Religi

ASAS-ASAS RITUS, UPACARA, DAN RELIGI

I Wayan Sukarma


PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk religius, Mircea Eliade (dalam King Richard, 2001:27) menyebutnya homo religious, sehingga manusia memiliki kesadaran bahwa hidupnya merupakan karunia Tuhan. Oleh karena itu, manusia memahami bahwa hidup itu harus dijaga dan dipelihara agar tetap kuat, sehat, dan selamat. Hal ini sejalan dengan yang diuraikan Stuart Grayson dalam bukunya yang berjudul Spritual Healing (2001) bahwa kehidupan, eksistensi atau kesadaran terjadi pada tiga tingkat, yaitu bagian sadar merupakan kesadaran objektif, bagian bawah sadar merupakan pikiran subjektif seseorang (sifat dasar dan karakter orang itu, dasar kepribadian diri yang mengandung ptototipe atau pola-dalam seseorang), dan bagian tidak sadar merupakan kesadaran Yang Mutlak yaitu bidang tak terbatas dari satu Pikiran, Jiwa, Tuhan – Kesatuan Universal atau kehadiran universal (religius).
Dikatakan pula bahwa kesadaran bawah sadar lebih banyak atau lebih dominan mempengaruhi kesadaran objektif dan kesadaran tidak sadar. Artinya, sikap dan perilaku manusia tidak seluruhnya ditentukan oleh pikiran-pikiran objektif (konvensional), bahkan lebih banyak ditentukan oleh kesadaran bawah sadar. Dikatakan pula bahwa kesadaran tidak sadar dikatakan sebagai kesadaran religi, yaitu kesadaran akan pemahaman terhadap Realitas Tertinggi sebagai awal, proses, dan akhir dari kehidupan yang universal. Oleh karena itu, kesadaran tidak sadar ini disebut sebagai kesadaran religius, di luar dari jangkauan kemampuan daya pikir objektif manusia. Akan tetapi, menurut King (2001:22) fenomena religius selalu dipandang sebagai bagian dari dan satu paket dengan bentuk-bentuk politik, sosial dan budaya.
Dari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk religius, maka dalam kehidupannya manusia tidak dapat melepaskan diri dari hal-hal yang mistik-magis, seperti keyakinan akan keberadaan roh-roh, makhluk-makhluk halus, dewa-dewa, dan lain-lainnya. Hal ini lebih ditegaskan oleh King (2001:22) bahwa pencarian esensi agama atau berbagai agama (religion), atau esensi mistisisme menemui jalan yang sesat karena pencarian itu berada di bawah tempurung kesalahan kaum esensialis, yaitu bahwa fenomena yang termasuk di dalam kategori agama selalu dianggap memiliki sesuatu yang universal yang disebut religius. Sehubungan dengan hal ini, Comte ( seperti dijelaskan Triguna dalam materi kuliah Sosiologi Agama, 2003) dalam teorinya mengenai evolusi pengetahuan manusia mengatakan bahwa sejarah umat manuisia, juga jiwa manusia, baik secara individu maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu fase teologis – pengetahuan fiktif (fetisyisme-politeisme-monoteisme), fase metafisika – pengetahuan abstrak, dan fase ilmiah – pengetahuan positif.
Sebaliknya dikatakan pula, bahwa setelah perkembangan pengetahuan manusia sampai pada fase ilmiah – pengetahuan positif, perkembangan pengetahuan manusia cenderung kembali kepada fase teologis – pengetahuan fiktif atau pengetahuan pra ilmiah. Artinya, walaupun tingkat perkembangan pengetahuan manusia sudah sampai pada fase ilmiah, manusia tidak dapat secara leksikal melepaskan dirinya dari pengalaman kehidupan religius. Dengan demikian, kesadaran religius merupakan kodrat manusia seperti dikatakan Stuart Grayson di atas.
Sebagai makhluk religius, manusia hidup dalam suatu sistem religi dengan berbagai kegiatan upacara keagamaan atau ritual. Asas-asas ritus, upacara, dan religi, karena pada umumnya di luar kemampuan akal- pikir objektif manusia, sehingga memiliki kecenderungan menarik untuk diteliti dan dikaji. Hal ini terbukti dari banyaknya hasil karya tulisan etnografi para antropolog yang memuat tentang kehidupan religi manusia dari berbagai daerah di dunia. Seperti dikatakan Koentjaraningrat (1985:11) bahwa religi dan upacara religi memang merupakan suatu unsur dalam kehidupan masyarakat suku-suku bangsa manusia di dunia yang telah banyak menarik perhatian para pengarang etnografi, dan merupakan suatu topik yang paling banyak dideskripsikan dalam kepustakaan etnografi. Akibatnya adalah banyak ahli dari berbagai macam bidang ilmu pengetahuan telah mengadakan berbagai pemikiran mengenai masalah asas dan asal mula religi. Artinya, masalah-masalah religi menarik sebagai objek kajian tidak saja bagi antropologi dan sosiologi, tetapi juga dari multidisipliner bidang ilmu. Oleh karena itu, kajian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih memahami asas-asas ritus, upacara dan religi seperti dalam buku yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia (1985) karya tulis Koentjaraningrat.
