Perempuan

KEPEREMPUANAN PEREMPUAN BALI:
MENYINGKAP PERANAN ISTRI PADA ERA POSMODERN

Oleh
I Wayan Sukarma

Abstrak
Modernisme memberikan begitu banyak kepastian dan dengan keyakinan menjanjikan kesejahteraan yang melimpah dalam suatu kehidupan yang serba seragam, teratur, dan padu. Janji mesra ini rupanya adalah gombal belaka karena kesejahateraan itu tak kunjung tiba karena faktanya kehidupan menjadi semakin miskin dan kering. Rasio sebagai pusat Kebenaran di satu sisi dan peranan Subjek dalam permainan dan parodi fenomenal di sisi lain merupakan kontradiksi eksternal yang sumir. Kegamangan situasi ini menciptakan ruang begitu longgar bagi perempuan pada sektor publik sehingga tidak dapat dihindari peranan ganda kaum hawa ini. Ini juga bukan suasana nyaman bagi penyamaran peranan yang dilakukan di luar proyek spekulatif ataupun alternatif karena formulanya merupakan ketanggungan tanpa bentuk sarat dengan ketidakmungkinan. Sementara itu, posmodernisme sebagai upaya pembacaan kembali terhadap peran-peran subjek memberikan kesadaran lain yang sama sekali berbeda. Perempuan Bali dalam kapasitasnya sebagai istri, yang adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga diharapkan bisa menangkap kesadaran ini sebagai penajaman nurani untuk menafsirkan kembali peran-perannya.

Kata Kunci: Perempuan Bali dan Posmodern.

