubahan harga dari sekaa.
VIII BANTEN PENYANGGRA
(1) Bebangkit Babi 3.000.000,00
(2) Bebangkit Bebek 2.000.000,00
(3) Suci perbuah 20.000,00
Perluasan institusi keagamaan seperti ini bukan hanya karena sekadar praktis, tetapi memang menjadi kebutuhan masyarakat modern. Dalam kehidupan sosial modern masyarakat cenderung lebih mementingkan hasil daripada proses karena waktu untuk kerja menjadi pilihan utama. Penggunaan waktu ini mengakibatkan terjadinya pemadatan makna acara pada berbagai aspeknya. Pemadatan makna seperti ini bisa saja berakibat pada semakin pudarnya solidaritas religius desa pakraman.
Misalnya, membuat banten dan sesajen lainnya yang semula merupakan institusi sosial bagi pewarisan tradisi sudah semakin langka. Banten tidak lagi dibuat bersama-sama oleh keluarga dan warga banjar, karena itu mereka bukan saja kehilangan momen berbagi pengalaman, tetapi juga kehilangan modal sosial. Walaupun dalam komunitas banjar misalnya, tradisi majenukan atau madelokan kelihatannya masih dijalankan, tetapi itupun dilakukan dengan begitu formal, bukan karena merasa satu keluarga. Kalau warga banjar tidak merasa sekeluarga, apalagi warga desa pakraman dan karenanya dapat dibayangkan semakin buyarnya nasib sistem kekerabatan orang Bali. Padahal sistem kekerabatan itu merupakan tempat kokoh bersandarnya segala kekuatan dan kemampuan tradisi Bali ketika berhadapan dengan budaya asing. Buyarnya nasib sistem kekerabatan itu mungkin dapat dihindari dengan mengubah perlakuan terhadap acara, yaitu acara diperlakukan bukan semata-mata hanya sebagai kewajiban agama. Kalau acara diperlakukan hanya sebagai kewajiban, maka acara hanya mendatangkan rasa lega karena merasa sudah memenuhi kewajiban. Akibatnya, sesudah melaksanakan acara, orang tidak lebih dekat dengan Hyang Widhi dan pribadinya tidak menjadi lebih baik.
Manusia memang mudah terjebak pada kepraktisan, yang penting melakukan, soal maknanya menjadi urusan belakangan. Dari mental kepraktisan inilah manusia dengan mudah jatuh pada rutinitas, pokoknya berbuat seperti yang sudah-sudah tanpa perduli pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya begitulah umat Hindu terjebak pada mental kepraktisan membeli banten dan jatuh terjerumus pada rutinitas acara. Rutinitas inilah yang menyebabkan acara berubah hanya menjadi kewajiban agama. Acara dilaksanakan bukan karena hendak meningkatkan hubungan dengan Hyang Widhi, tetapi demi melaksanakan kewajiban agama, yaitu untuk mendapatkan balasan baik. Kalau acara hanya untuk memenuhi kewajiban agama, maka tidak ada bedanya acara dengan membeli ataupun membuat banten sendiri. Padahal selain sebagai kewajiban agama, pada intinya acara itu sebagai pertanggungjawaban kepada Hyang Widhi. Pertanggungjawaban itu, agar umat Hindu berkembang menjadi manusia berkualitas seperti yang dikehendakiNya dan melaksanakan misi hidup demi kebaikan, kesejahteraan, dan keselamatan bagi sesama dan masyarakat.
Untuk itu kirannya lembaga agama termasuk lembaga adat perlu mengembalikan acara dan penghayatannya kepada sumbernya, yaitu religiusitas. Ini perlu disosialisasikan karena religiusitas inilah semangat dan roh agama. Dengan semangat ini acara menjadi cara untuk mengungkapkan pengakuan dan menyatakan hubungan dengan Hyang Widhi. Acara menjadi kegiatan bersama dan dengannya umat Hindu bersama-sama mengakui dan menyatakan hubungan mereka dengan Hyang Widhi. Dengan acara hubungan mereka dengan Hyang Widhi diperteguh dan hubungan mereka satu sama lain sebagai umat Hindu dipererat. Di sini acara berfungsi untuk merevitalisasi sistem kekerabatan dan solidaritas religius desa pakraman melalui pembaharuan, penyegaran, dan pengembangan sradha-bhakti. Dengan semangat sradha-bhakti ini acara mendapatkan makna dan dimensi yang sebenarnya sehingga bisa meningkatkan kemampuan umat Hindu dalam menjalankan tugas dan misi hidupnya. Oleh karena itu, melaksanakan acara bukan hanya perlu ketertiban mengikuti peraturan, kesetiaan pada petunjuk, dan terpenuhi kelengkapannya. Melainkan juga melaksanakannya dengan religiusitas, yaitu mengikuti Hyang Widhi. Dengan begitu, acara tetap berpegang pada peraturan, petunjuk, dan kelengkapannya sekaligus acara tidak lepas dari sumbernya, yaitu Hyang Widhi.