1.2 Rumusan Masalah
(1) Jenis-jenis pendekatan apa saja yang digunakan terhadap masalah asas relegi.
(2) Teori-teori apa saja yang berorientasi kepada keyakinan relegi.
(3) Teori-teori apa saja yang berorientasi kepada sikap manusia terhadap hal yang gaib.
(4) Teori-teori apa saja yang berorientasi kepada upacara relegi.
(5) Apa saja komponen-komponen relegi.
(6) Bagaimanakah ritus dan upacara krisis di Indonesia.

1.3 Tujuan
(1) Untuk mengetahui Pendekatan terhadap masalah asas-asas relegi.
(2) Untuk mengetahui beberapa teori yang berorientasi kepada keyakinan relegi.
(3) Untuk mengetahui teori-teori yang berorientasi kepada sikap manusia terhadap hal yang gaib.
(4) Untuk mengetahui teori-teori yang berorientasi kepada upacara relegi.
(5) Untruk mengatahui komponen-komponen relegi.
(6) Untuk mengetahui ritus dan upacara krisis di Indonesia.

II PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan terhadap masalah asas relegi
Koentjaraningrat (1985:12) mengatakan bahwa analisis religi dan upacara religi dalam kebudayaan dan masyarakat sederhana dan primitif dianggap sebagai usaha untuk mencari asas-asas religi kuno dan usaha memecahkan masalah asal mula religi. Dikatakan pula, teori-teori tentang asas-asas dan asal mula religi yang pernah dikembangkan dalam bentuk tulisan, dapat digolongkan paling sedikit menjadi tiga golongan, yaitu (1) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada keyakinan religi atau isi ajaran religi, (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap para penganut religi yang bersangkutan terhadap alam gaib, dan (3) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada ritus dan upacara religi.

2.2 Beberapa teori yang berorientasi kepada keyakinan religi
Teori Edward B. Tylor (1832-1917) tentang kesadaran manusia mengenai konsep jiwa. Teori ini mengajukan pendirian bahwa kesadaran manusia akan adanya jiwa itu disebabkan karena dua hal, yaitu pertama perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Satu organisme bergerak-gerak, artinya hidup, dan ketika tidak bergerak lagi, artinya mati. Maka manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa. Kedua, peristiwa mimpi. Dikatakan dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain (bukan di tempat dimana ia sedang tidur). Maka manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Lebih jauh dijelaskan bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani manusia. Pada waktu hidup, jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur atau pingsan. Akan tetapi, walaupun sedang melayang hubungan jiwa dan jasmani pada saat itu tetap ada. Hanya apabila manusia mati jiwanya melayang terlepas dan terputuslah hubungan dengan tubuh jasmani untuk selamanya. Jiwa yang telah merdeka terlepas ini memenuhi alam semesta disebut spirit atau makhluk halus. Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada makhluk-makhluk halus.
Manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus tinggal dekat tempat tinggalnya, yang mampu berbuat hal-hal yang tak dapat diperbuat manusia. Oleh karena itu, mereka mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahannya yang disertai dengan berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban. Religi serupa itulah oleh Tylor disebut animism.
Tylor mengatakan bahwa animisme yang pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiami alam semesta sekeliling tempat tinggal manusia merupakan bentuk religi yang tertua. Evolusi religi kedua, manusia percaya bahwa gerak alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa di belakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti makhluk-makhluk dengan suatu pribadi dengan kemauan dan pikiran yang disebut dewa-dewa alam. Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat manusia, timbul pula keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam susunan suatu kenegaraan serupa dengan dunia manusia.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat suatu susunan pangkat dewa-dewa, mulai dari raja dewa-dewa sebagai dewa tertinggi sampai pada dewa-dewa yang terendah pangkatnya. Susunan serupa itu lambat laun menimbulkan kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakikatnya hanya merupakan penjelmaan dari satu dewa saja, yaitu dewa yang tertinggi. Akibat dari keyakinan itu adalah berkembangnya keyakinan kepada satu Tuhan dan timbulnya religi-religi yang bersifat monoteisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.
