Pendidikan

CATUR ASRAMA:
SISTEM PENDIDIKAN HINDU

Oleh
I Wayan Sukarma

Abstrak
Pendidikan bukan hanya sekadar membentuk manusia terampil dalam melakukan pekerjaan tertentu, tetapi juga membina dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan agar menjadi manusia yang matang dan dewasa, yaitu manusiawi. Maksudnya adalah manusia yang bertaqwa dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi luhur, bernalar dan cerdas, mampu berkomunikasi sosial dan global, sehat dan mandiri. Untuk itu pendidikan memiliki tanggung jawab atas terciptanya suasana belajar dan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan segenap kompetensi peserta didik, agar berguna untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk itu catur asrama dapat ditawarkan sebagai model sistem pendidikan (Hindu) sepanjang hayat.

Pendahuluan
Pendidikan umumnya dipahami sebagai suatu kegiatan mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Akan tetapi, para praktisi pendidikan di lembaga pendidikan ataupun sekolah formal banyak yang tidak sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam suatu pergumulan politik dan ideologi melalui arena pendidikan. Pendidikan bagaikan sepotong ranting rapuh terombang-ambing mengapung di atas samudera kebudayaan yang mahaluas. Kadang-kadang ditarik oleh gelombang idiologi dibawa ke tengah samudera dan kembali lagi didorong ke luar menuju pantai harapan bersama gulungan-gulungan ombak kepentingan yang memang tidak pernah surut dari masa ke masa. Ambivalensi dan ambigusitas menjadi karakternya sehingga eguana pendidikan hidup dalam beraneka warna aliran, paham, idiologi, bahkan kepentingan. Oleh karena itu Fakih (dalam O’neil, 2002) memberikan pemetaan aliran paradigma pendidikan yang digunakan oleh Henry Giroux and Aronowitz (1985) yang membagi ideologi pendidikan menjadi tiga aliran, yaitu konservative, liberal, dan kritis.
Pertama, paradigma konservative memandang bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari, dan sudah merupakan ketentuan sejarah, bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah hal yang harus diperjuangkan karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik paradigma konservative dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Menurutnya hanya Tuhan-lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna di balik itu semua. Artinya, kaum konservative klasik menganggap masyarakat tidak memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Jadi, pendidikan hanya menjadi hamba kekuasaan.
Kedua, paradigma liberal berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, terutama persoalan politik dan ekonomi, tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan persolan tersebut. Artinya, tugas pendidikan tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Walaupun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan politik dan ekonomi di luar dunia pendidikan, yaitu dengan jalan memecahkan masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan seperti perlunya membangun ruang belajar dan fasilitas baru, laboratorium dengan peralatan dan perlengkapan yang canggih, dan berbagai usaha untuk menyehatkan rasio guru-murid. Akar dari pendidikan ini adalah liberalisme, yaitu suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan melindungi hak, kebebasan, dan mengidentifikasi problem, serta upaya perubahan sosial secara instrumental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti bahwa manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal; dan individualis yang menganggap bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.
Ketiga, paradigma kritis memandang bahwa pendidikan merupakan arena perjuangan politik. Paradigma ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Dalam perspektif ini, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekontruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Dalam hal ini pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi paradigma konservative pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sedangkan bagi paradigma liberal pendidikan bertujuan untuk perubahan moderat, tetapi paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik dan ekonomi masyarakat.
Walaupun demikian, pada hakikatnya pendidikan yang diperlukan manusia adalah pendidikan yang dapat mengantarkan manusia menjadi lebih manusiawi. Seperti banyak dijelaskan dalam filsafat pendidikan bahwa pendidikan pada hakikatnya memberikan wawasan agar manusia mengerti dan memahami dirinya sebagai manusia yang berkesadaran, bermoral, dan berkemanusiaan. Dengan demikian manusia dapat menjadi dirinya, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain dan lingkungannya sehingga mampu hidup berdampingan secara harmonis dengan sesamanya, bahkan dengan segala makhluk. Inilah yang disebut manusia matang dan dewasa yang mampu bertanggung jawab, baik bagi dirinya sendiri maupun terhadap orang lain dan lingkungannya. Seperti dinyatakan dalam tujuan pendidikan nasional agar peserta didik menjadi manusia mandiri dalam mewujudkan masyarakat madani. Inilah hakikat tujuan pendidikan dan bukan sekadar hanya menciptakan manusia pekerja bagi pengembangan industri dan memperkuat kapitalisme serta membangun mental borjuis. Oleh karena itu dalam Hindu diajarkan catur asrama sebagai tahapan perkembangan kehidupan dan catur purusa artha sebagai tujuan kehidupan manusia.
Keterpaduan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan dapat diamati dari sistem sosial kemasyarakatan orang Bali dan tujuan hidupnya. Seperti ditegaskan oleh Takwin (2003) bahwa kebudayaan dan agama Hindu di Bali tampak begitu menyatu dalam kehidupan masyarakat sebagai adat istiadat atau tradisi sehingga tidak mudah membedakan antara Hindu sebagai agama dan kebudayaan. Dalam hal ini tampak dalam jalinan antara catur asrama sebagai tahapan kehidupan dan tri hita karana sebagai landasan sistem sosial kemasyarakatan serta tujuan hidup yang berdasarkan pada catur purusa artha. Pada kenyataan dalam pengalaman empiris kehidupan masyarakat Hindu di Bali telah terwujud keselarasan antara harmoni catur asrama dan tri hita karana dengan realisasi catur purusa artha, baik dalam pikiran dan perkataan maupun tindakan. Keharmonisan ini tampak mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari sebagai yadnya.
Dengan demikian pada prinsipnya terdapat keselarasan antara hakikat tujuan pendidikan nasional dan ajaran catur asrama. Akan tetapi, masyarakat Hindu dan khususnya masyarakat Hindu di Bali belum memahami jalinan dan keselarasan tersebut sehingga cenderung diabaikan. Oleh karena itu menarik untuk didiskusikan, bagaimanakah model pendidikan Hindu menurut catur asrama? Dan bagaimanakah implementasinya dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali? Akan tetapi, dengan pertimbangan keterbatasan yang ada maka kajian ini hanya akan mendiskusikan persoalan yang pertama saja, sedangkan persoalan yang kedua disisakan bagi peneliti lain.

