Sriwaratri

BRATA SIWARATRI: PERSPEKTIF YOGA

Oleh
I Wayan Sukarma

Abastrak
Brata Siwaratri terdiri atas tiga jenis, yaitu mono brata – tidak berbicara; upawasa – tidak makan dan minum; dan jagra – tidak tidur. Ketiga brata ini, jika dari perspektif epistemologi (medis), sungguh tidak bernalar, kecuali dipahami dari perspektif dengan interpretasi lain. Dengan demikian boleh jadi, mono brata mengisyaratkan untuk melakukan introspeksi diri dengan hening; upawasa mengisyaratkan untuk melakukan latihan pernapasan dengan pranayama; dan jagra mengisyaratkan untuk melakukan kontemplasi kepada Tuhan dengan meditasi, prayogasandhi. Oleh karena itu brata siwaratri tiada lain merupakan sebuah proses pendakian spiritual, realisasi diri, penyatuan diri dengan Yang Maha Esa - yoga.


Pendahuluan
Manusia adalah makhluk multi dimensional (Sastrapratedja, 1983). Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki alat persepsi yang paling lengkap dan sempurna di antara sesama makhluk hidup. Kelengkapan indera yang dimiliki memberikannya berbagai kemampuan dalam melakukan pengenalan, menandai, dan membagi realitas menjadi berbagai nama dan bentuk. Di samping itu manusia juga disempurnakan dengan kesadaran dan hati nurani sehingga ia mampu memahami berbagai fenomena hidup dan kehidupan. Kesadaran ini diperoleh melalui berbagai pengalaman dan sensasi, baik dalam bentuk pikiran, perasaan, maupun kehendak. Seperti dikatakan oleh Bertens (2002) dengan hati nurani manusia mampu menghayati tentang baik dan buruk berhubungan dengan tingkah lakunya. Dengan kesadarannya manusia sanggup untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu ia berefleksi tentang dirinya.
Kesadaran manusia mengalami perkembangan dari pengalaman empiris sampai ke tingkat spiritual, dan karenanya Mierca Eliade mengatakan bahwa manusia adalah homo religiuos. Artinya, di samping memiliki kemampuan melakukan pengenalan melalui empiri (pengalaman inderawi) manusia juga mampu melakukan “pengenalan” dengan intuisi sebagai kematangan spiritual (pengalaman non-inderawi). Hal ini oleh Walsh (2004) dikatakan sebagai pengalaman hidup manusia berdasarkan atas kesadarannya yang perkembangannya lebih lanjut berlangsung melalui tiga tahap utama, yaitu prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional, juga dikenal sebagai prapersonal, personal, dan transpersonal.
Hal ini sejalan dengan pandangan Kierkegaard (dalam Adian, 2002) yang menyatakan bahwa terdapat tiga tahap eksistensi manusia. Tingkat awal dari proses dialektika Kierkegaard adalah tahap estetis. Pada tahap ini manusia bertindak menurut impuls dan emosinya. Akan tetapi, manusia tidak selamanya hidup dalam suasana estetis karena telah berada pada satu titik sadar akan kerohaniannya. Oleh karena itu, ia menempuh lewat keputusan, kehendak, atau komitmen kemudian berlanjut pada tahap etik. Persoalannya menggayut pada pengetahuan akan kode-kode moral saja tidak cukup. Manusia terbatas dan kesadaran akan keterbatasan itulah yang akan melemparnya pada tahap religius. Tahap ini merupakan tahap kesadaran akan keterbatasan dan keterasingannya dari Tuhan.
Dikatakan pula hanya dengan melemparkan diri secara total ke pelukan Tuhanlah semua tahapan sebelumnya bisa diatasi. Artinya, melalui aspek yang transenden manusia diharapkan dapat mengaplikasikan nilai-nilai moral agama dalam situasi dan kondisi apa pun. Dikatakan demikian karena ia merasa diawasi, dibimbing, dan selalu bersama Tuhan yang telah menyusup dan melingkup dalam srada-nya. Lebih jauh juga dijelaskan bahwa pada tahap etik adalah mungkin bagi individual untuk memberikan hidupnya demi hukum moral yang secara nalar dipahaminya. Oleh karena itu, lompatan iman seseorang pada kehadiran Tuhan tidak dapat dideskripsikan secara rasional atau filosofis sebagai kebenaran absolut, melainkan pada kehadiran subjek.
Rahasia kesadaran religius bahwa individu tidak dapat mengobjektivikasi Tuhan. Hal ini terjadi karena Tuhan adalah subjek sehingga hanya hadir bagi subjektivitas manusia. Ketika sampai pada hubungan manusia dengan Tuhan maka jawaban rasional, konseptual, dan objektif tentang hubungan itu tidak tersedia. Oleh karena itu, hubungan tiap individu dan Tuhan bersifat unik dan merupakan pengalaman subjektif. Ajaran agama melalui teologinya hanya mengobjektivasi apa yang sesungguhnya subjektif. Jadi, bukan ilmu atau pengetahuan, melainkan iman (srada) yang dapat menjamin hubungan personal seorang individu dengan Tuhan.
Swami Rama (2002) mengatakan bahwa kesadaran spiritual merupakan kesadaran yang diperoleh secara tiba-tiba dalam usaha keras manusia melalui latihan-latihan spiritual yang memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Artinya, kesadaran spiritual merupakan peristiwa spontan yang diperoleh melalui proses pendakian yang memerlukan kesabaran dan latihan-latihan yang tidak mudah. Brata Siwaratri misalnya, terdiri dari tiga jenis brata, yaitu upawasa (tidak makan), monabrata (tidak berbicara), dan jagra (tidak tidur) merupakan latihan spiritual yang utama. Seperti ditegaskan oleh Arsana (1985) bahwa brata siwaratri adalah brata yang sangat utama dan mulia. Endraswara (2003) juga mengatakan bahwa latihan spiritual melalui tiga jenis brata ini juga banyak dianjurkan dalam banyak ajaran kerohanian dalam mistik kejawen. Artinya, brata siwaratri merupakan persyaratan utama bagi sebuah pendakian spiritual. Dengan demikian maka yang menarik dipertanyakan adalah bagaimanakah proses pendakian spiritual melalui brata siwaratri itu? Untuk membahas persoalan tersebut digunakan pendekatan deskriptif dan interpretatif atas beberapa sumber yang berkaitan dengan brata siwaratri.