Teori Andrew Lang (1844-1912) tentang dewa tertinggi. Dalam bukunya berjudul The Making of Religion (1889) terdiri dari dua bagian, yang satu mengenai gejala para-psikologi dan yang kedua mengenai suatu keyakinan pada banyak suku bangsa primitif mengenai “tokoh dewa tertinggi”.
Menurut Koentjaraningrat (1985:15) dalam bagian pertama buku tersebut Lang menyatakan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang rasional. Oleh karena itu, gejala-gejala gaib itu bisa bekerja lebih kuat pada orang-orang bersahaja yang kurang aktif hidup dengan pikirannya. Kemampuan gaib pada manusia bersahaja jaman dahulu itulah yang menurut Lang menyebabkan timbulnya konsep jiwa. Artinya, bukan analisis rasional yang menghubungkan jiwa sebagai kekuatan penggerak hidup dengan bayangan tentang diri manusia sendiri yang tampak di dalam mimpi seperti yang diajukan dalam teori Tylor tentang timbulnya konsep jiwa dalam alam pikiran manusia.
Bagian kedua dari buku Lang, menurut Koentjaraningrat (1985:15) mengandung foklore dan mitologi suku-suku bangsa di berbagai daerah di muka bumi. Dalam dongeng-dongeng mitologi itu Lang sering menemukan adanya tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan dianggap dewa tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam dan kesusilaan. Keyakinan kepada tokoh dewa seperti itu, menurut Lang terutama terdapat pada seuku-suku bangsa yang masih rendah sekali tingkat kebudayaannya, dan yang hidup dari berburu dan meramu. Lang berkesimpulan bahwa keyakinan kepada dewa tertinggi dalam religi dalam suku bangsa tersebut sudah sangat tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua, yang kemudian terdesak kebelakang oleh keyakinan kepada makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang, hantu, dan lain-lain.
Teori Wilhelm Schmidt (1868-1954) tentang firman Tuhan. Ia mengembangkan teori bahwa religi itu berasal dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia waktu ia mula-mula muncul di muka bumi. Oleh karena itu, tanda-tanda keyakinan kepada dewa pencipta justru pada bangsa-bangsa yang paling rendah tingkat kebudayaannya (menurut Schmidt paling tua), memperkuat anggapannya tentang adanya Titah Tuhan Asli, atau Uroffenbarung. Dengan demikian, keyakinan yang asli dan bersih kepada Tuhan (keyakinan Urmonotheismus) itu malah ada pada bangsa-bangsa yang tua, yang hidup dalam jaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Dalam jaman kemajuan, waktu kebudayaan manusia bertambah maju, keyakinan asli terhadap Tuhan menjadi kabur, kebutuhan manusia makin banyak, maka keyakinan asli itu menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya.
Teori Marett tentang kekuatan luar biasa. Marett mengatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah berdasarkan keyakinan manusia akan adanya kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa dan menjadi sebab timbulnya gejala-gejala yang tak dapat dilakukan manusia biasa. R.H. Codrington dalam bukunya yang berjudul The Melanesians (1891) ada uraian mengenai keyakinan orang Melanesia tentang suatu kekuatan gaib yang disebut mana, yang dipancarkan oleh roh-roh atau dewa-dewa, tetapi yang dapat juga dimiliki oleh manusia. Dikatakan pula bahwa orang-orang yang memiliki mana adalah orang selalu sukses dalam pekerjaannya, seperti berkebun, berburu, atau orang yang berkuasa dan mampu memimpin orang lain.
Konsep Mana yang dideskripsikan oleh Codrington itu kemudian digunakan oleh Marett untuk mengembangkan teori tentang apa yang dianggapnya sebagai bentuk religi yang tertua. Menurut Marret proses berpikir yang mengasosiasikan suatu kekuatan yang menyebabkan bahwa makhluk yang hidup itu dapat bergerak dengan bayangan tentang dirinya sendiri yang dilihatnya dalam mimpi, adalah terlalu abstrak bagi pikiran manusia purba yang kemampuannya pasti masih terbatas sekali. Marett mengajukan teori tentang asal-mula religi manusia, yaitu bahwa pangkal religi adalah suatu “emosi” atau suatu “getaran jiwa” yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang bersifat luar biasa. Alam dimana hal-hal serta gejala-gejala itu berasal oleh manusia purba dianggap sebagai dunia dimana terdapat berbagai kekuatan luar biasa. Artinya, kekuatan yang tak dapat diterangkan dengan akal manusia biasa dan yang ada di atas kekuatan alamiah biasa, yaitu kekuatan supernatural. Menurut Koentjaraningrat (1985:19) dalam bahasa Indonesia kekuatan yang luar biasa itu dapat disebut “kekuatan gaib” atau “kekuatan sakti”, sedangkan dunia dari mana kekuatan-kekuatan gaib itu berasal disebut “dunia gaib” atau “alam gaib”.