4.1 Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa dalam konsepsi pendidikan paling tidak mengandung lima unsur penting, yaitu adanya (1) usaha sadar dan terencana; (2) suasana belajar dan proses pembelajaran; (3) tujuan mengembangkan potensi peserta didik; (4) fokus potensi yang dikembangkan (kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan; dan (5) arah pengembangan potensi (kepada yang diperlukan oleh peserta didik, masyarakat, bangsa, dan negara).
Dari kelima unsur pendidikan tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan yang hendak diselenggarakan adalah kegiatan yang diadakan dengan disengaja dalam suasana belajar; dengan sebuah sistem pendidikan yang berlaku secara nasional; dan dengan prinsip pengembangan potensi manusia Indonesia sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti ditegaskan pada bab I, pasal 1 bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Kemudian pendidikan nasional diselenggarakan dengan sebuah sistem yang berlaku secara nasional yang disebut Sistem Pendidikan Nasional. Dalam bab dan pasal yang sama dijelaskan bahwa Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mecapai tujuan pendidikan nasional.
Dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional dijelaskan pada bab II, pasal 2 dan 3 sebagai berikut. Dalam bab II, pasal 2 ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya, pada bab II, pasal 3 ditegaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi perserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Sejalan dengan hal itu Mulyasa (2003:21) merumuskan tujuan pendidikan nasional secara mikro sebagai berikut.
(1) Membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia).
(3) Memiliki nalar (maju, cakap, cerdas, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab).
(4) Berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar hukum, kooperatif, demokratis).
(5) Berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri.
Untuk mencapai tujuan tersebut dalam bab III, pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut.
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Prinsip-prinsip tersebut dilaksanakan melalui satuan pendidikan yang pada bab I, pasal 1 dijelaskan bahwa satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Sebaliknya, jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan ditegaskan kembali pada bab VI, pasal 13, 14, 15, dan 16.