1. Pendahuluan
Kemajuan, tiada kesalahan dengannya. Ia merupakan manifestasi perubahan yang tak terhidarkan sehingga dialami oleh setiap eksistensi. Kenyataan ini bisa dirunut bahwa tidak ada masyarakat dan kebudayaan yang statis, tanpa mengalami perubahan sepanjang zaman. Ini juga ditegaskan oleh Triguna (1999:1) bahwa secara universal tak satupun masyarakat dan kebudayaan di dunia hidup statis tanpa mengalami proses perubahan. Kebudayaan itu dinamis mengalami perubahan inheren dalam perkembangan pemikiran masyarakat pendukungnya. Di atas perubahan itu manusia sering secara salah menafsirkan dan memahami berbagai interaksi dan antarhubungan sosial yang dibangunnya. Di dalam perubahan itu manusia juga tidak jarang secara keliru menafsirkan dan memahami sikap dan perilakunya terutama dalam hubungannya dengan lingkungan. Demikianlah perubahan dalam bentuk kemajuan selalu menjadi kambing hitam bagi setiap kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan manusia. Walaupun kambing hitam itu sebenarnya adalah kambing putih dalam artian bahwa kesalahan dan kekeliruan itu sangat mungkin (apabila tidak bisa dikatakan harus) karena modernisme sesungguhnya telah membunuh peranan Subjek dengan pedang Rasio dalam seluruh permainan kehidupan.
Modernisme memang tidak memberi ruang bagi hidupnya subjek karena ia dibangun di atas metafisika Barat yang berlandaskan empat rentetan kausa Aristotelian sebagai penyebab eksistensi. Metafisika yang menempatkan Rasio sebagai pusat Kebenaran bergerak secara linear menuju kausa final sebagai telos (tujuan akhir), seperti Tuhan, Sejarah, Realisasi-Diri, dan seterusnya. Kausa final sebagai tujuan akhir mengandaikan tidak dimungkinkannya bagi perkembangan baru dan sekaligus sebagai titik akhir yang selesai bagi segala kesempurnaan. Metafisika dalam mempertahankan bangunan modernisme dilakukan dengan merayakan keteraturan dalam rasionalisme, positivisme, materalisme, liberalisme, kapitalisme, emansipasi, dan seterusnya. Modernisme atau metafisika Barat mereduksi keberagaman dan perbedaan-perbedaan melalui gaya logika di bawah payung logos yang pada gilirannya harus runtuh di hadapan posmodernisme. Bagi Derrida posmodern adalah perayaan terbuka bagi berakhirnya metafisika Barat, modernisme[1].
Sementara itu, globalisasi sebagai kendaraan modernisme, bukan saja membawa kemajuan dalam bidang industri, investasi, informasi, dan individualisasi, tetapi juga ditandai dengan munculnya berbagai gerakan yang menuntut kesamaan hak dan derajat, pesatnya perkembangan humanisme, dan perjuangan kaum perempuan dalam kesetaraan gender[2]. Dalam kaitannya dengan tradisi, Triguna (2002) menegaskan, jika tradisi diasumsikan dibentuk atas dasar setting agraris, yakni komunal, religius-magis, setempat, dan konkret maka modernisasi dan globalisasi dibentuk atas dasar individualistik, berorientasi prestasi, menghargai waktu, terukur, sekuler, mobilitas tinggi, dan konsepsional atau abstraktif. Oleh karena itu setiap tradisi senantiasa akan mengalami proses diferensiasi sosial-struktural serta suatu generalisasi nilai, norma, dan makna yang menyertainya. Dalam hubungan kebudayaan, pergeseran itu telah memberi kontribusi terhadap pengetahuan sebagai satuan budaya. Setiap orang yang telah tersentuh sistem pengetahuannya oleh nilai-nilai baru akan mencoba memberi makna baru bagi tatanan yang ada sebelumnya, tidak terkecuali hal-hal yang bersifat normatif seperti tersurat dalam aturan adat dan tradisi. Artinya, adat dan tradisi di tempat yang sama pada waktu berbeda dapat saja memproleh nilai yang tidak sama, bahkan sama sekali jauh dari makna nilai awalnya.
Globalisasi merupakan gerakan yang diawali dalam bidang ekonomi yang didorong oleh teknologi komunikasi dan informasi yang pada akhirnya melahirkan kebudayaan tunggal bagi seluruh masyarakat dunia[3]. Seperti dikatakan oleh Kenichi Ohmae (Suhanadji, 2004:100) bahwa sesungguhnya globalisasi adalah dunia tanpa batas karena disatukan oleh kekuatan dan strategi ekonomi yang dimotivasi oleh teknologi komunikasi dan informasi. Kemajuan tersebut, baik disadari maupun tidak pada sisi lain telah mendesak kebudayaan lokal pada posisi yang termarginalkan. Hal ini juga disebabkan oleh modernisasi yang tiada lain adalah pengapdosian budaya Barat, yang belum tentu seluruhnya sesuai dengan lingkungan budaya lokal, budaya Timur. Pernik-pernik yang tersembunyi dan terlalaikan dalam modernisme telah mendorong lahirnya satu pemikiran lain, yang selanjutnya disebut posmodern. Postmodern merupakan kesadaran akan menghidupkan kembali kebudayaan lokal sebagai kekuatan baru yang pada gilirannya melahirkan suatu gerakan yang mengusung pluralisme dan multikulturalisme. Oleh karena itu ada yang beranggapan multikulturalisme merupakan arus balik dari gelombang globalisasi (Tilaar, 2004:74). Sebagai gerakan yang menganut pluralisme, bukan berarti multikulturalisme bebas dari bahaya. Multikulturalisme memang menyimpan bahaya, yaitu dapat tumbuh dan berkembangnya sikap fanatisme budaya di dalam masyarakat. Apabila fanatisme itu muncul maka akan terjadi pertentangan di dalam kebudayaan yang pada akhirnya merontokkan seluruh bangunan kehidupan dari suatu komunitas.
Perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari suatu komunitas memiliki peran dan tanggung jawab yang ditetapkan secara sosial dan budaya. Dalam keragaman budaya dan tatanan sosial maka perbedaan gender dapat dilihat sebagai hal yang wajar sebab setiap budaya dan komunitas mempunyai ekspresi-ekspresi yang khas dan unik. Menurut Sarapung (1999:38) perbedaan gender barulah menjadi masalah, apabila perbedaan itu mengakibatkan ketimpangan perlakuan dalam masyarakat serta ketidakadilan dalam hak dan kesempatan bagi laki-laki dan terutama bagi perempuan. Oleh karena itu dalam perbincangan mengenai gender masalah ketimpangan dan ketidakadilan mendapat perhatian yang utama. Mengingat perempuan lebih banyak mengalami ketimpangan dan ketidakadilan gender daripada laki-laki maka dalam pembahasan mengenai gender porsi perbincangan mengenai perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Ketimpangan dan ketidakadilan gender telah terjadi dan dijumpai di seluruh dunia, antara lain dalam wujud marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, citra baku, kekerasan, pelecehan, dan beban kerja ganda.
Citra baku (stereotipe) telah menempatkan laki-laki sebagai yang kuat dan tegar, sedangkan perempuan sebagai yang lembut dan lemah sehingga peranan perempuan dalam peranan gender dibakukan ke dalam sektor yang dianggap cocok dengannya, yaitu sektor domestik. Sebaliknya, peran laki-laki dibakukan ke dalam sektor yang dianggap cocok dengannya, yaitu sektor publik (Sarapung, 1999:38). Akan tetapi emansipasi yang berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan dalam kenyataannya selalu dikaitkan dengan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan laki-laki (Ratna, 2005:224). Modernisme yang telah menjanjikan berbagai kemudahan dalam rasionalitas yang matang ternyata telah mendorong perempuan merasa memiliki hak yang sama dengan laki-laki, baik pada sektor domestik maupun publik. Ketika perempuan mulai merambah sektor publik maka sektor domestik mulai mengalami guncangan. Keluarga telah kehilangan rohnya dan dimaknai hanya sebagai tempat tinggal bersama tanpa ikatan emosi, tidak berbeda dengan para tamu dalam suatu hotel. Ini merupakan satu kesulitan untuk memahami sisi perempuan karena ia selalu tertinggal dalam ranah bawah sadar, imajiner yang menurut gagasan Freud disebut oedipal atau oudipus, suatu fase perkembangan anak laki-laki memasuki ranah simbolik, wahana bahasa, dan Diri. Malahan Lacan (Tong, 1998:295) menegaskan karena anak laki-laki tidak pernah secara lengkap menyelesaikan fase oudipal maka perempuan tertinggal di ranah imajiner sebagai keadaan untuk ditangisi. Sebaliknya, Irigaray memandang hidup perempuan dalam ranah imajiner sebagai penuh dengan kemungkinan yang sama sekali belum tersentuh bagi perempuan.
Kesulitan yang sama juga dialami oleh seorang ahli filsafat Barat John Stuard Mill dalam The Subjection of Women (Triguna, 2001:2) mengatakan bahwa wanita cenderung tidak suka memaparkan tentang dirinya, disebabkan status mereka umumnya ditempatkan lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Wanita cenderung ingin menyembunyikan dirinya (mystique) sehingga laki-laki amat sulit menafsirkan, memahami, dan mengerti wanita. Walaupun begitu pemahaman tentang perempuan sesungguhnya adalah pengetahuan tentang perempuan dari sudut pandang laki-laki karena perempuan selalu berada pada posisi imajiner dan ilusi. Seperti dinyatakan oleh Irigaray (Tong, 1998:295) bahwa segala sesuatu yang kita ketahui tentang yang imajiner dan perempuan termasuk hasrat seksualnya didapat dari sudut pandang laki-laki. Dengan kata lain, satu-satunya (jenis) perempuan yang kita kenal adalah ”perempuan yang maskulin”, feminin falik, perempuan sebagaimana dilihat oleh laki-laki. Menurutnya ada jenis perempuan lain yang juga harus dikenali, ”perempuan feminin”, perempuan sebagaimana dilihat perempuan. Dengan cara yang berbeda mengungkapkan tema yang sama Kristeva (Tong, 1998:301) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai identitas seksual yang berbeda, tidak berarti identitas ini dimanisfestasikan dengan cara yang sama oleh setiap ”perempuan” dan ”laki-laki”. Ditegaskan bahwa konsep ”perempuan” tidak mempunyai makna pada tingkat ontologis, tetapi hanya pada tingkat politis, ”keyakinan bahwa ’seseorang adalah perempuan’ adalah hampir sama absurd dan kabur dengan keyakinan bahwa ’seseorang adalah laki-laki’. Rupanya kesulitan pemahaman terhadap perempuan tidak berhenti sampai di tingkat konsep, tetapi juga terjadi setelah kegagalan moderinsme bersama fenisme melekatkan label kesetaraan gender pada bidang-bidang kehidupan.
Modernisme yang oleh sebagian masyarakat dianggap telah gagal memberikan kemudahan, pragmatis, citra baku, efesiensi, dan rasionalitas mendorong lahirnya suatu gerakan yang mengusung tema pembangunan kembali yang memberi penguatan bagi kehidupan tradisi, postmodernisme. Kegagalan modernisme memenuhi janjinya dalam kaitannya dengan peranan dan tanggung jawab perempuan khususnya di dalam keluarga maka pada era postmodern setidak-tidaknya dilakukan reposisi, reinterpretasi, dan revitalisasi terhadap peranan dan tanggung jawab perempuan dalam keluarga. Reposisi, reinterpretasi, dan revitalisasi peranan dan tanggung jawab istri dalam keluarga merupakan fenomena menarik. Mengingat setiap orang dapat dipastikan hidup dalam sebuah keluarga, setidak-setidaknya dalam keluarga manusia. Inilah arah yang hendak dituju oleh tulisan ini hingga diperoleh gambaran buram tentang peranan perempuan Bali terutama peranan istri di dalam keluarga pada era postmodern. Walaupun demikian tulisan ini tetaplah dimaksudkan sebagai upaya penyingkapan.