Pembahasan
2.1 Pesan Moral-Spiritual dalam Cerita Lubdhaka
Wijaya Kusuma (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Cerita Lubdhaka dapat ditemukan dalam bentuk Kakawin dan Purana. Di samping itu Cerita Lubdhaka ditemukan pula dalam sumber lain seperti dalam sumber Eropa, Arab, dan dalam Kasusastraan Bali. Dalam bentuk kakawin Cerita Lubdhaka ditemukan dalam Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung yang oleh masyarakat Hindu di Bali lebih dikenal dengan Kakawin Lubdhaka. Sebaliknya, dalam bentuk Purana Cerita Lubdhaka ditemukan dalam Siwapurana, Skandapurana, Garudapurana, dan Padmapurana.
Secara ringkas Cerita Lubdhaka dikutip dari Arsana (1985) dapat disajikan sebagai berikut. Lubdhaka adalah seorang kepala keluarga yang pekerjaannya berburu. Pada hari panglong 14 kapitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ke tujuh) pagi-pagi ia pergi berburu ke hutan. Sambil menahan dahaga dan lapar seharian, bahkan sampai hari gelap di dalam hutan ia tidak memperoleh hasil buruan. Keadaan hutan semakin gelap sehingga ia merasa takut, dan karenanya ia memutuskan untuk tinggal di atas pohon. Takut akan tertidur, iapun memetik daun maja/bila dan menjatuhkannya ke air danau dan tanpa disadarinya daun-daun itu jatuh di atas sebuah Lingga Siwa. Setelah matahari terbit iapun pulang tanpa hasil buruan. Isterinya merasa sangat kecewa, tetapi hatinya segera menjadi lega setelah mendengarkan cerita pengalaman suaminya di dalam hutan. Di akhir cerita, setelah Lubdhaka meninggal Bhatara Siwa menganugrahinya Surga, Siwaloka.
Dari cerita tersebut setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa Lubdhaka adalah seorang grehasta, yaitu kepala keluarga yang memiliki kewajiban menjaga dan melindungi keluarganya. Ia berusaha menjadi suami dan ayah yang baik bagi isteri dan anaknya. Untuk memenuhi kewajiban terhadap keluarganya maka ia melakukan pekerjaan sebagai seorang pemburu. Dalam melaksanakan pekerjaannya iapun tidak lepas dari berbagai ancaman atas keselamatan dirinya. Ia menyadari bahwa untuk menyelamatkan keluarganya terlebih dahulu ia harus menyelamatkan dirinya sendiri. Ketakutan akan kegelapan dan ancaman dari binatang buas misalnya, dilakukan tindakan penyelamatan dengan naik ke atas pohon. Ketakutan akan ketiduran, diatasi dengan tindakan memetik-metik daun maja/bila. Hal itu dilakukan sampai matahari terbit dan hari menjadi terang maka iapun bisa kembali pulang menemui keluarganya. Artinya, setiap pekerjaan selalu mengandung suatu resiko, salah satunya dapat berupa perasaan ketakutan dari ancaman atas kesalamatan diri. Sungguh tidak bijaksana membiarkan perasaan ketakutan seperti itu berlangsung secara terus-menerus dalam waktu yang lama. Boleh jadi, hal ini yang memberikan inspirasi kepada pemerintah (bahkan I.L.O) mengeluarkan Undang-Undang tentang Perlindungan dan Keselamatan Kerja. Jadi, rasa aman dan kenyamanan kerja merupakan persyaratan utama untuk mencapai prestasi kerja yang maksimal.
Mengatasi rasa takut, juga merupakan hal terpenting dalam proses pendakian spiritual, seperti ditegaskan dalam Bhagavadgita, II:65, 66, dan 67 bahwa dalam ketakutan maka pikiran dan jiwa tidak akan seimbang, dalam ketidakseimbangan pikiran dan jiwa maka tidak akan ada ketenangan, dan bagaimana mungkin menikmati kebahagiaan tanpa ketenangan. Swami Rama (2002) juga mengatakan bahwa mengatasi rasa ketakutan dan tidak mementingkan diri sendiri merupakan tangga pertama untuk maju dalam pendakian spiritual. Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat (pada akibatnya), sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama (Bhagavadgita, III:19). Demikian pula bahwa sesungguhnya dengan kerja itu saja, Prabu Janaka dan lainnya mencapai kesempurnaan. Terpeliharanya dunia sesungguhnya demikian juga, engkau hendaknya memperhatikan dalam melakukannya (Bhagavadgita, III:20). Artinya, dengan karma marga, yaitu melaksanakan kehidupan berumah tangga seseorang juga akan sampai pada tujuan hidupnya, kesempurnan.
Jadi, untuk mengatasi rasa ketakutan dapat dilakukan dengan melakukan kerja demi kewajiban dan bukan untuk kepentingan pribadi berdasarkan motif-motif keinginan inderawi yang bersifat duniawi. Dalam banyak kitab suci disarankan bahwa bekerjalah untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial, dan hanya orang dungu bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri. Seperti ditegaskan dalam Bhagavadgita, III:25 bahwa seperti orang dungu yang bekerja karena keterikatan atas kerja mereka, demikianlah harusnya orang pandai bekerja tanpa kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan manusia dan memelihara ketertiban sosial. Hal ini lebih lanjut diuraikan dalam Bhagavadgita, II:47, 48, 49, 50, 51,52, dan 53.
Bhagavadgita mengajarkan bahwa manusia hanyalah instrumental, yaitu alat-alat untuk mencapai tujuan kehidupan. Sebagai alat tentu manusia tidak dapat dibenarkan menikmati apapun nikmat yang disebabkan oleh status dan peran atas dirinya. Mengingat kewajiban itu datang dari setiap ikatan. Ketika badan terikat pada hidup maka muncullah dharma. Ketika manusia terikat dalam perkawinan maka muncullah kewajiban suami atau istri. Ketika mereka melahirkan dan terikat pada anak maka muncullah kewajiban ayah atau ibu. Seperti tangan terikat pada badan maka tangan memiliki kewajiban melayani badan. Untuk memenuhi kewjibannya maka tangan melakukan kerjanya, mengambil atau memegang (makanan). Tangan tidak menikmati enaknya makanan yang diambil atau dipegangnya, mengingat tangan hanyalah alat dan di samping itu ia tidaklah tahu bahwa ia adalah tangan. Oleh karena itu, tangan tidak pernah merasa takut bila tidak dapat menikmati hasil kerjanya dan iapun tidak pernah merasa cemas dan risau (tidak tenang) terhadap apa yang telah dikerjakannya. Ketika tidak ada keinginan untuk menikmati hasil kerja maka ketakutan itupun juga tidak ada.
Secara moral dan kemanusiaan Lubdhaka melakukan pekerjaannya berdasarkan kewajibannya sebagai kepala keluarga dan bukan semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri. Pemujaan kepada Bhatara Siwa dilakukan seperti bukan dengan disengaja karena bhakti pada prinsipnya berarti pesembahan yang tulus dan dalam ketulusan tidak ada persyaratan apapun. Maksudnya adalah perbuatan pemujaan yang dilakukan bukan dilandasi oleh pamrih dan kepentingan pribadi. Ini merupakan bhakti yang dilandasi oleh kasih sejati dan pada kenyataannya kasih sejati tidak pernah dapat diadakan dengan disengaja. Seperti ditegaskan oleh Vivekananda (1991) bahwa kasih sejati tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, tanpa keterikatan dan tidak menyakiti, selalu ada dan keberadaannya tanpa pernah bisa diadakan dengan disengaja. Ini berarti bahwa kesadaran spiritual merupakan anugerah Yang Maha Esa yang kehadirannya tidak bisa dirasakan dalam kesadaran konvensional. Jadi, mereka yang tahu tidak akan bisa mengatakan dan yang mengatakan dapat dipastikan bahwa sesungguhnya mereka tidak tahu. Seperti ditegaskan dalam Bhagavadgita, II:42 bahwa sesungguhnya orang-orang tidak bijaksana mengucapkan kata-kata kembangan yang kesukaannya hanya pada apa yang tersurat dalam Veda.
Seperti, juga ditegaskan oleh Swami Rama (2002) bahwa kebenaran itu hanya dapat dirasakan dalam pengalaman langsung. Pada kenyataannya hanya dalam pengalaman langsung sebuah konsep ataupun teori akan mendapatkan makna sesungguhnya dan yang sebenar-benarnya. Artinya, kebenaran itu bukan saja terbatas berdasarkan teks, tetapi juga harus ditemukan dalam konteks, yaitu melalui pengalaman langsung. Mengingat pula hanya dalam pengalaman langsung kebenaran dalam kesadaran spiritual dapat ditemukan, yaitu ketika Aku (Realitas) tidak lagi dapat diidentifikasi dengan nama dan rupa, seperti definisi dan aturan yang hanya berdasarkan kemampuan linguistik manusia yang bersifat terbatas sesuai dengan kemampuan inderawinya.
Melalui cerita Lubdhaka bahwa masyarakat manusia paling tidak telah diingatkan kembali agar menemukan inspirasi dalam menata kehidupannya, baik kehidupan individu, sosial, maupun spiritual. Sebagai individu manusia adalah personal yang memiliki hubungan langsung dengan Yang Maha Esa dan hal ini dapat dinikmati melalui bhakti dalam dharma-nya. Sebagai makhluk sosial manusia adalah kesatuan dan keseluruhan dari lingkungan alam dan sosial-budayanya yang membentuk kepribadiannya yang harmonis, selaras, dan serasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, manusia sebagai makhluk religius maka ia menemukan kesadaran spiritualnya bahwa esensi dirinya bukanlah hanya sekadar badan jasmani, melainkan sang diri yang sejati yang bersemayam di dalam hatinya.

