Zona Perkembang Proksimal

ZONA PERKEMBANGAN PROKSIMAL (BALI):
MEMBANGUN JATI DIRI SEKAA TERUNA


Oleh
I Wayan Sukarma

Abstrak
Eksistensi Bali ditentukan oleh sistem dan struktur sosiobudaya desa pakraman. Oleh karena itu, baik langsung maupun tidak keajekan Bali terletak pada indentitas diri banjar karena banjar adalah pendukung desa pakraman. Sementara itu, eksistensi banjar tergantung pada jati diri sekaa teruna sebab sekaa teruna adalah generasi penerus dan pewaris banjar. Dengan demikian sekaa teruna adalah fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan, zona perkembangan proksimal, yang menentukan kerahayuan Bali. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang melalui interaksinya dengan orang dewasa (banjar dan desa pakraman) atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten (antar-sekaa teruna). Kematangan dan kedewasaan sekaa teruna merupakan potensi penting bagi kerahayuan Bali karena karakter Bali di masa depan ditentukan oleh jati diri atau kepribadian sekaa teruna itu sendiri.

Kata kunci: Zona Perkembangan Proksimal, Jati diri, dan Sekaa Teruna.


Pendahuluan
Sekaa teruna merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensi banjar dan desa pakraman, bahkan Bali karena sekaa teruna adalah daya potensial bagi perkembangan Bali. Pada posisi ini sekaa teruna dapat dipandang sebagai praeksistensi banjar, desa pakraman, bahkan Bali. Sekaa teruna dengan demikian merupakan domain dominan dan sentral dalam kesatuan dan keseluruhan sistem dan struktur budaya Bali. Masa depan Bali, baik langsung maupun tidak berada pada tanggung jawab pembangunan jati diri sekaa teruna sebagai wadah pengembangan generasi muda Bali. Akan tetapi kenyataannya sekaa teruna, baik sebagai subjek maupun objek belum memperoleh porsi wacana yang seimbang, apabila dibandingkan wacana mengenai banjar dan desa pakraman terutama dalam kaitannya dengan wacana tentang eksistensi Bali. Apalagi ditengah-tengah ketegangan sosiobudaya yang dialami oleh masyarakat Hindu di Bali, yaitu pada satu sisi industri pariwisata telah membuka peluang pergaulan antarbudaya, sedangkan pada sisi lain muncul gerakan pelestarian budaya lokal melalui wacana Ajeg Bali. Oleh karena itu masyarakat Hindu di Bali berada pada posisi persimpangan antara menuju modernisme dan mempertahankan budaya lokal yang berbasis Hindu.
Wacana tentang Ajeg Bali, tiada lain adalah upaya melakukan pembelaan terhadap pengetahun dan keterampilan tradisional Bali yang termaginalkan dalam gelombang globalisasi. Pemarginalan itu di samping globalisasi, juga dapat disebabkan oleh pembangunan yang berorientasi pada modernisme melalui pengadofsian kebudayaan Barat. Seperti diungkapkan oleh Atmadja (2005:5) bahwa pembangunanisme dan globalisasi telah menjadi latar belakang perubahan sosial masyarakat Bali. Dalam wacana tersebut suara-suara mengenai sekaa teruna sepertinya sama sekali tak terdengar, walaupun sekaa teruna merupakan tunas-tunas perkembangan Bali atau zona perkembangan proksimal Bali. Untuk itu perlu dilakukan reposisi, reinterpretasi, dan revitalisasi terhadap sekaa teruna terutama dalam kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Hindu di Bali.
Kerahayuan Bali, apabila diletakkan sebagai tujuan terakhir bagi perkembangan Bali maka sekaa teruna bisa ditempatkan sebagai zona perkembangan proksimal Bali, yaitu fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan, sesuai dengan gagasan Vygotsky tentang teori belajar dan pembelajaran dalam lingkup teori revolusi-sosiokultural. Teori belajar ini diasumsikan dapat memberi kemungkinkan bagi pembangunan jati diri sekaa teruna. Selanjutnya, kejelasan jati diri sekaa teruna, baik di tingkat banjar maupun di tingkat desa pakraman diasumsikan dapat mengantarkan Bali menuju kerahayuan. Persoalannya, bagaimanakah bentuk dan fungsi jati diri sekaa teruna sesuai dengan konsep zona perkembangan proksimal? Ke arah persoalan inilah terutama dalam kaitannya dengan mewujudkan kerahayuan Bali penelusuran akan dilakukan.