2. Pembahasan
2.1 Pelurusan: Feminis, Emansipasi, Gender, dan Postmodern
Kajian terhadap istri merupakan studi tentang perempuan dalam hubungannya dengan tatanan sosial dan budaya. Mendeskripsikan dan memahami eksistensi istri dalam kehidupan sosial budaya perlu diluruskan beberapa pengertian yang berkaitan dengannya. Seperti ditegaskan oleh Ratna (2005:224) bahwa dalam kaitannya dengan teori feminis perlu dibedakan dua istilah lain yang selalu muncul, yaitu emansipasi dan gender. Emansipasi berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan. Akan tetapi dalam kenyataannya selalu dikaitkan dengan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Pada dasarnya persamaan hak inilah yang menjadi pokok permasalahan dalam feminisme dan gender. Gender didefinisikan sebagai lawan seks. Gender menurut Sarapung (1999:36) adalah pembagian peran serta tanggung jawab manusia laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan, baik secara sosial maupun budaya. Sebaliknya, seks mengacu pada struktur reproduksi dan sering dikaitkan dengan alat mencapai kepuasan secara biologis. Oleh karena itu istilah seks mengandung makna biologis, sedangkan istilah gender mengacu pada makna sosial, budaya, dan psikologis. Gender bersifat psikologis kultural, sebagai perbedaan antara masculine-feminine, sedangkan seks bersifat fisiologis, secara kodrati, sebagai perbedaan antara male-female. Kedua istilah inilah yang dimaksudkan dengan jenis kelamin dalam bahasa Asia Selatan (Ratna, 2005:224). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (tanpa tahun: 472) kata laki dijelaskan berarti laki-laki, pria, suami, imbangan bini, imbangan istri. Dalam kamus yang sama (tanpa tahun:602) dijelaskan bahwa perempuan berarti wanita, orang yang melahirkan kita, orang yang mempunyai vagina bisa mengandung dan melahirkan anak; istri, bini. Wanita berarti perempuan dewasa dan kewanitaan berarti hal yang berhubungan dengan wanita (Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanpa tahun:796).
Dalam ilmu sosial, dalam studi kultural khususnya, yang menjadi masalah aktual adalah studi gender. Ini disebabkan oleh kultur, yaitu praktik-praktik sosial sebagai hasil ciptaan manusia yang merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan. Pada gilirannya, seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan (Ratna, 2005:225). Menurut David Craddol (Ratna, 2005:225), seseorang tidak dilahirkan dengan gender, tetapi harus mempelajari perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Seseorang yang lahir sebagai perempuan (seks) tidak perlu dipermasalahkan sebab tidak seorangpun dapat mengubah kondisi tersebut. Sebaliknya, eksistensi seseorang menjadi perempuan tentu dapat dipermasalahkan, diterima dengan senang hati, atau sebaliknya sama sekali ditolak. Jadi, emansipasi dan gender cenderung lebih banyak berkaitan dengan masalah-masalah praktis yang terjadi dalam masyarakat, sedangkan feminis lebih bersifat teoretis. Feminisme menggali keseluruhan aspek mengenai perempuan, menelusuri aspek-aspek kesejarahannya, klafikasi, periodisasi, kaitannya dengan teori-teori yang lain, sekaligus menyusun ke dalam suatu kerangka-kerangka konseptual. Feminis merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan postmodernisme dan postrukturalisme. Pada tataran ini feminisme sudah menjadi postfeminisme sekaligus mengadopsi konsep-konsep penting postrukturalisme yang dianggap sesuai untuk menyelesaikan masalah-masalah perempuan.
Lebih lanjut, Ratna (2005:226) menjelaskan bahwa feminis dari kata femme, berarti perempuan. Kemudian, timbul gerakan feminis yang secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. Dua dari teori yang dimaksud adalah patriarki (berpusat pada garis keturunan ayah) dan phallocentric (berpusat pada laki-laki)[4] sebagaimana yang anut oleh masyarakat Hindu di Bali. Kedua teori inilah yang digunakan untuk menelusuri hal-hal yang berkaitan dengan peranan istri dalam keluarga Hindu Bali pada era postmodern.
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti budaya menurut Endraswara (2003:144-145) merupakan kajian dekonstruksi yang kontruktif diharapkan dapat menjadi pijaran neo-modernisme atau pasca-modernisme[5]. Kecemerlangan postmodernisme terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif, yaitu dalam arti memenuhi standar keilmiahan. Postmodern ingin mendudukkan persoalan kebudayaan yang sering dikesampingkan kaum modernisme. Jika kaum modernisme cenderung menepikan pemahaman budaya dari aspek historis, menaifkan budaya terpencil, budaya terjajah, dan cenderung mendewakan oposisi-oposisi biner maka postmodernisme memiliki sikap sebaliknya. Postmodernisme, justeru ingin mengangkat dunia kecil yang “dibuang” oleh modernisme. Jika kaum modernisme cenderung memahami budaya dengan struktur yang pasti, sebaliknya postmodernisme justeru membuka dialog baru pemahaman budaya. Pemahaman budaya justeru lebih ke arah demokratis dan terbuka. Dengan kata lain, postmodernisme merupakan upaya mengisi kekosongan-kekosongan budaya yang ditinggalkan oleh modernisme. Kekosongan-kekosongan yang dimungkinkan oleh berbagai kelemahan metodelogis modernisme dalam menaklukkan fenomena budaya karena dalam setiap penelitian termasuk penelitian dalam bidang kebudayaan diasumsikan tidak ada satu model pendekatan, paradigma, teori, dan metode yang sempurna yang dapat digunakan untuk setiap persoalan budaya pada setiap zaman. Ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun paham penelitian yang mampu merangkum realitas menjadi satu fakta ke dalam satu data yang holistik dan komprehensip sebagai satu unit analisis.
Liliweri (Endraswara 2003:146) menegaskan bahwa postmodernisme cenderung menyerang otoritas akal manusia, bahkan tidak semata-mata mengkritik rasionalitas dunia alamiah dan kesulitan-kesulitan metodelogis untuk menaklukkannya, tetapi malahan mempertanyakan konsep self sebagai hal yang hidup, bahkan percakapan mereka berputar sekitar konsep becoming. Dengannya telah menempatkan penelitian postmodernisme terhadap budaya lebih bebas dan radikal, seperti diakui oleh Lyotard (Endraswara, 2003, sebagaimana dikutif dari Sarup, 1993) bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya radikal. Paham ini merupakan tuntutan budaya kapitalis khususnya bidang seni. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum modern, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme, justeru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya pemahaman budaya tidak harus diatur rapi, tak harus terkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin. Model pendekatan ini memungkinan memperbincangkan tentang peranan istri pada era postmodern, bukan semata-mata sebagai imbangan dari suami karena peranan istri sebagai pendamping suami merupakan status quo, gaya berpikir modernisme. Seperti ditegaskan oleh Endraswara (2003:146) bahwa tuntutan zaman dan selera budaya masa kini tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak kaku. Mengingat pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”. Keharusan seperti ini seringkali tak mampu melacak kebenaran fenomena budaya itu sendiri, melainkan sekadar kamuflase belaka.
Endraswara (2003:147) menegaskan bahwa postmodernisme berpendapat bahwa kebenaran tidak pernah terbayangkan. Kebenaran tidak selalu hadir dari unsur-unsur budaya yang besar. Jalan mencari kebenaran perlu dicari secara kreatif memberi makna budaya. Oleh karena itu budaya yang telah ada perlu didekontruksi karena kontruksi yang ada diasumsikan kurang mampu dan gagal menemukan kebenaran. Postmodernisme[6] ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif-kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Oleh karena itu bagi kaum posmodernisme bahwa kebenaran yang selalu mengandalkan grandtheory sudah tidak relevan lagi. Akan tetapi mereka lebih menghargai perbedaan, pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena budaya. Paham ini memungkinkan melakukan penyingkapan “peranan istri” sebagai “yang bukan peranannya”, yang tidak mungkin dilakukan oleh teori-teori modernisme.