2.2 Brata Siwaratri: Perspektif Yoga
Dalam Kakawin Siwaratrikalpa diuraikan tentang Brata Siwaratri, seperti dijelaskan oleh Wijaya Kusuma (2004) bahwa kata “Siwaratrikalpa” sama artinya dengan kata “Siwaratribrata”. Kata “kalpa” berarti “brata”, sedangkan kata “Siwaratri” berarti “Malam Siwa”. Jadi, kata “Siwaratrikalpa” dan atau kata “Siwaratribrata” berarti brata pada waktu Malam Siwa, yaitu brata yang dilaksanakan pada suatu malam tatkala Bhatara Siwa beryoga. Kata “brata” dalam kata “Siwaratribrata” juga berarti janji diri, sumpah, pandangan, kewajiban, laku utama, dan keteguhan hati. Oleh karena itu, Sudharta (1990) sebagaimana dikutip dalam Wijaya Kusuma (2004) mengatakan bahwa Siwaratrikalpa atau Brata Siwaratri berarti kewajiban sebagai laku utama atau suatu janji diri untuk teguh melaksanakan ajaran Siwaratri.
Ada tiga jenis brata yang harus dilaksanakan pada perayaan Hari Suci Siwaratri (Brata Siwaratri) seperti dikutip berdasarkan Kakawin Siwaratrikalpa sebagaimana dijelaskan oleh Wijaya Kusuma (2004), yaitu upawasa, mona, dan tan mrema. Brata upawasa berarti berpuasa - tidak makan/minum; brata mona atau sering disebut monabrata berarti berdiam diri - tanpa bicara atau pantang bicara; dan tan mrema berarti tidak tidur atau bergadang. Kata “tan mrema” dalam naskah kakawin juga disebut “tan aturu atanghi” (Siwaratrikalpa, 28.b) yang juga berarti tidak tidur atau bergadang, tetap terjaga. Dalam naskah lain dijelaskan bahwa kata “tidak tidur”, “tetap terjaga”, atau “bergadang” lebih dikenal dengan kata “jagra”, sehingga Brata Siwaratri lebih dikenal dengan tiga jenis brata, yaitu upawasa, monabrata, dan jagra.
Lebih jauh dijelaskan bahwa brata siwaratri sudah mulai dilaksanakan pada pagi hari pada panglong ping 14 sasih ka pitu hingga malam hari. Setelah malam itu terlewati maka brata siwaratri masih harus terus dilaksanakan sampai siang hari. Pada hari itu (siang hari) dilaksanakan acara mapunia, yaitu memberikan sedekah. Ini berarti bahwa brata upawasa dan monabrata sudah selesai. Jadi, kedua brata ini lamanya mencapai satu siang dan satu malam (selama 24 jam). Akan tetapi, brata jagra masih tetap berlangsung sampai menjelang malam. Ini berarti brata jagra berlangsung selama siang-malam-siang (selama 36 jam). Ketiga brata ini sesungguhnya dilaksanakan berdasarkan pada kedudukan bulan (manah), yaitu jumlah hari (kala) di antara bulan Purnama dan Tilem. Menurut perhitungan sasih bahwa antara bulan purnama dan tilem terdapat 16 hari (kala), sedangkan pada hari ke 14, hari (kala) yang masih berpengaruh buruk terhadap pikiran (manah) manusia adalah perbuatan dari mulut. Untuk menghindarkan diri dari dosa yang diakibatkan oleh perbuatan dari mulut (mengecap dan mengucap) maka dilaksanakan brata siwaratri.
Yang menarik dari Brata Siwaratri menurut Wijaya Kusuma (2004) adalah pertama, “pertemuan dan persatuan” dengan Siwa merupakan tujuan akhir dari ajaran Siwa, sebagaimana diilhami oleh Lubdhaka yang selama hidupnya dirundung derita (papa); kedua, Bhatara Siwa berkenan memberikan “anugerah yang luar biasa” kepada Lubdhaka karena ia telah berjasa besar mengingatkan kembali Brata Siwaratri sebagai ajaran Bhatara Siwa yang konon telah dilupakan, baik oleh manusia maupun dewa; dan ketiga, Brata Jagra dikatakan menarik karena hanya dengan melaksanakan brata ini (tanpa upawasa dan mona) seseorang bisa mencapai Siwaloka. Dengan penuh keyakinan, bahkan dikatakan bahwa brata jagra mempunyai mutu dan keistimewaan dari seluruh ajaran Brata Siwaratri.
Berdasarkan penjelasan tersebut setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa “siwa ratri” berarti “malam siwa”. Dalam perspektif Samkhya kata “Siwa” bisa bermakna sebagai terang, kesadaran, dan atau widya. Sebaliknya, kata “Ratri” bisa bermakna gelap, ketidaksadaran (maya), dan atau awidya. Dalam pandangan filsafat Samkhya bahwa seluruh penciptaan hadir dari pertemuan dan penyatuan antara terang dan gelap, kesadaran dan maya, widya dan awidya. Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan diyakini tidak luput dari kedua unsur tersebut. Oleh karena itu manusia tidak dapat melepaskan diri dari perbuatan membunuh (himsa karma), dan itu berarti dosa. Karma phala sebagai hukum sebab akibat merupakan kepastian yang tidak dapat dielakkan, karena itu manusia senantiasa berada dalam lingkaran dosa. Akan tetapi, berdasarkan kesadaran religiusnya manusia berkeinginan untuk melepaskan diri dan keluar dari lingkaran dosa. Ia pun menyadari bahwa usaha untuk melepaskan diri dan keluar dari lingkaran dosa bukanlah persoalan yang mudah, yaitu diperlukan latihan spiritual dalam ketekunan, kesabaran, ketabahan, dan kesungguhan.
