Pemurnian Tradisi Dalam Komunitas Adat

Oleh
I Wayan Sukarma
(SARAD, NO. 109 MEI 2009)

Dalam budaya tradisional, masa lalu dan simbol dihargai karena berisi dan bertanggung jawab atas pengalaman berbagai generasi. Dalam komunitas adat (desa pakraman), orientasi masa lalu tampak melalui kebutuhan atas penanggal Bali dalam menggumuli iklim. Penghargaan terhadap simbol tampak melalui pemuliaan Kahyangan Tiga, yang menjadi inspirasi bagi penataan sistem sosial mereka dalam koridor Tri Hita Karana. Ini mencerminkan kecintaan dan ketakjuban mereka kepada Tuhan, mengutamakan nilai kekeluargaan dan solidaritas sosial, serta ketundukan kepada alam dan mencoba hidup selaras dengan alam.
Dalam menciptakan keselarasan ini tidak bisa dihindari terjadinya dinamisasi tatanan nilai, sebagaimana Giddens mengafirmasi bahwa tradisi adalah cara untuk mengintegrasikan monitoring tindakan secara refleksif dengan penataan ruang dan waktu dalam komunitas. Dalam konteks ini refleksivitas mendefinisikan karakteristik dari semua tindakan manusia yang dalam praktik sosial terus-menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi terbaru yang paling praktis sebagai ciri dinamis dari modernitas.
Dalam komunitas adat masa lalu dan simbol adalah sarana untuk menangani ruang dan waktu yang memasukkan segala pengalaman dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang distrukturkan oleh praktik-praktik sosial. Agama sebagai inti dari sistem nilai yang dipraktikkan menjadi norma dalam dunia sosial sehingga kekuasaan Tri Murti yang secara teologis dipahami sebagai konsepsi kehadiran, secara kontekstual menjadi siklus strukturisasi, destrukturisasi, dan restrukturisasi tatanan nilai. Tindakan ini bukan rangkaian kumpulan interaksi dan nalar, tetapi konsistensi monitoring perilaku dan konteksnya yang ditujukan pada keteraturan dan keseimbangan sosial. Ini sebabnya tatanan nilai dalam komunitas adat senantiasa dalam proses perubahan, karena itu tradisi tidak sepenuhnya statis. Generasi baru harus menemukan ulang tradisinya ketika hendak mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya karena pewarisan nilai dalam suatu komunitas tidak dimungkinkan tanpa melalui proses pembelajaran. Pengalaman belajar inilah upaya merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan agar komunitas adat selalu selaras dengan nilai agamanya.
Proses pembelajaran ini menunjukkan bahwa tradisi tidak melawan perubahan sehingga ketika terjadi perubahan dalam konteks temporal ataupun spasial, itu bisa saja suatu bentuk yang bermakna. Akan tetapi interpretasi terhadap makna dari bentuk-bentuk perubahan sosial tidak pernah final, karena adaptasi nilai dalam praktik sosial dalam komunitas adat tidak serta merta sejalan dengan pengetahuan mereka tentang kehidupan sosial. Perluasan pemahaman krama desa pakraman tentang dunia sosialnya mungkin bisa menghasilkan penjelasan yang lebih mencerahkan tentang institusi mereka secerah modernitas membangun relasi ideologi dalam komunitas adat karena refleksivitas kehidupan sosial modern telah menjadikannya masuk akal. Oleh karena itu menjadi rasional, ketika Menteri Paskah Suzetta mengharapkan Gubernur Bali agar memberikan perhatian lebih luas bagi pembangunan pura karena “pura di samping untuk kepentingan ibadah umat Hindu juga memiliki daya tarik pariwisata” (Bali Post, 7 April 2009: hal 2). Di sini logosentrisme telah sukses menjalankan proses rasionalisasi dalam komunitas adat melalui negosiasi ide-ide modernitas sehingga terjadi konsensus bahwa “pura sebagai tempat ibadah” sekaligus bisa diterima bahwa “pura menjadi daya tarik pariwisata”. Dengan demikian dalam komunitas adat telah terjadi pasokan pengetahuan tentang kehidupan sosial ke dalam logika tindakan sosial sehingga menghasilkan peningkatan rasionalitas perilaku dalam kaitannya dengan kebutuhan spesifik.
Kondisi tersebut merupakan implikasi yang diyakini oleh warisan pemikiran Pencerahan sebagai tujuan. Ini terjadi karena penggunaan pengetahuan tidak homogen, perubahan tatanan nilai inheren dalam inovasi dan orientasi kognitif yang terus berubah, dan tidak ada pengetahuan kehidupan sosial yang mencakup semua situasi. Apabila pengetahuan krama desa pakraman tentang dunia sosialnya semakin baik maka cakupan konsekuensi yang tidak dikehendaki mungkin akan semakin terbatas, namun refleksivitas kehidupan sosial modern menghambat kemungkinan ini. Untuk itu diperlukan pemurnian tradisi, seperti yang dikonsepsikan dalam Tri Murti dan Tri Hita Karana; dan dengannya Krama Desa Pakraman memahami bahwa Mereka turut serta dalam membangun watak Alam dan sebaliknya, juga Alam berpartisipasi dalam membangun karakter Mereka. Untuk mewujudkan eksistensi Dirinya, Mereka selalu merujuk pada Realitas Tertinggi, Tuhan.