2.2 Keperempuanan Perempuan Bali
Dengan istilah “keperempuanan” yang dimaksudkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan perempuan (sebagaimana dijelaskan di atas tentang penggunaan istilah “kewanitaan” bahwa istilah “kewanitaan” berarti hal yang berkaitan dengan wanita), dalam hal ini adalah perempuan Bali. Perempuan seperti dijelaskan di atas dapat berarti istri, karena itu yang dimaksud dengan perempuan adalah istri, yaitu imbangan dari suami. Sementara itu, kata “Bali” yang dikenakan pada kata “istri” merupakan identitas diri bahwa yang dimaksudkan adalah istri dari suami, yang orang Bali, yang beragama Hindu, dan yang bertempat tinggal di wilayah suatu banjar atau desa pakraman. Oleh karena itu yang dimaksudkan dengan keperempuanan perempuan Bali adalah hal-hal yang berkaitan dengan perempuan Bali, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi seorang istri di dalam sebuah keluarga yang beragama Hindu dan tinggal di wilayah banjar atau desa pakraman. Mengingat begitu luasnya hal-hal yang berkaitan dengan istri di dalam keluarga maka kajian ini dibatasi pada peranan istri di dalam keluarga terutama dalam kaitannya dengan peranannya sebagai pendidik pertama yang utama.
Peranan seperti dijelaskan oleh Berry (2003:105) adalah yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Gross, Mason, dan McEaschen (Berry, 2003:105-106) mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial, dan oleh karena itu dapat dikatakan bahwa peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma di dalam masyarakat. Maksudnya, seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh “masyarakat” di dalam pekerjaannya. Dengan kata lain bahwa peranan istri di dalam keluarga adalah tindakan yang harus dilakukannya sesuai dengan harapan-harapan dari keluarga itu sendiri dan masyarakat banjar atau desa pakraman (masyarakat Hindu di Bali). Harapan-harapan tersebut dapat berupa norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya yang digunakan bersama dalam kehidupan dan pengalaman empiris masyarakat Hindu di Bali.
Istri dalam agama Hindu terutama dalam teologi Hindu, juga disebut shakti dan dipanggil dengan banyak nama, antara Sawitri, Parwati, Laksmi, Saraswati, dan lain sebagainya. Dalam Siwatatwa misalnya, dikenal konsep Ardanariswari, yaitu simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa, sedangkan pradana disimbolkan dengan Dewi Uma, yang dalam Mahanirvana Tantra dijelaskan berstana di parang Windu. Dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin, sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminis. Tiada penciptaan, tanpa pertemuan kekuatan purusa dan pradana, karena itu penyatuan kedua unsur itu diyakini telah memberikan bayu bagi terciptanya mahluk. Makna simbolis dari konsep Ardanariswari itu menurut Triguna (2001) adalah kedudukan dan peranan wanita setara dan saling melengkapi dengan laki-laki, malahan dimuliakan. Tidak ada alasan serta argumentasi teologis yang menyatakan bahwa kedudukan wanita berada di bawah laki-laki. Itu sebabnya dalam berbagai sloka Hindu dapat ditemukan aspek yang menguatkan kedudukan wanita di antara laki-laki. Dalam Manawa Darma Sastra, III, 56 disebutkan sebagai berikut.
Yatra naryastumpujyante,
Ramante tatra dewatah,
Yatraitastu na pujyante,
Sarwastalah kriyah.
Artinya:
Di mana wanita dihormati,
Di sanalah para dewa-dewa merasa senang,
Tetapi di mana mereka tidak dihormati,
Tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.
Sloka tersebut, bukan saja menempatkan wanita pada posisi terhormat di dalam setiap keluarga, tetapi juga peranan penting wanita dalam upacara agama. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa di mana wanita dihormati, di sanalah wanita dengan sepenuh hati melaksanakan upacara agama, di mana upacara agama dilaksanakan dengan rasa senang dan sepenuh hati, di sanalah dewa-dewa merasa senang. Sebaliknya, di mana wanita tidak dihormati, di sanalah wanita dengan setengah hati melaksanakan upacara agama, maka tidak ada upacara suci yang akan berpahala. Jadi, wanita, dalam hal ini istri adalah (memiliki kodrat) pelaksana upacara agama, bahkan ini merupakan peranan terpentingnya. Kenyataannya, tidak ada upacara agama yang dapat diselenggarakan dengan sempurna tanpa kehadiran wanita, istri.
Dalam sloka Madawa Dharmasastra, III, 59 disebutkan peranan wanita atau istri sebagai berikut.
Tasmādetāh sada pūjya
bhūsānaccha danā sanaih
bhūti kāmair narair mityam
satkāresūtsa vesu ca.
Artinya:
Oleh karena itu, orang yang ingin sejahtera,
harus selalu menghormati wanita,
pada hari raya dengan memberi hadiah,
perhiasan, pakaian, dan makanan.

Dalam sloka tersebut dijelaskan bahwa wanita, yaitu istri adalah sumber kesejahteraan, juga termasuk kesejahteraan keluarga. Untuk menjaga kesejahteraan keluarga patutlah wanita dihormati dengan memberikan berbagai hadiah. Artinya, di mana wanita tersenangkan, di sanalah kesejahteraan dapat diwujudkan. Dengan kata lain, di mana istri merasa tersenangkan, di sanalah kesejahteraan keluarga bisa diwujudkan. Oleh karena itu senangkanlah wanita atau istri pada saat hari raya dengan memberikan hadiah sebab pada saat itu ia harus membuat persembahan, upacara agama. Jadi, apabila wanita atau istri senang maka dewapun senang karena segala upacara agama berpahala.
Peranan wanita atau istri sebagai pengawas, penopang, dan aset keluarga dijelaskan dalam Yajur-Veda, XIV, 22 sebagai berikut.
Yantri rad yantri - asi
Dhruva – asi dharitri.
Artinya:
Wanita adalah pengawas keluarga.
Dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain,
dan dia sendiri menjalankan aturan-aturan,
dia adalah modal (aset) untuk keluarga,
dia penopang keluarga.

Dalam Canakya Niti Sastra, V,9 dijelaskan bahwa peranan istri adalah memelihara rumah tangga seperti berikut.
Vittina raksyate dharmo
Vidyā yogina raksyate
Nirdanā rakșyate bhūpah
Sat striyārakșyate grham.
Artinya:
Agama dipelihara dengan harta,
Ilmu pengetahuan Veda dipelihara dengan memperaktekan Yama, Niyama, dan lain-lain cabang Yoga.
Raja dipelihara dengan kata-kata menyenangkan,
rumah tangga dipelihara oleh istri yang utama.

Selanjutnya, mengenai peranan istri di dalam keluarga sebagai pengurus rumah tangga, memberi keturunan, mencintai suami, dan hanya mengabdi kepada suami, seperti dijelaskan dalam sloka Hitta Upadesa, I:197 berikut di bawah ini.
Sā bhāryā yā grhe daksā
sā bhāryā yā prajāvati
sā bhāryā yā patiprāna
sā bhāryā yā pativrota.
Artinya:
Ia adalah seorang istri yang cekatan dalam mengurus rumah tangga, ia adalah seorang istri yang mudah memberikan keturunan, ia adalah seorang istri yang mencintai suami dan nyawanya sendiri, dan ia adalah seorang istri yang hanya mengabdi kepada suaminya saja.
Sejalan dengan sloka tersebut dalam pedoman Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (P.K.K) peranan istri dirumuskan ke dalam Panca Dharma Wanita, yaitu (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai istri dan penerus keturunan, (3) wanita sebagai istri dan pendidik anak dalam keluarga, (4) wanita sebagai istri dan pencari nafkah tambahan, (5) wanita sebagai istri anggota masyarakat dan warga negara.
Demikianlah peranan dan tanggung jawab istri sesuai dengan ajaran Hindu yang sekaligus pula merupakan harapan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Ini dapat diposisikan sebagai pedoman moral oleh setiap istri (Hindu), karena itu sebaiknya dikenangkan selalu di dalam hati, agar tidak hanyut dalam derasnya arus modernisasi dan globalisasi, yang tidak seluruhnya sesuai dengan norma dan nilai tradisi Bali yang lebih merupakan budaya orientalis.