Untuk keluar dari lingkaran dosa, Siwa Sidhanta menawarkan jalan dengan melakukan “penebusan dosa”, yaitu melalui Brata Siwaratri. Upawasa merupakan usaha yang dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan badan; monabrata merupakan usaha yang dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan mulut; dan jagra merupakan usaha yang dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan pikiran. Sehubungan dengan hal itu, Tri Kaya Parisudha mengajarkan 10 sistem pengendalian diri, yaitu 3 macam berdasarkan pikiran, 4 macam berdasarkan perkataan, dan 3 macam berdasarkan perbuatan. Pengendalian diri berdasarkan pikiran antara lain (1) jangan mengingini sesuatu yang tidak halal, (2) jangan berpikir tidak baik terhadap orang atau makhluk lain, dan (3) jangan tidak percaya akan hukum karma. Pengendalian diri berdasarkan perkataan antara lain (1) jangan suka mencaki maki, (2) jangan berkata kasar kepada orang atau makhluk lain, (3) jangan memfitnah, dan (4) jangan ingkar pada ucapan atau janji. Pengendalian diri berdasarkan perbuatan antara lain (1) jangan menyiksa atau membunuh makhluk lain, (2) jangan melakukan kecurangan terhadap harta benda, dan (3) jangan berjinah (Panitiya Tujuh Belas, 1986).
Sejalan dengan hal itu Dasa Yama Brata, juga mengajarkan 10 macam pengendalian diri, yaitu (1) anresangsya atau arimbawa artinya tidak mementingkan diri sendiri, (2) ksama artinya suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan, (3) satya artinya setia kepada ucapan, (4) ahimsa artinya tidak membunuh dan menyiksa atau menyakiti, (5) dama artinya dapat menasehati diri sendiri, (6) arjawa artinya jujur, mempertahankan kebenaran, (7) priti artinya cinta kasih, sayang terhadap sesama makhluk, (8) prasada artinya berpikir dan berhati suci, serta tanpa pamrih, (9) madurya artinya ramah tamah, lemah lembut, atau sopan santun, dan (10) mardawa artinya rendah hati. Sebaliknya, Dasa Niyama Brata mengajarkan 10 macam pengendalian diri, yaitu (1) dana artinya suka memberikan dana punia atau beramal, (2) ijya artinya pemujaan terhadap leluhur dan Hyang Widhi, (3) tapa artinya pengendalian diri, (4) dyana artinya tekun memusatkan pikiran terhadap Hyang Widhi, (5) swadhyaya artinya mempelajari dan memahami ajaran-ajaran suci, (6) upasthanigraha artinya megendalikan hawa nafsu kelamin atau seks, (7) brata artinya taat akan sumpah atau larangan, (8) upawasa artinya berpuasa, (9) mona artinya membatasi perkataan, dan (10) snana artinya melakukan penyucian diri tiap-tiap hari dengan jalan sembahyang (Panitiya Tujuh Belas, 1986).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa mengendalikan diri berdasarkan etika-moralitas merupakan hal pertama dan utama yang harus dilakukan dalam Yoga. Mengingat dalam etika-moralitas struktur yoga berstandar, dan karenanya tidaklah mungkin membicarakan kemajuan spiritual dan/atau yoga tanpa mengindahkan etika-moralitas. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa brata siwaratri merupakan landasan utama dalam pengendalian diri dengan harapan agar seluruh kesadaran senantiasa berada di atas etika-moralitas. Dengannya rasa ketakutan dan tidak mementingkan diri sendiri dapat diatasi dan ini merupakan aset dan akses utama untuk maju dalam pendakian spiritual. Seperti telah diuraikan di atas bahwa dalam ketakutan maka pikiran dan jiwa tidak akan seimbang, dalam pikiran dan jiwa yang tidak seimbang maka tidak akan ada ketenangan, dan tidaklah mungkin menikmati kebahagiaan tanpa ketenangan. Jadi, proses pendakian spiritual sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan untuk tunduk terhadap etika-moralitas sebagai wujud pengendalian diri.