Dengan menunjuk kepada data etnografi tentang mana, Marett kemudian mengajukan teori bahwa manusia purba dapat kagum akan hal-hal serta peristiwa-peristiwa yang gaib yang tak dapat diterangkan dengan akalnya yang masih terbatas kemampuannya itu. Dengan demikian, timbul keyakinan bahwa kekuatan gaib itu ada dalam segala hal yang sifatnya luar biasa, baik manusia luar biasa, binatang luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, maupun benda-benda yang luar biasa. Keyakian itu dan “emosi keagamaan” yang timbul karena keyakinan itu, serta segala tingkah laku upacara yang merupakan akibat selanjutnya adalah bentuk tertua dari religi. Oleh karena itu, bentuk religi seperti ini oleh Marett dianggap lebih tua dari religi animisme, sehingga disebut praeanimism.
Konsep A.C Kruyt (1869-1949) tentang animisme dan dinamisme. Dalam salah satu bukunya yang berjudul Het Animisme in den Indischen Archipel (1906). Dalam buku ini ia mengembangkan suatu teori mengenai bentuk religi manusia primitif atau manusia kuno yang berpusat kepada suatu kekuatan gaib yang serupa dengan kekuatan mana atau supernatural. Dikatakan bahwa manusia primitif atau manusia jaman kuno itu pada umumnya yakin akan adanya suatu zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Zat halus itu terutama ada dalam beberapa bagian tubuh manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, tetapi sering kali juga ada dalam benda. Zat halus itu oleh Kruyt disebut ziylestof. Keyakinan kepada ziylestof seperti itu oleh Kruyt disebut animisme.
Ziylestof itu ada dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda, maka timbullah keyakinan bahwa ziylestof itu juga dapat beralih dari satu medium ke medium yang lain. Misalnya, dari manusia ke binatang atau sebaliknya. Dengan demikian, timbullah keyakinan terhadap perpindahan jiwa atau inkarnasi, yang juga merupakan bagian dari sistem animisme. Di samping keyakinan kepada ziylestof, manusia kuno juga mempunyai keyakinan lain, yaitu berbagai macam makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Diantara berbagai makhluk halus itu ada banyak yang merupakan penjelmaan dari jiwa orang yang telah meninggal. Berbagai makhluk halus itu dianggap dapat menempati dua macam tempat, yaitu di negara makhluk halus dan di sekitar tempat tinggal manusia. Sistem keyakinan akan adanya makhluk-makhluk halus ini oleh Kruyt disebut spritisme.
Menganai hubungan antara animisme dan spiritisme Kruyt mengembangkan sebuah pemikiran yang mengandung unsur-unsur cara berpikir evolusionisme. Katanya : Mula-mula, waktu manusia masih hidup dalam suatu masyarakat yang bersifat communitisch, maka religi manusia yang pokok adalah keyakinan akan adanya suatu zat halus yang umum, yaitu ziylestof. Akan tetapi kemudian, ketika individualisme berkembang, maka keyakinan kepada suatu zat halus yang umum yaitu ziylestof tadi, mulai mengkhusus kepada suatu zat halus dari individu-individu, sedangkan keyakinan kepada zat-zat halus itu menjadi penting apabila individu yang mendukungnya telah meninggal, dan zat-zat halus tadi itu hidup sendiri-sendiri sebagai mahkluk halus. Dengan evolusi dalam masyarakat manusia dari kehidupan komunal ke kehidupan individu itu, ada juga evolusi dari sistem religi animisme ke spiritisme.

2.3 Teori yang berorientasi kepada sikap manusia terhadap hal yang gaib
Konsep Rudolf Otto (1869-1937) tentang sikap takut-terpesona terhadap hal yang gaib. Dalam bukunya yang berjudul Das Heilige (1917) Otto mengatakan bahwa semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap mahadasyat (tremendum) dan keramat (sacre) oleh manusia. Sifat dari hal yang gaib dan keramat itu adalah maha abadi, maha dahsyat, maha baik, maha adil, maha bijaksana, tak terlihat, tak berubah, tak terbatas, dan sebagainya. Pokonya, sifatnya pada asasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia manapun juga, karena “hal yang gaib” serta “keramat” itu memang memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia, walaupun demikian dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia, “hal yang gaib dan keramat” tadi yang meimbulkan sikap takut-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia dan mendorong timbulnya hasrat universal untuk menghayati rasa bersatu dengannya. Sikap takut-terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat itu, oleh Koentjaraningrat disebut sebagai tahap pendahuluan dari agama yang sedang berkembang.