2.3 Pemberdayaan Perempuan dan Peranan Istri Pada Era Posmodern
Modernisasi telah mendorong upaya pemberdayaan perempuan, emansipasi, dan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kaitan dengan pembangunan Tim Crescent (2003:54) menjelaskan bahwa terdapat perubahan paradigma mengenai isu gender. Awalnya pemikiran feminis yang memusatkan perhatian pada “perempuan” mengasumsikan bahwa munculnya permasalahan kaum perempuan disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan bersaing dengan laki-laki dalam pembangunan. Oleh karena itu harus dilakukan upaya untuk menghilangkan diskriminasi yang menghalangi usaha mendidik kaum perempuan. Pertimbangan aliran ini bertumpu pada modernisme. Pertama, menurut paham ini perempuan menjadi miskin karena mereka tidak produktif sehingga perlu diciptakan “proyek peningkatan pendapatan” bagi kaum perempuan. Kedua, pendekatan efesiensi, yakni pembangunan mengalami kegagalan karena perempuan tidak dilibatkan. Jadi, pelibatan itu demi efesiensi pembangunan. Melalui paradigma ini perempuan dilihat sebagai objek pembangunan. Dari sudut perempuan pendekatan seperti ini, juga lebih menekankan upaya pemenuhan kebutuhan praktis perempuan. Kebutuhan praktis yang dicirikan oleh kebutuhan yang dirasakan mendesak, muncul dari kondisi konkret, dan terkait dengan posisi perempuan dalam pembagian kerja menurut gender terutama berkenaan dengan peran reproduksi dan produksi, antara lain pendapatan, pangan, dan perumahan.
Pemerintah menyikapi upaya tersebut dengan mengeluarkan Rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan (RIPNAS PP) 2000-2004 (Tim Crescent, 2003:52—53). Dijelaskan bahwa pemberdayaan perempuan merupakan upaya meningkatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dimaksudkan agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. Kesetaraan gender merupakan kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahaman dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Artinya, RIPNAS PP tersebut telah memberikan landasan bagi pembangunan kemampuan dan konsep diri kaum perempuan dan keterlibatannya dalam kancah ekonomi, politik, dan sosial budaya, bahkan dalam keamanan dan pertahanan. Dengan demikian perempuan turut serta bermain dalam sektor publik sehingga menyisakan persoalan lain pada sektor domestik. Persoalan ini merupakan bahasan utama bagi segenap upaya pembinaan perempuan yang dilakukan oleh Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (P.K.K), baik di tingkat nasional maupun daerah.
Sehubungan dengan itu, Baso (Tim Crescent, 2003:53) mengatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah upaya sistematis untuk memastikan pencapaian kesejahteraan perempuan, yang diukur berdasarkan upaya pemberdayaan kelompok-kelompok perempuan terutama di jenjang grass root. Pemberdayaan tersebut difokuskan pada pendayagunaan semua potensi yang dimiliki, cara memelihara habitat sosial sekitarnya, budaya dan lingkungan, serta cara memahami dan membela hak-haknya sendiri. Langkah pertama dalam pemberdayaan kaum perempuan adalah meningkatkan kemampuan pribadi perempuan untuk bertindak sebagai individu. Hasil yang diharapkan adalah peningkatan status kesehatan reproduksi dan keluarga, serta peningkatan status perempuan dalam keluarga dan masyarakat, yang akan berdampak langsung pada peningkatan status sosial ekonomi keluarga dan masyarakat. Reproduksi terdiri atas reproduksi biologis (kegiatan seksual yang menghasilkan lahirnya generasi baru manusia) dan reproduksi sosial yang berkaitan dengan pemeliharaan dan sosialisasi misalnya, kegiatan pengasuhan anak dan semua anggota keluarga. Kemudian, upaya membangun harkat dan martabat perempuan dalam membangun identitas diri dan otonomi adalah melalui pendekatan paralel membangun sumber daya perempuan secara komprehensip dan holistik bersama-sama penyadaran peran gender yang setara. Dengan demikian peranan istri sebagai roh keluarga tidak pernah hilang dalam arus perubahan terutama dalam upaya mengejar kesetaraan gender.
Sebagai ilustrasi berkaitan dengan eksistensi kaum perempuan Bali pada sektor publik khususnya dalam bidang ekonomi berdasarkan hasil penelitian Astiti (Darma Putra, 2004:187) bahwa pada tahun 2000 tingkat angkatan kerja perempuan hanya mencapai 59,0 %, sedangkan laki-laki mencapai 75,9 %. Lapangan pekerjaan yang ditekuni di daerah perkotaan tampaknya perdagangan yang paling dominan, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Dalam hal ini kecenderungannya perempuan lebih dominan, yakni sebanyak 139.606 orang dan laki-laki 127.379 orang. Di daerah pedesaan lapangan pekerjaan utama adalah pertanian cenderung didominasi oleh laki-laki, yakni laki-laki sebanyak 264.534 orang dan perempuan sebanyak 209.962 orang. Pada prinsipnya data tersebut menunjukkan kesetaraan gender dalam bidang ekonomi dan pekerjaan yang ditekuni oleh kaum perempuan dan laki-laki, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Di samping itu Astiti[7], juga menemukan bahwa dalam sektor pekerjaan, baik di perkotaan maupun di pedesaan laki-laki mendominasi pada sektor formal, sedangkan perempuan cenderung mendominasi pada sektor informal. Ditegaskan bahwa yang menarik dari kedua sektor itu adalah pada sektor formal lebih banyak laki-laki bekerja dalam status sebagai buruh atau karyawan daripada perempuan, sedangkan pada sektor informal kebanyakan perempuan bekerja dalam status berusaha sendiri daripada laki-laki. Hal ini sebagaimana tampak dalam sebaran data berikut. Pada sektor formal di perkotaan perempuan sebesar 50,9 % dan laki-laki sebesar 61,7 %, sedangkan di pedesaan perempuan sebesar 17 % dan laki-laki sebesar 32 %. Pada sektor informal di perkotaan perempuan sebesar 49,1 % dan laki-laki sebesar 38,3 %, sedangkan di pedesaan perempuan sebesar 83,0 % dan laki-laki sebesar 64,8 %. Dalam bidang usaha sendiri di perkotaan perempuan sebesar 29,2 % dan laki-laki sebesar 24,6 %, sedangkan di pedesaan perempuan sebesar 31,0 % dan laki-laki sebesar 23,6 %. Ini menunjukkan bahwa perempuan tidak saja menekuni sektor domestik, tetapi telah mendominasi laki-laki pada sektor publik. Hal ini sejalan dengan penjelasan Triguna (2001) bahwa kenaikan jumlah wanita yang bekerja ini di samping disebabkan oleh pertambahan penduduk, juga disebabkan karena bertambahnya kesempatan kerja, baik secara ekonomis maupun sosiologis serta meluasnya keinginan bekerja di kalangan kaum wanita (Soemarjan dalam Kebayantini, 1998:3). Semakin sempitnya tanah pertanian ikut juga mendorong tenaga kerja wanita ke luar dari sektor pertanian, dan mereka masuk ke sektor publik seperti perdagangan, industri, dan jasa (Oey, 1984). Barang kali, juga dapat diduga bahwa sistem patriarki yang menempatkan perempuan sebagai yang subordinasi mendorong kaum perempuan memasuki sektor publik. Secara psikologis tindakan ini dapat menjadi suatu bentuk kompensasi dari perlakuan sosial budaya terhadap dirinya.
Dalam hubungannya dengan adat dan tradisi Bali Triguna (2001) menegaskan bahwa perubahan signifikan yang dihadapi adat dan tradisi pada tataran kognitif dan mental kebudayaan adalah pada satu sisi kuatnya orientasi kosmis-siklis Hinduistik yang menjadikan kokohnya pakem epistemologi bagi individu dalam perilaku sosial (unggah-ungguhing bahasa, soroh dan “kasta”) dan di sisi lain derasnya arus konsep historisitas linear dari masyarakat Barat yang hadir ke Bali melalui pariwisata yang mengusung nilai-nilai global. Kuatnya tradisi dalam menyelaraskan individu-masyarakat dengan ritme alam berhadapan langsung dengan budaya perhitungan eksak yang harus dicapai dalam periode waktu tanpa menghiraukan ritme alam, bahkan cenderung mengeksploitasi alam. Pengaruh langsung benturan budaya ini pada lapis budaya material, yaitu semakin konsumtifnya perilaku masyarakat Bali; dan pada lapis budaya sosial terjadinya toleransi — dan ini dituangkan dalam awig-awig — bagi anggota komunitas desa pakraman untuk bertempat tinggal di luar komunitas krama-nya. Perilaku konsumtif yang disebabkan oleh benturan budaya material Barat, telah menyebab kaum perempuan Bali masuk ke wilayah publik, baik sebagai pekerja penuh maupun pekerja paruh waktu. Triguna (2001) menegaskan terdapat beberapa alasan yang mendorong wanita bekerja di sektor publik, yaitu pertama, bagi golongan yang tidak mampu, wanita bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya (Rahardjo, 1985; Astrid, 1975). Kedua, bagi golongan menengah ke atas, wanita bekerja adalah untuk menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang mereka peroleh serta untuk mengembangkan dan mengaktualisasi diri (Ihromi, 1987). Apapun motif wanita bekerja, di dalamnya secara implisit senantiasa dijumpai adanya keinginan wanita akan pengakuan dan aktualisasi diri dalam lingkungan sosial dan kultural tertentu.
Oleh karena itu upaya pemberdayaan perempuan seperti yang dimaksudkan di atas sejalan dengan reposisi, reinterpretasi, dan revitalisasi peranan dan tanggung jawab istri di dalam keluarga pada era postmodern. Era ini merupakan upaya pencarian, penemuan, dan pembangunan kembali norma-norma dan nilai-nilai yang telah hilang pada era modern[8]. Modernisasi yang telah menelan momen penting dan berharga bagi keluarga, berupa makan bersama, bercengkrama, dan bercerita (masatua) misalnya, pada era modern tergantikan oleh tehnologi. Anak-anak terbiasa bermain dengan play station dalam ragam permainan berupa kemasan budaya Barat[9]. Malahan pusat-pusat permainan seperti itu berkembang pesat dan menjamur terutama di wilayah perkotaan. Selain itu, doktrin kesetaraan gender juga mendorong kaum perempuan menjelajahi wilayah publik, walaupun merasa sedikit asing karena masih dipengaruhi oleh paham patriarki. Akibatnya, kasih sayang ibu telah pula tergantikan oleh dua atau tiga lembar mawar yang dialirkan dari seorang pembantu rumah tangga. Sama-sama perempuan, tetapi yang satu ibu dan yang lain bukan ibu, kedua jenis perempuan ini ternyata di mata hati anak sama sekali berbeda. Akhirnya, anak benar-benar terasing dalam lingkungan (keluarga)-nya sendiri, bahkan terasing dari lingkungan budayanya. Bukan hanya terasing, bahkan anak-anak nyaris hilang dari tradisi keluarga, budaya, dan agama yang telah diwarisi secara turun-temurun. Norma dan nilai yang telah membentuk tatanan sosial budaya dan kepribadian komunitasnya, tempat di mana ia dibesarkan. Tradisi macapat, makidung, bahkan masekar rare adalah barang aneh bagi anak-anak, tetapi beruntung pasantian cukup mendapat perhatian pemerintah daerah. Ini merupakan isyarat bahwa ibu harus kembali menjadi penutur dan penyanyi bagi anak-anaknya.
Pendidikan anak yang diserahkan kepada sekolah ternyata telah menyebabkan ibu merasa lepas dari peranan dan tanggung jawabnya sebagai pendidik utama di dalam keluarga sehingga kekurangannya dicarikan kepada guru-guru les[10]. Realitasnya, ikatan emosi keluarga harus diagendakan di antara hari raya dan hari-hari libur sebab bagi ibu hari adalah kerja dan kerja demi karier. Ibu mengejar rasio (keseimbangan) antara pendapatan pada sektor publik dan pengeluaran pada sektor domestik, karena itu rupiah menjadi ukuran dalam segala sikap dan perilaku. Terjadilah jual-beli permanen di dalam keluarga[11] karena permintaan dan kebutuhan anak dan anggota keluarga lainnya selalu dipandang dari sudut rupiah. Keluarga ternyata telah berubah menjadi pasar yang di dalamnya sarat dengan permintaan dan pemenuhan, seperti antara konsumen dan produsen. Di sadari ataupun tidak antara ibu dan anak serta ayah di dalam keluarga telah menciptakan sistem sosial yang sarat kemunafikan. Masing-masing bersikap dan berperilaku hanya sekadar untuk saling menyenangkan hati yang lain, walaupun di dalam hati menangis karena kesepian. Keluarga yang semula sejuk lama-kelamaan menjadi kering dan panas tanpa spirit keibuan. Akhirnya, ibu tidak sempat mendengar teriakan anaknya, “Ibu…, kembalilah, pulanglah, berikan aku asi”. Rupanya ambisi modernisme telah merasuki jiwa ibu sekaligus telah membuatnya mabuk dalam pengejaran kesetaraan gender sehingga bayi yang berusia tiga bulan itu dititipkan di panti asuhan (anak). Pembentukan konsep diri yang jauh di luar diri juga telah menyebabkan ibu kehilangan hak otonomnya. “Hak asuh”, ibu ternyata telah melupakannya. Kegusaran ini sebagaimana juga dirasakan oleh Elshtain (Tong, 1998:54) mengamati bahwa usaha feminis liberal untuk mereduksi “fungsi istri” dan “fungsi ibu” sebagai sekadar “peran” adalah keliru. Elshtain menegaskan sebagai berikut.
Mothering bukanlah sebuah “peran” yang sejajar dengan menjadi seorang pegawai administrasi, seorang ilmuwan, atau anggota angkatan udara. Mothering adalah kegiatan yang rumit, kaya, ambivalen, menyenangkan, yang merupakan suatu hal yang biologis, alamiah, sosial, simbolis, dan emosional. Mothering mengandung tuntutan emosional dan seksual yang kaya dan dalam. Kecenderungan yang meremehkan perbedaan antara, katakanlah, mothering dan memiliki pekerjaan, tidak saja mengeringkan hubungan privat kita dari kepentingannya, tetapi juga menyederhanakan secara berlebihan apa yang dapat dan seharusnya dilakukan untuk mengubah segala hal berkenaan dengan perempuan, yang seringkali didorong untuk berubah peran untuk dapat menyelesaikan masalah.