Oleh karena itu Bhagavadgita berulang-ulang menegaskan dan selalu menganjurkan agar melakukan kerja berdasarkan kewajiban dan bukan berdasarkan kepentingan pribadi dan berdasarkan motif-motif inderawi yang bersifat duniawi. Bila kerja dilakukan berdasarkan kewajiban maka seluruh hasil kerja tidak lagi mengikat karena kerja yang dilakukan telah berubah menjadi pelayanan. Bila kerja telah berubah menjadi pelayanan maka kerja itu telah berada dalam semangat persembahan (yadnya). Bila kerja telah berubah menjadi persembahan (yadnya) maka kerja adalah sebuah bhakti. Dengan demikian maka tidurpun merupakan penyatuan dengan Yang Maha Esa. Mengingat manusia telah menyatu dalam kesadaran tindakannya yang dilakukan semata-mata sebagai bhakti ke hadapan Yang Maha Esa maka seluruh hidupnya adalah samadhi. Oleh karena itu kerja tidak lagi mengikatnya dan ia terbebas dari hukum sebab akibat, karma phala. Ini berarti bahwa manusia telah keluar dari lingkaran dosa.
Dari perspektif mistikisme bahwa ketiga jenis Brata Siwaratri ini banyak dianjurkan dalam banyak ajaran kerohanian. Dalam Mistik Kejawen misalnya, Endraswara (2003) menjelaskan bahwa mereka yang hendak menemukan sang diri sejati hendaknya mampu melakukan cegah guling lan mangan (kurangi tidur dan makan), bahkan sangat dilarang merusak pagar ayu. Di samping itu etika juga merupakan hal yang ditekankan dalam membentuk manusia berbudi luhur. Seperti dikatakan oleh Ki Fudyartanto (2003) bahwa etika sebagai pedoman berperilaku harus ditaati karena gerakan kebatinan adalah gerakan olah rasa dan pikir manusia untuk membangun suatu kepribadian yang harmonis, selaras, dan serasi dalam hidup di masyarakat. Untuk itu pada tingkat pengintegrasian diri hendaknya manusia mawas diri (memeriksa ke dalam diri sendiri), menekung ing tyas (mengheningkan hati), samadhi (usaha mengheningkan keadaan jiwa), eling (ingat), eneng-ening (diam dan menjernihkan jiwa), dan nyawiji (laku untuk mempersatukan diri dengan Yang Kuasa). Hal ini tidak terlalu jauh dari Brata Siwaratri seperti diuraikan berikut.
Pertama, Upawasa merupakan brata yang dilaksanakan dengan tidak makan dan atau tidak minum. Dalam perspektif konvensional adalah sebuah kebodohan bila terdapat suatu ajaran yang mengajarkan untuk tidak makan dan minum. Para medis selalu menganjurkan makan dan minum secukupnya agar tubuh sehat dan bugar. Oleh karena itu, menarik untuk dicermati adalah bagaimana tanpa makan dan minum, tetapi tubuh tetap dalam keadaan kuat, sehat, segar, dan bugar, bahkan pikiran dan jiwa tetap dalam keseimbangan. Inilah inti yang harus ditemukan dalam upawasa. Patanjali misalnya, sebagaimana disampaikan oleh Swami Saraswati (1996) mengajarkan pranayama. Dijelaskan bahwa prana adalah daya vital yang tidak kelihatan dan yang memungkinan manusia untuk bernapas ke luar dan ke dalam. Ini berarti, prana bukan suatu campuran oxygen-nitrogen yang masuk bila menarik napas dan prana juga bukan carbon dioxide yang tercampur dengan sisa udara bilamana mengeluarkan napas. Akan tetapi, prana sudah ada sejak kelahiran dan akan tetap ada selama hidup. Prana menyalurkan kehidupan ke dalam materi yang tidak hidup, prana menunjang segenap peralatan untuk mengenali dan bertindak, selama prana bertahan seseorang tetap hidup, dan ketika prana berhenti maka jiwa meninggalkan badan.
Walaupun demikian, untuk mengenal dan memahami prana dapat dilakukan melalui pernapasan karena napas merupakan jembatan antara badan (material) dengan jiwa (hidup). Hilangnya prana di dalam tubuh dapat diketahui melalui tanda-tanda dengan hilangnya napas. Oleh karena itu, Swami Saraswati (1996) mengatakan betapa pentingnya melakukan latihan pernapasan. Untuk itu dijelaskan bahwa hanya ada empat pilihan berkenan dengan pernapasan, yaitu menarik napas ke dalam, mengeluarkan napas, beristirahat setelah menarik napas, dan beristirahat setelah mengeluarkan napas. Untuk latihan pernapasan diuraikan dalam tujuh tingkatan atau model latihan, seperti banyak dijelaskan dari halaman 163–168 dalam Raja Yoga (Patanjali). Para pelaku (mistikawan) banyak yang mengatakan bahwa latihan pernapasan akan lebih mudah dilakukan dan akan mencapai hasil yang lebih optimal bila dilakukan dalam keadaan perut tidak penuh atau kosong. Artinya, dalam melaksanakan brata upawasa (tidak makan dan minum) dianjurkan untuk lebih banyak melakukan latihan pernapasan melalui pranayama agar tubuh tetap kuat, sehat, dan bugar agar pikiran dan jiwa tetap dalam keadaan keseimbangan. Mengingat keselamatan rohani akan tercapai bila didukung oleh tubuh yang dalam keadaan kuat dan mental yang dalam keadaan sehat.