Pemimpin di Pulau Surga
(Sabda, No.3 Oktober 2010:hal. 34--35).

I Wayan Sukarma

‘Pemimpin itu orang-besar’. Begitu kira-kira gambaran mengenai pemimpin di benak para pengikut, ‘orang-orang-kecil’. Kalau di Bali, orang-kecil itu warga desa pakraman, penghuni setia “pulau surga”. Bila dibandingkan dengan orang-kecil tentu orang-besar memiliki kelebihan yang menjadi penanda kebesarannya. Wajah dan postur tubuh memang sudah lazim menjadi tanda untuk mengenal seseorang, tetapi belum cukup untuk mengidentifikasi kelebihan yang menjadi kebesaran orang-besar. Orang-besar bukan orang yang berkepala besar, apalagi besar kepala karena ‘orang yang besar kepala’ penuh dengan keangkuhan dan kesombongan; bukan orang yang bermulut besar, apalagi besar mulut karena ‘orang yang besar mulut’ mengalami kesulitan mengatakan kebenaran, bahkan orang Bali menyebutnya bungut-gebuh alias bobab; juga bukan orang yang bertangan panjang, apalagi panjang tangan karena ‘orang yang panjang tangan’ suka mengambil milik orang lain untuk dirinya sendiri. Begitulah orang-besar, bukan penyombong yang bohong, bukan pembual yang angkuh, juga bukan pencuri rakus yang serakah. Orang-besar terlalu jauh dari sifat-sifat mementingkan diri sendiri.
Mengingat tidak mementingkan diri sendiri sehingga orang-besar ialah orang yang mendahulukan kepentingan orang lain, orang-kecil. Sifat mengutamakan orang-kecil inilah diandaikan dengan jiwa besar. Sederhananya, orang-besar itu orang yang berjiwa besar. Orang yang berjiwa besar merasa senang terhadap apa saja yang membuat orang-kecil merasa senang. Orang-besar inilah anak agung alias raja, bahkan Arthasastra menyebutnya rajarshi (penata negara dan agama). Fungsi ini menyebabkan orang-besar bisa dan biasa menerima orang-kecil, malahan menuntun dan membimbing menuju kebaikan dan kemuliaan. Orang-besar memiliki kelebihan pikiran, perasaan, dan kehendak yang kuat untuk menggerakkan dan mengarahkan orang-kecil menuju pada kesejahteraan dan keselamatan. Ia menjadi penuntun karena kejernihan pikirannya, menjadi pembimbing karena kecerahan perasaannya, dan kenyamanan karena kearifan budi-kehendaknya. Inilah kehormatan yang menjadi mahkota orang-besar, seperti amanat Yajurveda kepada raja saat pelantikannya, ”..., jadilah engkau seorang raja yang menjalani undang-undang dan memberi petunjuk kepada rakyat; tetaplah tabah dalam kedudukanmu karena yang mulia adalah seniman yang mengetahui kalau pertanian akan tumbuh subur dan kemakmuran negara akan tetap tidak tergoyahkan; yang mulia tahu kalau rakyat akan menjadi kaya; dengan begitu, rakyat akan dapat menikmati kehidupan yang layak”.