Modernisasi telah menyebabkan anak kehilangan ibunya sehingga ia harus mencari dan menemukan kembali (ibunya yang telah berada dalam kebanggaan kesetaraan gender) berdasarkan tuntunan pemikiran-pemikiran postmodernisme. Ibu sebaiknya[12] menyadari secara kodrati memiliki kuasa reproduksi dan memelihara anak sebagai kewajiban kemanusiaan. Ideologi-ideologi Pendidikan mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berkemanusiaan, seperti yang diajarkan dalam paham pendidikan humanistik. Mengingat belajar dan pembelajaran apapun bentuknya lebih merupakan alat bagi pendidikan humanistik tersebut. Oleh karena itu dari ibu bijak, yang tahu diri, pendidik utama, sebagaimana diamanatkan dalam sloka-sloka di atas mengalir nasib manusia yang berperikemanusiaan, yaitu manusia yang memahami peradaban bangsanya sendiri. Manusia yang memahami diri sendiri, mengaktualisasikan diri, dan merealiasikan diri dalam lingkungannya secara optimal[13]. Sejalan dengan peranan dan tanggung jawab istri terhadap bangsa dan negara seperti dalam Panca Dharma Wanita, yaitu sebagai pendamping suami, penerus keturunan, pendidik anak, pencari nafkah tambahan, dan anggota masyarakat dan warga negara. Dengan demikian ayah atau suami tidak perlu kehilangan istri. Mereka bisa bersama-sama membina dan membangun rumah tangga sesuai dengan norma-norma agama. Seperti diungkapkan oleh Triguna (2001:6) bahwa seorang ibu rumah tangga yang sedang menyusui anaknya, sementara di lain waktu mencuci pakaian suami, melayani kebutuhan seks suami, menghidangkan makanan kesukaan keluarga ataupun membuat anyaman kain untuk hiasan rumah tangga, acapkali tidak dianggap bekerja, karena ia tidak memperoleh upah dari jenis pekerjaan itu. Pekerjaan jenis itu adalah pekerjaan domestik dan oleh masyarakat telah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kewajiban seorang wanita atau kodrat wanita. Kenyataannya istri juga merupakan tiang keluarga dalam mengajegkan nilai-nilai luhur budaya dan agama (Hindu). Tidak ada upacara agama yang dapat dilakukan dengan sempurna di dalam keluarga tanpa kehadiran istri, karena itu dalam sastra agama dikatakan bahwa wanita, ibu, istri adalah simbol kesuburan dan kesejahteraan. Malahan dikatakan sebuah keluarga tidak dapat disebut keluarga, apabila tidak ada istri di dalamnya, bahkan ibu dikatakan merupakan asal dan tujuan manusia. Ibu yang melahirkan, memelihara, dan setelah meninggal kembali kepada ibu (prthiwi)[14].