Kedua, Monabrata merupakan brata yang dilaksanakan dengan tidak berbicara atau dengan berdiam diri. Dalam berdiam diri dan tidak berbicara dengan orang lain maka bila berangkat dari analisis dvandva (dualisme) maka dapat diintepretasikan sebagai anjuran untuk lebih banyak melakukan dialog dengan diri sendiri (mulat sarira). Introspeksi diri merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh mereka yang ingin menemukan kesadaran sejati karena di situ struktur hening bersandar. Hening merupakan suatu keadaan diri tanpa pikiran, perasaan, dan kehendak. Di dalamnya tidak ada pembatasan-pembatasan secara tajam, tidak ada sensasi-sensasi, tidak ada perbedaan menurut nama dan rupa, dan tidak ada pembagian secara tegas atas realitas dalam berbagai manifestasinya. Ini merupakan ungkapan yang paling mungkin dikatakan oleh manusia sebagai makhluk personal. Mengingat kesadaran akan sang diri sejati bukanlah bersifat personal, melainkan kesadaran yang muncul dari kedalaman diri yang paling misterius, yaitu cahaya kesadaran akan ketuhanan yang ada dalam diri sendiri. Ketika mulut hendak mengatakannya maka lidah menjadi kelu dan mulut merapat erat, “diam”. Jadi tegasnya, sang diri sejati bukanlah personal (immpersonal), sebagaimana manusia tidak dapat beranggapan dan menyamakan bahwa Tuhan adalah personal seperti berdasarkan pengetahuan konvensional-objektif.
Selain itu, hanya dalam hening manusia mampu melepaskan kesadaran konvensionalnya akan kondisi dunia yang fana, yaitu alam yang penuh dengan kepadatan dan kekosongan. Dunia yang dijejali oleh beraneka nama dan dipadati oleh berbagai macam bentuk, yaitu bentuk yang begitu terukur dan yang begitu memuaskan bagi indera dan keinginan manusia. Nama dan bentuk yang begitu akrab dikenal oleh nafsu dan keserakahan manusia, dan ini yang membuat manusia selamanya berada dalam keadaan prustasi yang berkepanjangan yang tanpa akhir. Di samping itu, fakta-fakta berupa nama dan bentuk selamanya berada di luar ide dan gagasan manusia, dan pada kenyataannya tidak ada satupun nama dan bentuk yang dapat diraih. Ketika kesadaran sampai pada bahwa tidak ada nama dan bentuk yang benar-benar dapat dimiliki dan dikuasai oleh ego manusia maka seketika kesadaran beralih ke dalam hening. Dalam hening seketika dunia fana disadari bukan lagi sebagai nama-nama dan bentuk-bentuk maka hening telah mengantarkan manusia pada kesadaran akan sang diri sejati, yaitu kesadaran akan “Aku adalah Tuhan”.
Ketiga, Jagra merupakan brata yang dilaksanakan dengan tidak tidur atau bergadang, tetap terjaga. Apabila diperintahkan “tidak boleh tidur atau tetap terjaga”, itu berarti selama ini manusia berada dalam keadaan tertidur dan tidak pernah terjaga. Seperti dikatakan oleh Anthony de Mello (2000) bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tertidur, mereka hidup dalam keadaan tertidur, mereka menikah dalam keadaan tertidur, mereka membesarkan dan mengasuh anak dalam keadaan tertidur, mereka meninggal dalam keadaan tertidur, tanpa pernah terjaga dari tidur mereka. Manusia tidak pernah menyadari kebaikan dan keindahan sesuatu yang disebut keberadaan atau eksistensi manusia. Mereka sedang mengalami mimpi yang menakutkan. Oleh karena itu, cukup alasan bagi Brata Siwaratri mengajarkan dan memerintahkan agar manusia ‘bangun’ dari tidurnya.
Jagra, eling akan sang diri sejati, merupakan ajaran puncak dalam setiap ajaran kerohanian sehingga Wijaya Kusuma (2004) mengatakan bahwa jagra merupakan ajaran yang sangat bermutu dan memiliki keistimewaan, dan dikatakan pula bahwa dengan jagra saja manusia sampai ke Siwaloka. Tentu yang dimaksudkan adalah jagra dalam arti kebangkitan dan kebangunan diri dari nyenyaknya tidur dalam selimut maya. Maya sebagai ciptaan triguna merupakan kekuatan sihir yang mahadasyat yang mengungkung kesadaran manusia dalam keterukuran nama dan rupa. Apabila manusia bisa keluar dari sihir maya maka ia akan memasuki kesadaran akan sang diri sejati. Untuk itu, Brata Siwaratri mengajarkan melalui pelaksanaan kesatuan dan keseluruhan upawasa, monabrata, dan jagra. Artinya, walaupun ketiganya merupakan tahapan dalam latihan spiritual, tetapi keberadaannya senantiasa saling mengait antara yang satu dengan yang lain secara integral. Jadi, dengan melaksanakan Brata Siwaratri secara tekun dan sungguh-sungguh, dengan kesabaran dan ketabahan maka seorang penakluk akan sampai pada hening, samadhi. Ini berarti kesadaran manusia telah sampai di Siwaloka, yaitu manusia sadar akan sang diri yang sejati.