Konsep Zona Perkembangan Proksimal
Konsep tentang zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) dikemukakan oleh Vygotsky, di samping konsep hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development) dan mediasi (Budiningsih, 2005:99-102). Menurutnya perkembangan kemampuan individu dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu aktual dan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental. Sebaliknya, tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini disebut sebagai kemampuan intermental. Jarak antara keduanya, yaitu antara tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial inilah disebut zona perkembangan proksimal.
Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Ibaratnya sebagai embrio, kuncup bunga yang belum menjadi buah. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang melalui interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Untuk menafsirkan konsep zona perkembangan proksimal ini digunakan scaffolding interpretation, yaitu memandang zona perkembangan proksimal sebagai perancah, sejenis penyangga atau batu loncatan untuk mencapai taraf perkembangan yang semakin tinggi.
Kosep kunci yang perlu dicatat adalah bahwa perkembangan dan proses pembelajaran bersifat interpenden atau saling terkait; perkembangan kemampuan bersifat context dependent atau tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial; dan sebagai bentuk fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Apabila konsep ini dikenakan pada perkembangan Bali maka sekaa teruna dapat dipandang sebagai zona perkembangan proksimal Bali, yaitu fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan. Ibaratnya sebagai embrio, kuncup bunga yang belum menjadi buah, yang menyimpan rasa nanisnya norma-norma sosial dan harumnya nilai-nilai tradisi Bali. Pengembangan sekaa teruna dibangun dalam dua tingkatan, yaitu aktual (intramental) dan potensial (intermental). Pembangunannya dapat dilakukan melalui interaksi sosial, seperti antara sekaa teruna dan banjar, sekaa teruna dan desa pakraman, serta antarsesama sekaa teruna.
Membangun Jati Diri Sekaa Teruna
Manusia adalah makhluk eksploratif dan potensial (Jalalludin, 2002)[1]. Sebagai makhluk eksploratif manusia memiliki kemampuan mengembangkan diri, baik secara fisik maupun psikis; sedangkan sebagai makhluk potensial pada dirinya tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Akan tetapi manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya karena untuk bertumbuh dan berkembang normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan itu berupa bimbingan dan pengarahan dari lingkungan, baik berupa pendidikan maupun pembudayaan. Pada dasarnya pendidikan yang adalah penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran ini diharapkan sejalan dengan kebutuhan yang tersimpan sebagai potensi bawaan. Pembelajaran yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan. Perkembangan negatif akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku menyimpang. Bentuk tingkah laku menyimpang ini terlihat dalam kaitannya dengan kegagalan manusia memenuhi kebutuhannya, baik fisik maupun psikis. Sehubungan dengan itu maka dalam memahami perkembangan psikis dan sosial seseorang terlebih dahulu perlu dilihat kebutuhannya secara menyeluruh. Mengingat pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara jasmani dan rohani akan menyebabkan ketimpangan dalam perkembangan pada aspek-aspek kehidupan lainnya.
Seturut dengan pemahaman itu sekaa teruna dapat dipandang sebagai lembaga yang memiliki kemampuan mengembangkan diri dan memiliki sejumlah potensi pada dirinya sendiri untuk berkembang. Agar perkembangan sekaa teruna tidak menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai maka sekaa teruna memerlukan bantuan dan dukungan dari lingkungannya, berupa pendidikan dan pelatihan yang sesuai dan sejalan dengan potensinya. Secara sosiologis bahwa karakter kelompok atau komunitas tergantung pada peranan individu yang menjadi anggotanya. Oleh karena itu analisis terhadap suatu kelompok atau komunitas dapat dilakukan melalui analisis terhadap perilaku individu dalam kaitannya dengan kelompok atau komunitasnya. Dalam hal ini kualitas kepribadian individu, anggota sekaa teruna diasumsikan memiliki pengaruh yang sama dan setara terhadap kelompok, sekaa teruna. Sehubungan dengan upaya membangun jati diri sekaa teruna maka banjar dan desa pakraman lembaga yang paling dekat dengannya memiliki peranan pertama dan utama. Setidak-tidak dapat memberi contoh, memberi umpan balik, membantu menyimpulkan lingkungan, dan sebagainya dalam rangka perkembangan kemampuannya.
Perkembangan kemampuan aktual (intramental) sekaa teruna tampak dari kemampuan merencanakan program, melaksanakannya, dan melakukan evaluasi. Merencanakan program yang sesuai dengan potensi diri, baik berupa sumber daya manusia maupun sumber daya alam dan lingkungan sosial budaya. Landasan penyusunan program setidak-tidaknya mengacu pada nilai-nilai tradisi dan agama Hindu. Oleh karenanya rencana program sekaa teruna diharapkan mampu mengembangkan berbagai pengetahuan dan keterampilan tradisonal karena pengetahuan dan keterampilan modern telah diperoleh dalam lembaga-lembaga formal, seperti sekolah atau kampus. Melaksanakan program yang telah ditetapkan secara konsekuen sesuai dengan skala prioritas menurut kepentingan dan kebutuhan sendiri dan lingkungan. Landasan pelaksanaan program dapat mengacu pada desa-kala-patra, tempat-waktu-keadaan dan desa-kala-nimmita, ruang-waktu-tindakan sehingga tidak terjadi aktivitas yang mubazir. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program dapat dilakukan dari sudut isi program, kebutuhan riil, analisis kesesuaian isi dan kebutuhan, kemungkinan pengembangan program, faktor-faktor penghambat dan pendukung, dan melakukan penyempurnaan program sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan lingkungan. Dengannya program sekaa teruna senantiasa up to date, mutahir, dan berdaya guna.