3. Simpulan
Posmodern merupakan paham yang memberi ruang bagi pembelaan terhadap peranan-peranan istri yang tergerus dalam modernisme untuk dapat dikembalikan kepada posisinya semula. Setidak-tidaknya mengembalikan kesadaran istri agar tahu diri kembali kepada habitat dan tradisi lingkungan kodratinya, yakni makhluk bereproduksi. Peranan melahirkan, memelihara, mengasuh, dan mendidik anak bukan tanggung jawab yang dapat diwakilkan kepada pihak manapun sehingga sekolah dan guru les lebih merupakan pelengkap daripada yang seharusnya dilakukan oleh seorang ibu atau istri. Sebagaimana pula peranan pendamping suami, bukan peranan yang dapat diwakilkan oleh perempuan lain. Pada ibulah sesungguhnya letak nasib anak manusia, bukan pada lembaga-lembaga yang mengemban tanggung jawab formal. Anak, kemanapun perginya pada ahirnya, kembali kepada ibunya, bukan ke sekolah-sekolah karena lembaga formal seperti sekolah menyelesaikan peranannya dalam batas waktu tertentu. Sebaliknya, seorang ibu tidak bisa menyelesaikan peranan dan tanggung jawabnya kepada anaknya, walaupun dalam bentuk yang selalu berlainan, tetapi makna esensinya tetap sama. Anak selamanya adalah anak bagi ibunya. Ini sebabnya dalam tulisan ini seperti terkesan mengabaikan peranan istri yang lainnya, bahkan peranan utamanya kepada suami.
Fiksi-fenomenal yang ditampilkan hanya semata-mata dimaksudkan sebagai peringatan bagi ibu agar segera menyadari posisi diri dan tahu diri berada di antara suami dan anak di tengah-tengah keluarga. Dengan demikian tulisan ini bukan berupa resep, yang lansung dapat digunakan dan langsung menyembuhkan, melainkan berupa himbauan, sebuah penyingkapan. Seperti kata “peranan” itu sendiri berarti harapan-harapan pihak lain yang dikenakan kepada individu (dalam hal ini istri) berkaitan dengan pekerjaan. Mengenai yang terbaik menurut diri istri di antara diri-diri yang lain, baik diri yang di dalam keluarga maupun masyarakat, penyesuaiannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab istri sesuai dengan sloka-sloka agama. Mengingat istri adalah anti-tesis dari suami yang adalah tesis dan anak adalah sentisis. Dialektika ini menyebabkan tidak ada resep apapun untuk istri yang berlaku sempurna bagi semua istri dalam setiap bangsa dan setiap zaman. Oleh karena itu dengan menempatkan peranan istri sebagai yang final maka otomatis membunuh gagasan posmodern terutama dekonstruksinya Derrida, yang selalu membuka peluang bagi sebuah penafsiran tentang peranan istri. Dan inilah sebuah penyingkapan.


Daftar Bacaan

Al-Fayyadl, Muhammad, Derrida, Yogyakarta: LkiS

Atmadja, Nengah Bawa, 2005, “Bali Pada Era Globalisasi: Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya” (hasil penelitian – studi kasus pada berbagai desa), Singaraja:-

Best, Steven & Douglas Kellner, 2003, Teori Postmodern: Interogasi Kritis, Malang: Boyan Publishing.

Berry, David, 2003, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Budiningsih, C. Asri, 2005, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Reneka Cipta.

Darmayasa, I Made, 1995, Canakya Niti Sastra, Denpasar: yayasan Dharma Narada.

Endraswara, Suwardi, 2003, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yagjakarta: Gajah Mada Univeersity Press.

Fakih, Mansour, 2001, Runtuhnya Teori Pembangunjan dan Globalisasi, Yogyakarta:Insist Press.

Giddens, Anthony, Daniel Bell, Michel Forse, etc, 2004, Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Yogyakarta: Kerasi Wacana.