Penutup
Siwaratri merupakan Malam Siwa, yaitu malam suci yang penuh Kasih bagi umat manusia, yakni pada panglong ping 14 sasih kapitu. Perayaannya dilakukan dengan melaksanakan Brata Siwaratri, yaitu Upawasa, Monabrata, dan Jagra. Ketiga brata ini merupakan dasar-dasar latihan dalam sebuah proses pendakian spiritual yang tidak mudah sehingga memerlukan ketekunan, ketabahan, dan kesabaran. Seperti diilustrasikan melalui cerita Lubdhaka, seorang pemburu yang menerima anugerah surga dari Bhatara Siwa.
Memperingati hari suci Siwaratri dimaksudkan agar manusia tidak lupa dan mengingatkannya kembali bahwa mereka adalah makhluk religius dan bukan semata-mata hanya sebagai makhluk yang berjasmani saja. Dalam diri manusia terdapat suatu kesadaran lain sebagai jaminan atas kemantapan sradha-nya. Kemantapan sradha dalam kesungguhan pelaksanaan brata siwaratri yang serius realisasi diri relatif lebih mudah dapat diwujudkan. Kenyataan pula bahwa Alam turut serta membentuk karakter manusia dan sebaliknya manusia berpartisipasi dalam Alam. Demikian pula segala sesuatunya dinyatakan sebagai realisasi dari Realitas Tertinggi, Yang Maha Esa. Artinya, untuk memahami menusia tidak dapat lepas dari pemahaman tentang Alam dan senantiasa merujuk pada Yang Maha Esa. Oleh karena itu manusia adalah perwujudan kesatuan dan keseluruhan dari Alam dan Yang Maha Esa. Bhagavadgita dalam ajaran jnana-yoga menyebutnya sebagai isvara-isvara kecil yang takluk.
Inti brata siwaratri adalah pengendalian diri (tapa) sebagai suatu proses pendakian spiritual yang tujuan akhirnya adalah terwujudnya realisasi diri. Dalam hal ini pengendalian diri (tapa) dilakukan melalui perbuataan pikiran, perbuatan ucapan, dan perbuatan badan. Ini adalah esensi yadnya, yaitu bhakti ke hadapan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam diri. Untuk itu, upawasa menganjurkan pengurbanan atau persembahan melalui perbuatan badan; monabrata menganjurkan pengurbanan atau persembahan melalui perbuatan mulut (ucapan); dan jagra menganjurkan pengurbanan atau persembahan melalui perbuatan pikiran. Oleh karena itu ketiga jenis brata ini merupakan pengurbanan atau persembahan yang dikatakan sebagai ajaran brata siwaratri yang utama dan mulia. Bersyukur terlahir seorang Ludhaka yang telah mengingatkan kembali umat manusia akan ajaran brata siwaratri.
Semoga Hari Suci Siwaratri senantiasa mengingatkan manusia akan jati dirinya sebagai sang diri yang sejati.