Sebagai contoh, dalam menyusun perencanaan program sekaa teruna perlu memperhatikan tujuan hidup beragama, catur purusa artha dan potensi diri yang menurut ajaran catur asrama bahwa sekaa teruna dapat diandaikan berada pada masa brahmacari[2]. Konsepsi brahmacari menempatkan sekaa teruna sebagai generasi pembelajar yang sedang melakukan petualangan intelektual. Oleh karenanya tujuan hidup, berupa artha (kekayaan) dapat dimaknai sebagai pengetahuan dan keterampilan untuk mempertahankan dan melanjutkan eksistensi diri; tujuan hidup, berupa kama (kesukaan) dapat dimaknai sebagai hasrat untuk melakukan berbagai kegiatan hidup karena dengan menghasratkan menyebabkan adanya semangat untuk meraih hadiah kehidupan berupa hasil-hasil untuk memenuhi kesenangan hidup. Itu sebabnya hidup menjadi langgeng; tujuan hidup, berupa dharma (kebenaran) dapat dimaknai sebagai kewajiban belajar dan belajar; dan tujuan hidup, berupa moksa (kebebasan) dapat dimaknai sebagai kebebasan yang melandasi sikap dan tindakan dalam belajar dan belajar untuk mencapai keberhasilan. Menurut etika tanpa mengandaikan adanya kebebasan tidaklah mungkin suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tanggung jawab dan tindakan yang tidak ber-tanggung jawab tidak memungkinkan keberhasilan.
Perkembangan kemampuan potensial (intermental) tampak dari kemampuan menerima bimbingan dan pengarahakan serta melakukan koordinasi, kerjasama, dan berkolaborasi dengan sesama sekaa teruna. Untuk itu perlu dibangun berbagai relasi dan komunikasi sosial dan interaksi sosial yang mantap, seperti antara sekaa teruna dan banjar, sekaa teruna dan desa pakraman, serta antarsesama sekaa teruna. Kemauan dan kemampuan menerima bimbingan merupakan modal awal yang penting karena kemampuan ini memungkinkan terjadinya perubahan di dalam sistem dan struktur serta dalam mempertahankan eksistensi diri. Kemauan ini memungkinkan terjadinya asimilasi dan akomodasi infromasi sehingga selalu terjadi pemutahiran dalam sistem dan struktur pengetahuan. Apabila didukung oleh sistem sibernetik yang mantap maka sekaa teruna tidak hanyut di dalam arus globalisasi sebab pemutahiran pengetahuan mengandaikan penyesuaian dan adaptasi yang dinamis. Kemampuan melakukan koordinasi, kerjasama, dan berkolaborasi merupakan bentuk kematangan psiko-sosial (sekaa teruna) dalam membangun jati diri yang inheren dalam perkembangan kebudayaan dan pradaban. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi global menjadi modal penting sebab kecenderungannya Bali memiliki sikap permisif bagi pergaulan multibangsa. Dengan demikian jati diri yang kehinduan sekaa teruna senantiasa seturut dalam perkembangan zaman.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa jati diri sekaa teruna adalah eksistensinya berupa kemampuan aktual dan potensial, yaitu intramental dan intermental yang terbentuk melalui nilai-nilai tradisi Bali dan agama Hindu. Kemampuan ini tampak sebagai kecakapan dan keteramilan hidup dalam menentukan sikap dan tindakan dalam setiap siatuasi yang tidak seluruhnya sesuai dengan harapan dan keinginan. Kemampuan aktual ini akan tampak ketika sekaa teruna menghadapi dan memecahkan berbagai masalah sosial budaya secara mandiri, sedangkan kemampuan potensial akan tampak ketika sekaa teruna menghadapi dan memecahkan masalah sosial budaya bersama orang-orang dewasa. Kedua kemampuan ini terbentuk bersamaan dengan kemampuan melakukan asimilasi dan akomodasi informasi sehingga struktur kognitif yang dimiliki senantiasa berkembang sesuai dengan perubahan sosial budaya. Kemampuan mengaplikasikan tujuan hidup keagamaan, catur prusha artha dalam situasi-situasi yang sarat dengan kontradiksi norma dan nilai, juga dapat memberi kontribusi produktif terhadap pembangunan dan perkembangan jati diri sekaa teruna yang kehinduan.
Dalam hal ini peranan banjar dan desa pakraman diharapkan secara bersama-sama dapat memberikan tuntunan, perlindungan, dan kekuatan moral sehingga sekaa teruna merasa dalam satu kesatuan dari keseluruhan dan beragamnya lingkungan. Lingkungan yang selalu berubah-ubah sehingga memerlukan proses adaptasi secara terus-menerus. Oleh karena itu tuntunan yang diberikan dapat berupa pendalaman awig-awig dan paparem, yaitu landasan hukum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Perlindungan dari banjar dan desa pakraman yang diperlukan oleh sekaa teruna adalah tidak lebih dari pengayoman untuk melegalitas aktivitas-aktivitasnya. Dukungan moral dan motivasi yang tak henti-hentinya merupakan kekuatan terbesar yang dapat diberikan kepada sekaa teruna dalam rangka membangun jati dirinya. Dengan demikian sekaa teruna benar-benar bisa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari lingkungannya sehingga Bali benar-benar telah memiliki pewaris yang matang dan dewasa. Generasi, yang berkarakter dan berkepribadian mantap, yang memiliki integritas diri dan jati diri kehinduan yang kuat, dan yang siap mengantarkan Bali kepada apa yang disebut “selamat”, kerahayuan.