Catur Asrama: Sistem Pendidikan Hindu
Asrama menurut Gandhi (1981) berarti suatu kehidupan bermasyarakat dari orang-orang beragama. Menurut agama Hindu bahwa kehidupan manusia dilalui dalam empat tahapan yang disebut catur asrama, yaitu brahmacari, grehasta, wanaprasta, dan bhiksuka. Menurut Panitya Tujuh Belas (1986:135) bahwa catur asrama berarti empat tahapan masa kehidupan manusia. Empat tahapan masa kehidupan manusia, yaitu brahmacari adalah masa belajar; grehasta adalah masa pembinaan keluarga dan bermasyarakat; wanaprasta adalah masa perjuangan hidup yang ditujukan pada pengendalian diri, mendalami kitab suci, dan mengusahakan dharma; sedangkan sanyasa atau bhiksuka adalah masa kehidupan rohaniah dan seluruh kehidupan ditujukan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Tahapan-tahapan perkembangan kehidupan manusia dalam masyarakat Hindu di Bali ditandai dengan melaksanakan upacara keagamaan. Upacara keagamaan untuk menyucikan kehidupan manusia disebut manusa yadnya, salah satu dari jenis panca yadnya. Upacara ini dilaksanakan sejak janin dalam kandungan hingga lahir dan melangsungkan perkawinan setelah dewasa. Menurut Putra (1998:33) bahwa manusa yajna merupakan pendidikan, pemeliharaan, dan penyucian secara spiritual terhadap seorang anak sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Artinya, proses pendidikan tidak hanya berlangsung setelah anak itu lahir, tetapi telah berlangsung dan dapat diberikan sejak anak masih dalam kandungan sebagai pendidikan pranatal. Seperti ditegaskan oleh Sudharta (1993:2), bahkan pembentukan watak itu sudah dimulai ketika ibu bapak mengadakan senggama yang harus dilakukan dengan tujuan mendapat anak yang baik.
Putra (1998:35) menjelaskan bahwa upacara-upacara dalam manusa yajna dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik yang disebabkan oleh kedua orang tua. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara di dalam kandungan, kelahiran, pemberian nama, gelang, dan perhiasan lainnya sampai pada upacara penggungtingan rambut pertama. Kedua, upacara penyucian terhadap hal-hal yang kurang baik disebabkan oleh perbuatan sendiri semasa hidup yang lampau dan sekarang. Yang tergolong dalam upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir (otonan), meningkat dewasa, potong gigi, dan perkawinan. Artinya, upacara manusa yadnya yang dilaksanakan dalam masyarakat Hindu di Bali dimaksudkan sebagai peringatan terhadap masa-masa peralihan dalam perkembangan kehidupan manusia. Masa-masa peralihan ini secara psikologis merupakan masa transisi yang bersifat kritis sehingga memiliki kecenderungan mengalihkan arah perkembangan kehidupan ke arah yang kontra produktif.
Berdasarkan tahapan kehidupan manusia Hindu dalam hubunganya dengan upacara manusa yadnya maka dapat dipahami bahwa kehidupan manusia berkembang ke arah yang semakin sempurna. Mengingat hal ini tidak jauh berbeda dengan hakikat dari penyelenggaraan pendidikan nasional seperti telah diuraikan di atas maka dapat dikatakan bahwa catur asrama adalah model dan sistem pendidikan Hindu. Dalam hal ini, catur asrama menawarkan model dan sistem pendidikan Hindu sebagai konsepsi pendidikan sepanjang hayat. Untuk itu catur asrama tidak dapat dilepaskan dari catur purusa artha, yang adalah tujuan kehidupan menurut Hindu, yaitu dharma (kebajikan), artha (harta), kama (keinginan), dan moksa (kebahagiaan).
Catur asrama sebagai model dan sistem pendidikan Hindu atau konsepsi pendidikan sepanjang hayat dapat disajikan seperti berikut.