Rupanya, mewujudkan ‘kehidupan yang layak’ merupakan dasar komitmen dan tujuan pemimpin – dengan berbagai model kepemimpinannya. Satu indikator penting kehidupan yang layak adalah pendidikan, antara lain menyangkut esensi, pemerataan, demokrasi, dan peningkatan mutu pendidikan. Walaupun pendidikan hanya satu indikator dari kehidupan yang layak, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri karena seluruh kegiatan masyarakat manusia selalu mengandung makna pendidikan. Pendidikan menjadi tempat kokoh bersandarnya kebudayaan dan kehidupan sosial, karena itu pendidikan menunjukkan derajat dan tingkat kemajuan suatu masyarakat. Ini sebabnya persoalan 129.848 orang siswa di Bali yang terancaman putus sekolah karena keluarga miskin (Bali Post, 1 September 2010, hal. 2) merupakan undangan istimewa kepada perhatian pemimpin di Bali. Bukan hanya pemimpin pemerintahan karena tugas-fungsinya memang mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi teristimewa pemimpin lembaga adat dan agama. Mengingat agama merupakan inti dan sumber tatanan nilai yang diafirmasi adat sehingga desa pakraman menjadi lingkungan bagi pengembangan sumber daya dan masa depan manusia Bali.
Desa pakraman merupakan lembaga adat, pranata sosial yang bersifat memaksa terhadap warga desa untuk menjaga ketertiban, keteraturan, dan keseimbangan sosial. Ini sebabnya realitas sosial desa pakraman merupakan gambaran hidup bersatu dalam kebersamaan. Hasrat bersatu muncul dari keinginan warga desa untuk hidup bersama dengan suatu perasaan kesetiakawanan sosial yang agung. Pada dasarnya perasaan ini bersumber pada kesadaran atas keterbatasan pengetahuan kehidupan dan ketakjelasan masa depan. Keterbatasan dan ketakjelasan ini mendorong warga desa mengandalkan diri pada agama dan menerima tri murti menjadi teologi kehidupan. Agama tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang bersifat dahsyat dan keramat yang berpusat pada hal-hal yang gaib, tetapi juga agama menjadi penting dalam konteks situasi ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Di sini tri murti tidak hanya dimengerti sebagai ajaran ketuhanan (tattwa), tetapi juga dipahami menjadi asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan (kahyangan desa). Mengingat ini yang menjadi inti dan sumber dari perasaan kesetiakawanan sosial desa pakraman sehingga kerjasama parisada dengan desa pakraman perlu dipererat. Parisada bukan hanya lembaga agama yang mengatur hubungan umat Hindu dengan pemimpin agamanya, tetapi juga memberi inspirasi penataan kehidupan sosial-budaya, tempat agama Hindu diapresiasi oleh warga desa.
Implikasinya parisada dan desa pakraman perlu pemimpin yang bisa menjamin warga desa mendapatkan hak yang sama, baik dalam hukum maupun untuk hidup dan beraktivitas. Perasaan nyaman dalam perlindungan hukum memang diperlukan untuk mencapai cita-cita bersama karena sungguh bukan keinginan yang waras, bila mengharapkan produktivitas optimal dari orang tertekan karena ketakutan. Oleh karenanya pemimpin perlu bisa membedakan antara ideologi ‘kawan dan lawan’ untuk mengantisifasi ideologi yang dapat membahayakan eksistensi parisada dan kedaulatan desa pakraman. Apalagi zaman kemajuan membawa serta begitu banyak ideologi yang tidak semuanya bisa diadopsi ke dalam tatanan nilai parisada dan desa pakraman. Malahan zaman kemajuan begitu sarat dengan ‘topeng kehidupan’ dalam berbagai variasi dan variannya sehingga kehidupan tidak seindah penampilannya. Manusia menjalani kehidupan dalam kesadaran semu karena citra-diri telah mewakili kehadirannya. Orang lebih memperhatikan penampilannya daripada kehormatannya. Ini sebabnya sikap kritis pemimpin menjadi begitu penting agar bisa menghargai prestasi dan memberi sedekah kepada yang miskin, bahkan membantu lembaga lain yang menderita kesusahan. Begitu juga memiliki ketegasan memberikan hukuman kepada warga desa atau sekelompok warga yang bersalah tanpa kecuali.