Simpulan
Paparan di atas berusaha memberikan pengertian mengenai jati diri sekaa teruna dalam kaitannya dengan pemahaman tentang nilai-nilai tradisi Bali dan agama Hindu sebagai berikut.
(1) Sekaa teruna sebagai praeksistensi banjar dan desa pakraman merupakan zona perkembangan proksimal Bali, yaitu fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang sedang berada dalam proses pematangan (menuju kerahayuan Bali).
(2) Proses pematangan itu, tiada lain adalah membangun jati diri sekaa teruna kehinduan sesuai dengan nilai-nilai tradisi. Untuk itu dapat dilakukan melalui pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan tradisional Bali.
(3) Proses pematangan itu diarahkan pada pencapaian perkembangan kemampuan aktual (intramental) dan potensial (intermental) yang berlandaskan konsepsi catur asrama dan catur purusa artha.
(4) Kehinduan sekaa teruna sebagai tunas-tunas tradisi akan selalu hidup, tumbuh, dan berkembang menuju Bali yang rahayu.

Daftar Bacaan
Atmadja, Nengah Bawa, 2005, “Bali Pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (hasil penelitian – studi kasus pada berbagai desa), Singaraja:-

Baggini, Julian, 2002, Lima Tema Utama Filsafat, Jakarta: Teraju.
Bertens, K, 2002, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budiningsih, C. Asri, 2005, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Reneka Cipta.

Hazlitt, Henry, 2003, Dasar-dasar Moralitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Koehn, Daryl, 2003, Landasan Etika Profesi, Yogyakarta: Kanisius.
Poedjawijatna, 1996, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta: Rineka Cipta.

Praja, Juhaya S., 2003, Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media.

Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius.
Salam, Burhanuddin H., 2000, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta.

Teichman, Jenny, 1998, Etika Sosial, Yogyakarta: Kanisius.
Jalaluddin, 2002, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Zaehner, Robert C., 1992, Kebijaksanaan Dari Timur: beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme, Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Zimmer, Heindrich, 2003, Sejarah Filsafat India, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[1] Sebagaimana dijelaskan oleh Jalaluddin (2002) Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dijelaskan juga bahwa jiwa keagamaan yang termasuk aspek rohani (psikis) akan sangat tergantung dari perkembangan fisik. Sebaliknya, perkembangan fisik juga sangat tergantung dari aspek psikis. Oleh karena itu terdapat korelasi positif antara kesehatan fisik dan kesehatan mental. Selain itu perkembangan manusia, juga ditentukan oleh tingkat usianya. Psikologi perkembangan membagi perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara garis besarnya perkembangan manusia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu (1) masa pre-natal, (2) masa bayi, (3) masa kanak-kanak, (4) masa pre-pubertas, (5) masa pubertas, (6) masa dewasa, dan (7) masa usia lanjut.


[2] Lebih lanjut mengenai penjelasan catur purusha artha dalam kaitannya dengan catur asrama dapat dilihat dalam Henrick Zimmer (2003) dalam Sejarah Filsafat India; dan Robert C. Zaehner (1992) dalam Kebijaksanaan Dari Timur: Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...