Ndraha, Taliziduhu, 2005, Teori Budaya Organisasi, Jakarta: Renika Cipta.

O’niel, William F., 2002, Ideologi-ideologi Pendidikan, Yagyakarta: Pustaka Pelajar.

Putnam Tong, Rosemarie, 1998, Feminist Thoucht (terjemahan), Yogyakarta: Jalasutra.

Putra, Darma I Nyoman (Editor), 2004, Bali: Menuju Jagadhita Aneka Perspektif, Denpasar: BP.

Ratna, Nyoman Kutha, 2005, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ritzer, George, 2003, Teori Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sarapung, Elga, Mascruchah, M. Imam Aziz (Editor), 1999, Agama Dan Kesehatan, Reproduksi, Jakarta:Yayasan Kesejahteraan Fatayat.

Somvir, 2001, 108 Mutiara Veda: Untuk Kehidupan Sehari-hari, Suravaya: Paramita.

Suhanadji – Waspodo, 2004, Modernisasi Dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif Global, Malang: Insan Cendekia.

Sura, I Gede, 2001, Siwatattwa, Denpasar: Pemerintah Daerah Bali.

Tim Crescent, 2003, Menuju Masyarakat Mandiri: Pengembangan Model Sistem Keterjaminan Sosial, Jakarta: Gramedia.

Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Gitamedia Press.

Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, 1999, “Strategi Adaptasi Budaya” (bahan Modul Kebudayaan).

___________, 2001, ”Wanita Bali: Kesetiaan, Harmoni, dan Himpitan Kultural” (makalah: di sampaikan di Denpasar)

___________, 2002, “Reinterpretasi dan Reposisi Adat dan Tradisi Dalam Menghadapi Era Globalisasi” (makalah: disampaikan dalam Dialog Budaya Regional di Yogjakarta).






[1] Al-Fayyadl (2005) mengisahkan modernisme dan metafisika Barat seperti menara Babel yang mahatinggi dan mahaluas menyamai keakbaran Tuhan, yang harus dihancurkan karena Tuhan tidak berkenan sehingga “bahasa berserakan dan manusia tidak memahaminya” antara yang satu dan yang lain. Ditegaskan bahwa modernisme merupakan perayaan kejatuhan modernisme dan berakhirnya metafisika Barat.
[2] Atmaja (2005) menegaskan bahwa warga masyarakat acapkali hanya bisa merasakan bahwa sistem sosiokultural yang melingkupi dan/atau yang mereka ciptakan tahu-tahu sudah berubah. Mereka tidak tahu secara pasti, gejala ini terus berlangsung sehingga tidak berlebihan jika dikatakan perubahan sosial merupakan bagian integral dari kehidupan suatu masyarakat.
[3] Lebih lanjut dapat ditelusuri dalam Manfred B. Streger, 2002, Globalisme: Bangkitnya Ideologi Pasar, Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Ditegaskan bahwa perdebatan tentang globalisasi terjadi pada dua arena berbeda yang saling berhubungan, yaitu satu pertempuran terjadi di dalam dinding sempit akademis, sedangkan pertempuran lain terjadi di arena wacana publik.
[4] Teori lainnya yang dimaksud adalah phallogocentric writing, androtext, gyonotezt, gynocritic, cyborg, dan lain-lainnya. Di samping itu sebagaimana dikutip dari Sardar dan Loon (dalam Barker, 2004:233-236) dari perspektif studi kultural ada lima politik budaya feminis, antara lain feminis liberal, feminis radikal, feminis sosialis dan Marxis, feminis postmodern, dan feminis kilit hitam dan non-Barat.
[5] Dapat dibandingkan dengan pendapat Tumenggung, dalam Kebudayaan (para) Konsumen (dalam Sutrisno, 2005:261) bahwa era pascamodern adalah tingkatan perkembangan sosial yang melampaui modernitas. Disebutkan beberapa ciri-ciri kebudayaan dan masyarakat pascamodern, antara lain budaya dan media massa makin penting dan kuat pengaruhnya dalam hidup bermasyarakat; hidup ekonomi dan sosial le bih berputar sekitar konsumsi simbol-simbol dan gaya hidup ketimbang produksi barang melalui kerja industri; ide-ide tentang realitas dan representasinya menjadi problematis; citra (image) dan ruang menggantikan narasi dan sejarah sebagai prinrip-prinsip yang menata produksi budaya;tampilan-tampilan yang bergaya semakin mengemuka; tata kota berbasis konsumsi mendominasi perkotaan berpusat pada jasa hiburan, seperti mall, taman hiburan, dan pemukiman tematis; dan hibriditas menggantikan batas-batas ketat dan klasifikasi.
[6] Lebih jauh dapat dilihat dalam Steven Best & Douglas Kellner, 2003, Teori Post Modern: Iterogasi Kritis, Malang: Boyan Publishing.
[7] Di samping itu Astiti, juga menjelaskan jumlah perempuan dalam keanggotaan DPRD se-Bali sebanyak 8 orang (Badung 2 orang, Gianyar 2 orang, Klungkung 2 orang, Karangasem 1 orang, dan Buleleng 1 orang) dan 1 orang di DPRD Propinsi Bali.
[8] Dapat ditelusuri lebih lanjut dalam George Ritzer, 2003, Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Di uraikan pula beberapa pemikir postmodern Perancis, seperti Derrida, Deleuze, Gauttari, Lyotard, Lacan dan Virilio, sedangkan perspektif Eropa lainnya diketengahkan pemikiran Giddens, Beck, Habermas, Bauman, dan Harvey.
[9] Atmadja (2005:16) menjelaskan sistem pendidikan bermedia dongeng yang mentradisi pada masyarakat Bali semakin langka karena digantikan oleh TV. Lebih lanjut dijelaskan mengenai damapak pada fisik-motorik adalah aktivitas fisik anak berkurang, terjadi gangguan pada otot mata, anak sulit diatur,dan kurang terampil.
[10] Sebagaimana juga dirasakan oleh Fuad Hasan (1991) dalam bukunya yang berjudul Ibu, Jakarta: Balai Pustaka.
[11] Dapat dibandingkan dengan teori pertukaran sosial dalam sosiologi oleh H. Spencer yang menyatakan bahwa perilaku sosial dapat disamakan dengan ekonomi sederhana, yaitu seseorang berperilaku selalu menginginkan imbalan yang menguntungkan dan cenderung menghindari perilaku yang merugikan. Oleh karena itu setiap perilaku yang muncul selalu mengharapkan ganjaran dan menghindari hukuman.
[12] Kata “sebaiknya” digunakan berdasarkan sloka-sloka agama Hindu dan Panca Dharma Wanita seperti dijelaskan di atas. Dalam hal ini kata “sebaiknya” digunakan dimaksudkan sebagai pedomanan moral bagi perempuan, istri, dan atau ibu.
[13] Lebih lanjut dapat dilihat dalam Budiningsih, 2005, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Reneka Cipta terutama halaman 67-79. Tentang ideologi pendidikan dapat ditelusuri dalam William F. On’iel, 2002, Ideologi-ideologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[14] Mengenai hal ini dapat ditelusuri di dalam kitab-kitab Veda, dalam hal ini mengacu pada Somvir, 2001, 108 Mutiara Veda: Untuk Kehidupan Sehari-hari, Subaya: Paramita. Khusus mengenai menjelasan ibu prthivi diuraikan halaman 236-241.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...