(1) Brahmacari
Brahmacari menurut Sudharta (2001:49) ialah tingkatan hidup manusia pada waktu sedang mengejar ilmu pengetahuan atau ilmu ketuhanan. Brahma berarti ilmu pengetahuan atau ilmu ketuhanan; dan cara artinya tingkah laku dalam mengejar. Masa belajar menurut sistem pendidikan nasional dijelaskan bahwa masa belajar pada jenjang pendidikan dasar adalah selama 9 tahun, yaitu terdiri atas 6 tahun di Sekolah Dasar dan 3 tahun di Sekolah Menegah Pertama; selama 3 tahun pada jenjang pendidikan menengah; dan selama 4 tahun pada tingkat pendidikan tinggi. Jadi, masa belajar sampai menamatkan pendidikan tinggi adalah selama 16 tahun. Apabila usia awal memasuki pendidikan di sekolah dasar mulai dari usia 7 tahun maka masa belajar seluruhnya menjadi 23 tahun. Dengan pertimbangan ini (dengan mengabaikan masa pendidikan pranatal dan pendidikan prasekolah) maka masa brahmacari dapat ditentukan lebih kurang sampai pada 25 tahun.
Masa ini merupakan masa untuk mengembangkan dan membangun diri, yaitu membentuk identitas dan jati diri. Oleh karena itu kehidupan manusia pada masa ini diwarnai oleh ativitas dan kreativitas belajar dan belajar sebagai upaya untuk membangun landasan kehidupan yang kuat. Landasan ini berupa keseimbangan kehidupan antara pisik dan psikis, yaitu kematangan dan kewasaan. Landasan ini dapat disebut dengan dharma (kebajikan). Untuk membangun landasan yang utuh dan kukuh diperlukan ilmu-ilmu gelar urip atau guna vidya.
Bila tiga kerangka agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara dapat dimaknai sebagai standar kompetensi dan tiga ranah esensi pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor maka isi kurikulum pendidikan sebagai standar kompetensi masa brahmacari dapat ditawarkan dalam rumusan sebagai berikut.
UMUR (TAHUN)
ASPEK/ESENSI PENDIDIKAN HINDU
STANDAR KOMPETENSI
7 – 13
TATTWA
Peserta didik dapat mengenal dasar-dasar konsepsi ketuhanan dan nila-nilai yang terkadung di dalamnya.

SUSILA
Peserta didik dapat mengenal dasar-dasar konsepsi etika dan estetika serta makna yang terkandung di dalamnya.

ACARA
Peserta didik dapat mengenal dasar-dasar kebiasaan kehidupan indvidual dan sosial serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
13 – 16
TATTWA
Peserta didik bisa mendalami dasar-dasar konsepsi ketuhanan dan nila-nilai yang terkadung di dalamnya.

SUSILA
Peserta didik bisa mendalami dasar-dasar konsepsi etika dan estetika serta makna yang terkandung di dalamnya

ACARA
Peserta didik bisa mendalami dasar-dasar kebiasaan kehidupan indvidual dan sosial serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
16 – 19
TATTWA
Peserta didik mampu menghayati dasar-dasar konsepsi ketuhanan dan nila-nilai yang terkadung di dalamnya.

SUSILA
Peserta didik mampu menghayati dasar-dasar konsepsi etika dan estetika serta makna yang terkandung di dalamnya

ACARA
Peserta didik mampu menghayati dasar-dasar kebiasaan kehidupan indvidual dan sosial serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
19 – 23
TATTWA
Peserta didik mengamalkan dasar-dasar konsepsi ketuhanan dan nila-nilai yang terkadung di dalamnya.

SUSILA
Peserta didik mengamalkan dasar-dasar konsepsi etika dan estetika serta makna yang terkandung di dalamnya.

ACARA
Peserta didik mengamalkan dasar-dasar kebiasaan kehidupan indvidual dan sosial serta kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
23 – 25
PENGEMBANGAN DIRI
Proses pembiasaan dan pengembangan diri di dalam dunia kerja.