Impian Untuk Desa Pakraman

I Wayan Sukarma
(SARAD, NO. 110 JUNI 2009)

Impian bukanlah harapan kosong sekadar pemenuhan kepuasan sementara, melainkan kejelasan visi-lokal dalam dunia-global demi lokalitas, kebertahanan desa pakraman, kebalian orang Bali. Ini upaya pengembangan wawasan budaya lokal, baik melalui lokalisasi maupun glokalisasi dalam gelombang globaliasi. Semakin jelas visi-lokal, semakin efektif proses asimilasi dan akomodasi, dan semakin efektif respons budaya lokal terhadap pengaruh budaya global. Visi-lokal merupakan kejelasan sistem nilai yang dapat memacu produktivitas tindakan sosial orang Bali. Paras-paros misalnya, cara arif orang Bali membangun integrasi dan integritas sosialnya, mungkin dapat dijadikan pondasi konstruksi visi-lokal Bali. Akan tetapi modernisasi menghambat kemungkinan itu, karena pengaruhnya telah memacu frekuensi permainan moral sehingga modal sosial-budaya yang menjadi pondasi moralitas desa pakraman semakin goyah.
Pengaruh modernisasi tampak melalui pergeseran epistemologi sosial dalam masyarakat, yaitu dari ‘yang baik adalah yang benar’ ke ‘yang benar adalah yang baik’. Masyarakat tradisional beranggapan, apa yang baik menurut mereka, itulah yang benar bagi mereka. Sebaliknya, masyarakat modern beranggapan, apa yang benar menurut mereka, itulah yang baik bagi mereka (kebaikan tidak dapat mendahului kebenaran). Ukuran kebenaran adalah akal dan rasio, ’yang benar’ adalah ’yang masuk akal’, ’yang logis-rasional’ sebaliknya, yang tidak logis dan irasional adalah salah. Artinya, masyarakat tradisional lebih mengedepankan moralitas daripada rasionalitas, sedangkan masyarakat modern lebih mengedepankan rasionalitas daripada moralitas. Walaupun ini bukan soal pilihan, tetapi dapat diduga di antara moralitas dan rasionalitas ini, desa pakraman mengalami anomali dalam kebingungan berkepanjangan. Kebingungan rasionalitas menyebabkan ketersesatan moralitas, karena itu desa pakraman mengalami kesulitan mewujudkan sukerta: parhyangan, pawongan, dan palemahan.
Kebingungan dan ketersesatan ini merupakan proses minimalisme moral, pengerutan dan pengerdilan, bahkan pendangkalan makna moralitas yang tereduksi hingga ke dalam bentuknya yang paling rendah, seperti lenyapnya rasa malu, hilangnya rasa tanggung jawab, serta absurditas dan ironi sosial. Akibatnya, ukuran moral dalam masyarakat menjadi sangat relatif sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang tersembunyi di baliknya. Relativitas sifat moral ini akan menimbulkan kegamangan praktik sosial dan semakin longgarnya mekanisme kontrol sosial, yang pada gilirannya dapat memicu konflik sosial di desa pakraman dalam berbagai variasi dan variannya. Mengingat di dalam ruang, di tempat moralitas sedang dipermainkan, ruang itu tidak akan menjadi ekosistem yang mampu memberi ruang tumbuh perubahan peradaban.
Di sini desa pakraman memerlukan figur-figur yang sanggup menjadi penjaga pondasi moralitas dengan bersandar pada rasionalitas. Mungkin relevan untuk dipertimbangkan, menjaga keseimbangan antara sistemasi dan diskursus desa pakraman. Sistemasi, yakni awig-awig dan pararem desa diupayakan mampu merangkum tindakan kreatif krama desa sehingga dapat memberikan pengalaman rasionalitas. Sebaliknya, diskursus, yakni paruman desa diupayakan berlangsung dalam bahasa krama sehingga dapat memberikan pengalaman moralitas. ”Bahasa Ibu” inilah wujud kesadaran kolektif krama desa karena dengannya mereka saling memahami. Dalam rumusan Habermas dikatakan, ”bahasa” sebagai tempat pengalaman rasionalitas karena rasionalitas tertanam dalam struktur bahasa sendiri. Oleh karenanya ketika masuk dalam paruman desa, peserta paruman dapat mengajukan klaim bahwa pembicaraan itu jelas, benar, jujur, dan betul. Artinya, peserta paruman akan mengungkapkan dengan tepat yang dimaksudkan, yang dikatakan adalah yang mau diungkapkan, tidak berbohong, dan mengatakan yang wajar dikatakan.
Ini kesempatan krama desa belajar berkomunikasi secara rasional dengan mengambil sikap verbal terhadap pengalamannya. Paling tidak, mereka belajar mengatakan alam luar yang sesuai dengannya, mereka belajar mengatakan yang wajar dikatakan terhadap masyarakat, mereka belajar jujur mengungkapkan alam batinnya melalui bahasa yang jelas, dan mereka belajar membuktikan klaim itu dalam sebuah pergaulan. Artinya, rasionalitas adalah disposisi krama desa yang mampu berbahasa dan bertindak, yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungannya dan keharusan untuk seperlunya mempertanggungjawabkan perkataannya. Ini menegaskan, visi-lokal berisi kemampuan berbahasa ”ibu” dan bertindak menurut tradisi dan krama desa memperolehnya melalui interaksi dan kebebasannya. Ini gagasan tentang reinterpretasi dan reposisi Bahasa Bali, sebuah impian untuk menjadikannya ”Ibu Moralitas dan Rasionalitas Desa Pakraman”, penuntun pikiran, kata-kata, dan tindakan kepada sebuah kesadaran: ”Desa ring Raga”.