2.4 Teori yang berorientasi kepada upacara relegi
Teori W. Robertson Smith (1846-1894) tentang upacara bersaji. Dalam bukunya yang berjudul Lectures on Religion of the Semites (1989) Robertson Smith mengemukakan tiga gagasan mengenai asas-asas dari religi dan agama pada umunya. Gagasan yang pertama mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan sutudi dan analisis yang khusus. Hal yang menarik perhatian Robertson Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap, walaupun latar belakang, keyakinan, maksud atau doktrinnya berubah.
Gagasan yang kedua adalah bahwa upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, mempunyai fungsi sosial untuk mengintesifkan solidaritas masyarakat. Artinya, di samping sebagai kegiatan keagamaan tidak sedikit dari masyarakat yang melaksanakan upacara religi atau agama menganggap melakukan upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial.
Gagasan yang ketiga adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Dikatakan pada pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, oleh Robertson Smith juga dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga istimewa.
Konsep-konsep K.T. Preusz mengenai asas-asas religi. Konsep itu menganggap bahwa wujud religi yang tertua berupa tindakan-tindakan manusia untuk keperluan-keperluan hidupnya yang tak dapat dicapainya secara naluri atau dengan akalnya. Konsepsi bahwa kemamampuan akal manusia terbatas dan bahwa menschliche Urdummheit, atau “kebodohan akal manusia yang asli” ini merupakan pangkal permulaan dari religi.
Sepuluh tahun kemudian dalam bukunya yang berjudul Die Geistige Kultur der Naturvolker (1904), Preusz menentukan bahwa pusat dari tiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan uapacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya marelial maupun yang spiritual. Dengan demikian, ia menganggap tindakan ilmu gaib dan upacara religi itu hanya sebagai dua aspek dari satu tindakan, dan malahan seringkali tampak bahwa ia menganggap upacara religi biasanya memang bersifat ilmu gaib.
Dalam bukunya yang berjudul Tod und Unsterblichkeit im Glauben der Naturvolker (1933), Preusz melanjutkan konsepsinya mengenai arti ritus dan upacara dengan anggapan bahwa rangkaian ritus yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Dalam ritus-ritus seperti itu tema pokoknya seringkali melambangkan proses pemisahan antara yang hidup dan yang meninggal. Dengan demikian, perkembangan sistem serta ajaran religi itu lebih banyak dipengaruhi oleh sistem upacara dan tingkah laku manusia dalam kehidupannya sehari-hari dari pada sebaliknya.
Pendiriannya mengenai pentingnya ritus dan upacara dalam kehidupan manusia diperdalamnya dalam bukunya yang berjudul Glauben und Mystik im Schatten: des hochsten Wesens (1926). Menurut Preusz, ritus atau upacara religi akan bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkrit di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim, dan kedasyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut.
Teori J.G. Freazer (1854-1941) tentang ilmu gaib dan religi. Menurut teori ini, bahwa manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya, tetapi akan dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Menurut Freazer, magic adalah semua tindakan manusia (atau abstensi dari tindakan) untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya.
Menurut Freazer, manusia mula-mula hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari perbuatan magic tidak ada hasilnya, maka mulailah ia percaya bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripadanya, lalu mulailah ia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. Dengan demikian timbullah religi.
Freazer menekankan bahwa ada perbedaan besar antara ilmu gaib dan religi. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan menggunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus, seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam.
Analisis R. Hertz tentang upacara kematian. Ia menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisis terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam masyarakat tadi. Artinya, Herzt melihat gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, manusia beralih dari suatu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Dengan demikian, menurut Herzt upacara kematian tidak lain dari pada upacara inisiasi.
Menurut Herzt ada lima anggapan di balik upacara inisiasi, yaitu
(1) Anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi suluh masyarakat;
(2) Anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat dengan orang yang meninggal itu dianggap mempunyai sifat keramat (sacre);
(3) Anggapan bahwa peralihan dari suatu kedudukan sosial ke suatu kedudukan lain itu tak dapat berlangsung secara sekaligus, tetapi setingkat demi setingkat, melalui serangkaian masa antara yang lama;
(4) Anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap melepaskan si objek dari hubungannya dengan masyarakat yang lama, tingkat mempersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru;
(5) Anggapan bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si objek merupakan seorang makhluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan berbagai upacara ilmu gaib.