(2) Grehastha
Grehastha menurut Sudharta (2001:49) adalah tingkat kehidupan pada waktu membina rumah tangga, yaitu dengan kawin atau melahirkan keturunan. Grha berarti rumah atau rumah tangga, dan astha artinya berdiri atau mendirikan, membina. Dengan mengandaikan bahwa masa brahmacari adalah usia 0 – 25 tahun maka awal masa grehastha adalah mulai dari usia 25 tahun; dengan mengandaikan bahwa seorang pegawai menjalankan masa pensiun setelah mencapai usia 60 tahun maka dapat ditentukan bahwa akhir masa grehastha adalah 60 tahun; dengan demikian maka masa grehastha adalah dari usia 25 sampai pada usia 60 tahun.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa masa ini merupakan masa yang penuh dengan aktivitas dan kreativitas (kehidupan) dalam berbagai dimensi dan skalanya. Oleh karena itu pada masa ini perlu ditekankan penanaman tentang pengertian dan pemahaman tentang tata kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan wawasan lingkungan. Mengingat dalam lingkungan tersebut eksistensi manusia mulai diperjuangkan, baik melalui kewajiban maupun pengabdian hidup. Untuk membangun kehidupan grehasta seperti itu maka diperlukan pendidikan yang berlandaskan pada ilmu-ilmu gelar urip atau guna vidya berdasarkan pada dharma (kewajiban). Dalam hal ini dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar kompetensi masa grehasta seperti berikut.
UMUR (TAHUN)
ASPEK/ESENSI PENDIDIKAN HINDU
STANDAR KOMPETENSI
25 – 60
TATTWA
Peserta didik mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan konsepsi ketuhanan dan nila-nilai yang terkadung di dalamnya.

SUSILA
Peserta didik mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan konsepsi etika dan estetika serta makna yang terkandung di dalamnya.

ACARA
Peserta didik mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan kebiasaan-kebiasaan kehidupan indvidual, sosial, dan spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

(3) Wanaprastha
Wanaprastha menurut Sudharta (2001:49) ialah tingkat hidup persiapan untuk lebih meningkatkan hidup kerohanian dan perlahan-lahan membebaskan diri dari ikatan keduniawian. Ia tetap mengabdi kepada masyarakat hanya tidak demikian melibatkan diri sebagai pada waktu di tingkat grshasta. Memang kalau menurut istilah “wanaprastha” berarti hidup mengasingkan diri di hutan, tetapi yang dimaksudkan ialah untuk mendapatkan suasana jiwa yang tidak dipengaruhi oleh gangguan keperluan hidup sehari-hari yang bersifat duniawi sehingga dapat memberikan tuntunan secara bebas kepada mereka yang sedang aktif dalam tingkat grehastha.
Dengan mengandaikan bahwa akhir masa grehastha pada usia 60 tahun maka dapat ditentukan bahwa awal masa wanaprastha adalah pada usia 60 tahun. Mengingat tingkat kematangan dan kedewasaan manusia dalam ajaran kesucian tidak dapat ditentukan secara gradual maka kapan berakhirnya masa wanaprastha, juga tidak dapat ditentukan dengan pasti. Di samping itu ajaran kesucian berkaitan erat, baik dengan etika-moralitas maupun ajaran ketuhanan yang merupakan ajaran tanpa batas maka akhir masa wanaprastha, juga tidak dapat ditentukan. Ini juga berarti bahwa awal dan akhir masa sanyasin atau bhiksuka tidak dapat ditentukan, karena itu maka mengenai batasan usia pada masa ini tidak dibahas dalam kajian ini. Oleh karena itu pada masa ini sudah diperlukan ilmu-ilmu gelar pati dan atau apara vidya. Dalam hal ini dharma dimaknai sebagai kebenaran.
Berdasarkan pengertian tersebu di atas maka dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar kompetensi masa wanaprastha sebagai berikut.
UMUR (TAHUN)
ASPEK/ESENSI PENDIDIKAN HINDU
STANDAR KOMPETENSI
60 ke atas
TATTWA
Peserta didik mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan konsepsi ketuhanan dan mendalami nila-nilai yang terkadung di dalamnya.