Begitulah pemimpin menjadi orang-besar dengan karakter kuat-kokoh, gagah-berani, dan tegas-luas karena tugas-fungsinya memang mempertahankan eksistensi dan melindungi kedaulatan orang-kecil. Tugas-fungsi ini begitu penting karena tanpa orang-kecil pemimpin bukanlah orang-besar. Untuk itu diperlukan pemimpin yang memiliki integritas kepribadian. Integritas kepribadian pada dasarnya bersumber pada kasih sayang. Integritas kepribadian pemimpin parisada dan desa pakraman tampak melalui kemampuannya mengapresiasi kasih sayang dalam kepemimpinannya. Kasih sayang bisa diapresiasi dalam bentuk pikiran menjadi kebenaran, dalam bentuk perbuatan menjadi kebajikan, dalam bentuk perasaan menjadi kedamaian, dalam bentuk perhatian menjadi ketulus-ikhlasan, dan dalam bentuk pengertian menjadi perbuatan tanpa kekerasan. Inilah busana pemimpin yang bisa melindungi mahkota-kehormatannya. Apabila pemimpin parisada dan desa pakraman mengapresiasi kelima nilai ini dalam kepemimpinannya, maka merekalah orang-besar yang menjadi penuntun, pelindung, dan kekuatan orang-kecil. Jika kedua lembaga ini penuh dengan kasih sayang, maka tidak diragukan lagi desa pakraman menjadi tempat indah berseminya kebebasan moral dan kemanusiaan. Kebebasan inilah keberanian orang-kecil menghadapi ancaman kebodohan karena kemiskinan.
Kebebasan memang merupakan jalan utama menuju kehidupan yang layak karena keterikatan menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan kebodohan dan kebodohan menyebabkan keterikatan. Dalam kehidupan ini, adakah yang lebih menakutkan daripada kebodohan? Jadi, tanpa kebebasan tidak-ada kehidupan yang layak. Kebebasan inilah keindahan. Prinsip sederhana yang disampaikan Yajurveda kepada raja. Ditegaskan, pemimpin adalah seniman. Sejatinya memang seniman yang mengapresiasi keindahan-hidup (sundaram), ketika kehidupan dipenuhi kegembiraan; keindahan-hidup mengalir dari kebaikan (sivam), ketika semua orang mengapresiasi moral; mengapresiasi moral tidak mungkin tanpa pengetahuan kebenaran (sathyam); dan pengetahuan kebenaran tidak diperoleh tanpa proses pembelajaran. Begitulah pendidikan kebebasan yang diapresiasi dalam kepemimpinan. Dengannya, orang-besar adalah penegak hukum dan sumber kebaikan, tempat bergantung kebebasan orang-kecil. Akan tetapi, kedudukan pemimpin memberikan orang-besar semacam wewenang mengetahui kehidupan orang-kecil dan otoritas merekayasa kebenaran. Ini sebabnya orang-besar diperingati, agar tidak tergoda mempermainkan moral dan memanipulasi kegembiraan orang-kecil. Pengetahuan tentang kehidupan orang-kecil inilah menjadi dasar dan tujuan setiap kepemimpinan, yaitu tercapainya kegembiraan orang-kecil karena di sini orang-besar meletakkan kebahagiaannya. Demikianlah orang-besar melindungi mahkotanya untuk memenuhi amanat yang terakhir, ‘rakyat dapat menikmati kehidupan yang layak’.
Begitulah kebebasan menjadi landasan kehidupan yang layak dan menjadi kehormatan pemimpin, seperti harapan orang-kecil agar orang-besar senantiasa hadir dengan cahaya kebenaran untuk menerangi dan melindungi mereka dengan penuh kehormatan. Kehormatan memang mahkota kebesaran pemimpin karena tanpanya, orang-besar menjadi lebih kecil dari orang-kecil. Ia tidak lebih dari sekadar pelayan, pemuas nafsu-seleranya. Pelayanan semacam ini tidak akan pernah selesai, karena itu orang-besar menjadi rakus dan serakah sehingga sanggup berbuat kejam dan bengis. Kerakusan dan keserakahan membuatnya menjadi kikir. Kekejaman dan kebengisan membuatnya sewenang-wenang, mencampurbaurkan persoalan. Merendahkan orang-arif yang memuliakan kehormatan dan memuliakan orang-hina yang merendahkan kehormatan. Tanpa orang-arif, mahkota orang-besar akan semakin luntur, bahkan segera hancur karena orang-hina teman karibnya mengajaknya merasa senang tanpa kehormatan. Tanpa kehormatannya, orang-besar akan ditinggalkan oleh orang-kecil di pengasingan rasa malu yang mengerikan. Ini menjadi keprihatinan bersama, karena itu kalau tidak bisa menjaga mahkota sendiri, setidak-tidaknya orang-besar tahu diri, tidak mengusik harga diri dan kehormatan orang-kecil. Tinggalkan dan biarkanlah mereka belajar mengerti dengan caranya sendiri, seperti cara mereka memahami dan menghormati “pulau surga” yang mereka cintai.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...