Sesudah melakukan analisis yang mendalam tentang berbagai unsur pada upacara kematian di berbagai suku-bangsa di Indonesia, Herzt berkesimpulan bahwa upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi. Menurutnya, bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur-unsur upacara kelahiran dan pernikahan. Pada kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup, dan pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.
Analisis A. Van Gennep (1873-1957) tentang ritus peralihan dan upacara penguburan. Ia berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa kehidupan sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan sosial seperti itu. Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat dimana semangat kehidupan sosial menurun, dan sebagai akibatnya akan timbul kelesuan dalam masyarakat.
Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya terjadi pada akhir suatu musim alamiah. Misalnya, pada akhisr musim berburu, menangkap ikan, atau suatu tahap dalam produksi pertanian sewaktu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir lalu itu. Untuk menghadapi tiap musim yang baru, masyarakat memerlukan “regerasi” semangat kehidupan sosial dalam jiwa para warganya.
Di samping itu, ia juga mengatakan bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhannya sebagai individu, yaitu sejak manusia lahir, kemudian masa kanak-kanaknya, melalui proses menjadi dewasa dan meniklah, mejadi orang tua, hingga saatnya meninggal, manusia mengalami perobahan-perobahan biologi dan lingkungan sosial budaya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka manusia memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial tadi. Van Gennep malahan menganggap rangkaian ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan atau “lingkran hidup” individu (life cycle rites) itu sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting dan mungkin paling tua dalam masyarakat dan kebudayaan manusia.
Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara kematian dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu (1) perpisahan atau separation, yaitu manusia melepas kedudukannya yang semula, (2) peralihan atau marge, yaitu manusia dianggap mati atau “tidak ada” lagi dan dalam keadaan ini tak tergolong dalam lingkungan sosial mana pun, dan (3) integrasi atau agregation, manusia diresmikan ke dalam tahap kehidupan dan lingkungan sosialnya yang baru. Dalam hal ini upacara kematian berdasarkan tema berpikir bahwa peristiwa kematian manusia hanya merupakan suatu saat proses peralihan saja ke suatu kehidupan yang baru di alam baka atau juga berdasarkan tema berpikir bahwa individu yang mati harus diintegrasikan ke dalam kehidupannya yang baru di antara makhluk halus yang lain di alam baka.
Teori Emile Durkheim tentang bentuk-bentuk elementer dari religi. Ia tidak setuju dengan M. Muller yang beranggapan bahwa agama berasal dari kebutuhan asasi manusia untuk mencari masalah kekuatan hakiki apa yang menguasai hidupnya dan alam sekitarnya itu, dan dari masalah itu gagasan-gagasan mengenai dewa-dewa, roh-roh dan Tuhan. Keberatan Durkheim adalah bahwa walaupun manusia sekarang sudah banyak menemukan kekuatan yang menguasai hidupnya dalam alam sekitarnya, religi dan agama tetap belum terdesak dari hidupnya. Lagi pula banyak religi dalam berbagai kebudayaan di dunia tidak mengenal adanya dewa-dewa atau roh-roh. Akan tetapi kata Durkheim, ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasan dan perilaku keagamaan makhluk manusia, yaitu persamaan sentimen bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat (sacre), berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama, yaitu bersifat profan (profane).
Menurut Durkheim definisi religi adalah suatu religi itu adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral, yang disebut Umat... Dengan definisi ini Durkheim kemudian meninjau bermacam-macam teori yang ada tentang asal mula religi.
Dalam hal membahas teori Tylor tentang animisme, Durkheim mengatakan seandainya memang benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti dikatakan Tylor, maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia. Oleh karena itu, suatu sistem religi yang lebih asasi, dan karena itu lebih tua dari pada animisme dan sistem religi, yaitu totemisme. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bukan binatang, tumbuh-tumbuhan, atau bendanya itu sendiri yang sebenarnya penting dalam konsep totem, melainkan suatu prinsip yang disebut “prinsip totem” (principe totemique). Ia juga menjelaskan bahwa lambang totem itu seakan-akan menggugah emosi keagamaan dalam jiwa manusia dan emosi keagamaan itu bersumber pada kesadaran kolektif yang memberikan semangat hidup baru.