SUSILA
Peserta didik mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan konsepsi etika dan estetika serta mendalami makna yang terkandung di dalamnya.

ACARA
Peserta didik mengenal, memahami, menghayati, dan mengamalkan kebiasaan-kebiasan kehidupan indvidual, sosial, dan spiritual serta mendalami arti dan makannya.


(4) Bhiksuka
Bhiksuka (sannyasin) menurut Sudharta (2001:49) ialah tingkat kehidupan yang lepas dari ikatan keduaniawian dan hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan menyebarkan ajaran-ajaran kesucian. Arti kata “bhiksuka” ialah peminta-peminta, tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak boleh mempunyai apa-apa dalam pengabdiannya pada Sang Hyang Widhi dan untuk makanannyapun ditanggung oleh murid-murid atau pengikutnya atau umat sendiri. Selanjutnya, kata “sannyasin” artinya meniggalkan keduniawian dan hanya mengabdi kepada Sang Hyang Widhi dengan memperluas ajaran-ajaran kesucian (nisparigraha).
Berdasarkan pengertian tersebut maka pada masa tahapan ini yang diperlukan hanya ilmu-ilmu tentang gelar pati dan atau apara vidya, brahmavidya. Oleh karena itu dapat ditawarkan rumusan isi kurikulum pendidikan sebagai standar kopetensi pada masa bhiksuka sebagai berikut.
UMUR (TAHUN)
ASPEK/ESENSI PENDIDIKAN HINDU
STANDAR KOMPETENSI
Lanjutan dari masa wanaprastha
TATTWA
Konsepsi ketuhanan dan nila-nilai yang terkadung di dalamnya telah menginternalisasi atau memeribadi pada diri peserta didik.

SUSILA
Konsepsi etika dan estetika serta makna yang terkandung di dalamnya telah menginternalisasi atau memeruibadi pada disi peserta didik.

ACARA
Kebiasaan-kebiasan kehidupan indvidual, sosial, dan spiritual telah terintegritas sebagai kepribadian peserta didik.

4. Simpulan
Berdasarkan paparan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa model sistem pendidikan Hindu seperti dirumuskan oleh Suka Yasa (koleksi pribadi, 2004) sebagai berikut.
JENJANG PENDIDIKAN
TUJUAN PENDIDIKAN
ESENSI PENDIDIKAN
JENIS ILMU
PEMBELAJARAN
BRARHMACARI
(<25 tahun)
DHARMA ARTHA KAMA MOKSA
TATTWA SUSILA ACARA
GUNA VIDYA
PENGENALAN & PENANAMAN KONSEP
GREHASTHA
(25 – 60 tahun)
DHARMA ARTHA KAMA MOKSA
TATTWA SUSILA ACARA
GUNA KARMA
PEMAHAMAN & PENGHAYATAN KONSEP
WANAPRASTHA
(>60 tahun)
DHARMA ARTHA KAMA MOKSA
TATTWA SUSILA ACARA
BRAHMAVIDYA
PENDALAMAN DAN PELAKSANAAN KONSEP
BHIKSUKA
(lanjutan)
DHARMA ARTHA KAMA MOKSA
TATTWA SUSILA ACARA
BRAHMAVIDYA
KONSEP TERINTEGRASI SEBAGAI KEPRIBADIAN


Daftar Pustaka

Gandhi, M.K., 1981, Kehidupan Ashram: dari hari ke hari, Yaysan Bali Santi Sena.

Kasturi. N. 1981. Sathyam Siwam Sundaram. Jakarta: Yayasan Sri Sathya Sai Indonesia.

Panitya Tujuh Belas. 1986. Pedoman Sederhana Pelaksanaan Agama Hindu dalam masa Pembangunan. Jakarta: Yayasan Merta Sari.

O’nil, 2003, Ideologi-ideologi Pendidikan, Jakarta: Gramedia.

Sudharta, Tjok Rai, Ida Bagus Oka Punia Atmaja. 2001. Upadesa tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Takwin, Bagus, 2003, Filsafat Timur Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur, Yogyakarta :Jalasutra.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...