Daftar Pustaka

Anthony de Mello, 2000, Awareness: Butir-butir Mutiara Pencerahan, Jakarta: Gramedia.

Arsana, I G.K.G, I Dewa Putu Muka, Industri Ginting Suka, 1985, Fungsi Upacara Ciwaratri di Bali, Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebuadayaan Direktorat Jendral Proyek Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Bertens K, 2002, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi, 2003, Mistik Kejawen: Sinkretisme dan Sufisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Narasi.

Ki Fudyartanto, 2003, Psikologi Kepribadian Timur, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Panitiya Tujuh Belas, 1986, Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu Dalam Masa Pembangunan, Jakarta: Yayasan Merta Sari.

Pudja, G, 1999, Bhagavadgita, Surabaya: Paramita.

Sastraprateja, 1983, Manusia Multidemensional, Jakarta: Gramedia.

Swami Satya Prakas Sararswati, 1996, Raja Yoga, Surabaya: Paramita.

Swami Rama, 2002, Hidup Dengan Para Rsi, Yogi Himalaya, Surabaya: Paramita.

Walsh, Roger, 1999, Esential Spirituality, Yogyakarta: Pohon Sukma.

Wijaya Kusuma, 2004, Tesis: Implementasi Cerita Lubdhaka Dalam Pelaksanaan Brata Siwaratri, Program Magister (S2) Ilmu Agama Dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia, Denpasar.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...