Pada akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa dalam semua sistem religi di dunia ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu hal in foro externo dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada dalam sistem religi, lepas dari waktu, lepas dari wujud, isi, atau materinya, yaitu kebutuhan asasi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem religi tadi untuk mengintensifkan kembali kesadaran kolektifnya dengan upacara-upacara yang keramat. Dijelaskan pula bahwa manusia sebagai warga masyarakat, toh masih tetap membutuhklan keyakinan-keyakinan, sentimen-sentimen, dan kesadaran kolektif yang memberi identitas kepadanya dan memperkuat kebutuhan moralnya. Sebaliknya, hal ini memerlukan upacara-upacara yang ditentukan oleh gagasan-gagasan kolektif yang tidak pernah akan hilang dari kehidupan masyarakat manusia.
Teori Nathan Soderblom (1866-1931) tentang asas religi. Bunyi teori itu adalah bahwa keyakinan yang paling awal yang menyebabkan terjadinya religi dalam masyarakat manusia adalah keyakinan akan adanya kekuatan sakti (mana) dalam hal-hal yang luar biasa dan yang gaib. Satu langkah lebih jauh lagi dalam proses perkembangan keyakinan manusia adalah keyakian tentang adanya berbagai macam roh yang seakan-akan mempunyai identitas serta kepribadian sendiri-sendiri, tetapi sebagian lagi menempati dunia gaib. Akhirnya perkembangan yang paling jauh ialah keyakinan akan adanya dewa-dewa, yaitu keyakinan kepada makhluk-makhluk halus, seperti roh-roh mempunyai kepribadian dan identitas sendiri tetapi yang mempunyai wujud yang lebih nyata dan mantap dalam pikiran manusia.
Teori J. Van Baal tentang asas-asas religi. Mengenai sistem keyakinan, Van Baal berpendirian bahwa kecuali beberapa konsep asasi yang tertanam dalam alam sub-sadar manusia, suatu bagian besar dari keyakinan manusia dalam rangka suatu religi tertentu, adalah ciptaan akal dari pikiran dari para pemuka dan tokoh religinya sendiri. Para tokoh itulah yang menciptakan konsepsi mengenai alam semesta dan dunia gaib, mengenai bentuk sorga dan neraka, dan mengenai bentuk dunia akhirat dimana para roh nenek-moyang dan para dewa hidup. Konsepsi itu biasanya terurai dan terlukiskan dalam mitologi dan kesusastraan suci.
Dalam karangannya Offering, Sacrifice and Gift, bahwa sajian atau offering kepada para dewa, dan kepada para makhluk halus dalam dunia gaib pada umumnya, mempunyai fungsi seperti suatu “pemberian”. Tentang fungsi dari pemberian dalam interaksi sosial, ialah sebagai lambang untuk mengukuhkan suatu hubungan antara si pemberi dan si penerima yang mantap dan kemudian harus lebih dikukuhkan lagi dengan suatu pemberian balasan. Demikian upacara bersaji, juga upacara seni drama suci, seni tari suci dan sebenarnya semua upacara religi yang dilaksanakan oleh manusia itu merupakan tindakan-tindakan yang penuh symbols of communication, yang penuh “lambang untuk berkomunikasi”.
Van Baal juga memandang penting sikap dari para pemeluk religi yang bersangkutan terhadap hal yang gaib itu, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam suatu sistem religi. Adapun sikap dari biasanya ditentukan oleh suatu campuran dari berbagai perasaan yang bertentangan ialah rasa cinta, hasrat akan kemesraan, dan hasrat untuk berbakti, tetapi juga rasa takut dan tak berdaya terhadap berbagai gejala yang berada di luar batas akal manusia dan terhadap berbagai bahaya yang tak dapat dikuasai dengan akal manusia. Dengan singkat sikap itu adalah sikap yang ambivalen.

2.5 Beberapa komponen relegi
Untuk keperluan analisis antropologi atau sosiologi, menurut Koentjaraningrat (1985:43) bahwa konsep religi dapat dipecah ke dalam lima komponen yang mempunyai peranannya sendiri-sendiri, tetapi yang sebagai bagian dari suatu sistem, berkaitan erat satu dengan lain. Kelima komponen tersebut adalah (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5) umat beragama.
Dikatakan pula bahwa emosi keagamaan yang menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Menurut Rudolf Otto bahwa emosi keagamaan itu yang berupa “sikap takut dan terpesona” terhadap “hal yang gaib dan keramat” itu, pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena berada di luar jangkauan kemampuannya. Sedangkan Soderblom hanya menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap “takut bercampur percaya” kepada yang gaib serta keramat, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut. Akan tetapi menurut Koentjaraningrat, komponen emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen utama dari gejala religi, yang membedakan suatu sistem religi dari semua sistem sosial budaya yang lain dalam masyarakat manusia.
Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud dari alam gaib (kosmologi), terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), jaman akhirat (esyatologi), wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan makhluk-makhluk halus lainnya. Di samping itu, sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan, dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang atau makhluk halus lainnya, dan dalam usahanya berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu. Dalam ritus dan upacara religi biasanya digunakan bermacam-macam sarana dan perlatan, seperti tempat pemujaan, patung, alat bunyi-bunyian, dan pakaian khusus untuk itu. Selanujutnya, komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya, atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu.
Keyakinan, ritus serta upacara, peralatan ritus serta upacara dan umat agama, yang berkaitan erat satu sama lain dan saling pengaruh mempengaruhi, baru mendapat sifat keramat yang mendalam apabila dihinggapi oleh lomponen utama, yaitu emosi keagamaan.

2.6 Ritus dan Upacara Krisis di Indonesia
Menurut Koentjaraningrat (1985:45) beraneka warna suku bangsa di Indonesia memandang bahwa semua masa peralihan dianggap masa krisis, dimana manusia itu harus melepaskan diri dari suatu lingkungan sosial yang lama, kemudian harus melampuai suatu masa peralihan, dimana ia sebagai makhluk lemah tanpa identityas dan tanpa keduidukan, harus mempersiapkan diri secara jasmaniah maupun rohaniah untuk kedudukannya nanti dalam suatu lingkungan sosial yang baru. Dijelaskan pula bahwa dalam keadaan peralihan semacam itu banyak kemungkinan orang bisa terserang oleh berbagai macam bahaya, yang tak dapat dikuasai dengan akalnya. Dalam menghadapi masa-masa krisis seperti itu, dikatakan manusia harus bersikap penuh waspada dan prihatin serta perlu tindakan-tindakan untuk memperteguh imannya dan memperkuat mentalnya. Tindakan-tindakan itu berupa ritus-ritus krisis pada masa peralihan.

III. PENUTUP
Dari pembahasan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa religi adalah bagian dari kebudayaan dan terbentuk dalam ruang lingkup kebudayaan manusia. Menurut Haloei Radam (2001:1) religi pada dasarnya terdiri dari dua unsur esensial, yaitu keyakinan dan upacara. Ditegaskan pula bahwa kedua unsur religi ini tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini sejalan dengan pernyataan Goldsmidt (dalam Haloei Radam 2001:2) bahwa keyakinan menggelorakan upacara, sedangkan upacara itu adalah upaya membenarkan keyakinan tersebut. Artinya, ritus dan upacara itu berfungsi mengkomunikasikan keyakinan kepada sekalian orang.
Menurut J. Van Baal (dalam Haloei Radam, 2001:3) religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri dengan penguasaan diri. Bila tujuan (yakni objek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu berfungsi sebagai perisai yang melindungi (menghalangi) seseorang dari kecenderungannya yang amat sangat untuk memperagakannya secara langsung.
Haloei Radam (2001:17) mengatakan bahwa religi mengandung makna keberagamaan dalam segala aktivitas dan tindakan manusia. Artinya, masalah religi bukanlah sekedar masalah bagaimana manusia mengkonsepsikan Tuhan dan jagad raya ini serta hidup sesudah mati, atau aktivitas manusia menghayati adanya Tuhan dan kehidupan di dunia lain, tetapi juga berupa masalah mengapa mereka mengkonsepsikan semua hal itu dan untuk apa semua itu bagi kehidupan seseorang atau orang seorang dan masyarakatnya. Dengan demikian, menurut Haloei Radam (2001:17) religi adalah konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi, kosmogoni, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengentalkan ikatan sosial.
Memantapkan kehidupan pribadi maksudnya membina dan mengembangkan identitas individu dan rasa aman emosional, dan mengentalkan ikatan sosial berarti menjadikan kehidupan sekelompok orang lebih utuh serta menjadi tenaga pendorong dan pembenaran pencapaian tujuan bersama. Dengan demikian, maka religi itu bukan sekedar unsur budaya yang idealistis yang konsepsi-konsepsinya realistis, tetapi merupakan unsur budaya yang aplikatif sifatnya.

DAFTAR PUSTAKA
Grayson, Stuart, 2001, Spiritual Healing (penyembuhan spiritual), Semarang: Dahara Prize.
Haloei Radam, Noerid, 2001, Religi Orang Bukit, Yogyakarta: Yayasan Semesta.

King, Richard, 2001, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, Yogyakarta: Qalam.
Koentjaraningrat, 1985, Ritus Peralihan di Indonesia, Jakarta: P.N. Balai Pustaka.

Triguna, Yudha, 2003, “Materi Kuliah Sosiologi Agama”, pada Program Magister (S2) Ilmu Agama Dan Kebudayaan – UNHI, Denpasar.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...