Ketika Wajah Bali Sudah Keriput

I Wayan Sukarma
(SARAD, NO. 111 JULI 2009)

Zaman kemajuan telah mendemontrasikan semakin tingginya upaya saling mendominasi dan saling menundukkan antara bidang kehidupan, bahkan antara mereka cenderung saling memperalat. Ini akibat dari semakin intensifnya komunikasi dan interaksi yang membuat batas ruang dan waktu menjadi tidak terlalu relevan. Sekat-sekat yang secara spasial dan temporal memisahkan manusia semakin melentur, bahkan kabur sehingga identitas begitu cair, bahkan seolah-olah semua telah lebur tanpa tanda pengenal. Batas-batas wilayah, kebangsaan, kesukuan, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, dan lain-lainnya semakin samar. Dalam semesta yang tanpa kejelasan identitas membuat klaim-klaim kebenaran, kebijaksanaan, bahkan permainan moralitas menjadi tidak begitu jelas sumber dan cara-cara mengurainya. Dapat diduga, ketakjelasan semacam ini merupakan sumber kesulitan dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali. Namun begitu jelas sarat ’harapan’.
RTRWP Bali memang mengandung banyak harapan, bila tidak begitu maka wacananya tidak akan meriah, semeriah harapan koran lokal. Bukan hanya itu, bahkan Bachrul Hakim (Sinar Harapan, 2 Juni 2009:hal.15) mengharapkan, “pariwisata Bali bisa terus tumbuh tanpa mengorbankan adat, tradisi, dan lingkungan alam Bali”; dan berdoa, “mudah-mudahan Sang (Hyang) Widhi Wasa melindungi umatNya di Bali, agar wajah dan jati diri Bali yang asli tetap terjaga”. Harapan dan doa ini merupakan bagian penutup atas deskripsinya tentang dinamika pariwisata Bali sejak 1999 hingga 2007 dengan titik tolak perkembangan pariwisata masa 1970-an dalam bungkus Wajah Asli Bali Semakin Pudar. Lebih ekstrem lagi, bahkan Ida Pandita Rsi Agung Dwija Bharadwaja (Bali Post, 13 Juni 2009:hal.6) meramalkan, bila Tidak Hati-hati Bali Bisa Binasa.
Gejala penuaan wajah Bali memang digambarkan dalam ’harapan itu’ melalui pesan, ’jangan korbankan adat, tradisi, dan alam Bali demi pariwisata’. Sepertinya pesan ini hendak menyampaikan perbedaaan posisi pariwisata dengan adat, tradisi, dan alam Bali. Perbedaan ini juga hendak menjelaskan korelasi antara mereka, tetapi kecenderungannya adat, tradisi, dan alam Bali pada posisi dikorbankan. Perhatikan fenomena alih fungsi lahan dan penggunaan air untuk pariwisata; longgarnya praktik dan kontrol sosial di desa pakraman; dan tingginya diferensiasi nilai. Apabila kondisi ini dibiarkan terlalu lama maka pada suatu saat wajah Bali akan keriput dan tidak lagi dikenali. Ketika Wajah Bali Sudah Keriput: adat mengkerut, tradisi menciut, dan alam tandus (sandyakalaning Bali?). Ini saatnya alam Bali tidak lagi mampu menyusui, adat dan tradisi tanpa visi – toh orang Bali tidak makan dolar – siapakah yang harus perduli?
Inilah isi ‘doa itu’, yang harus perduli menjaga wajah dan jati diri Bali yang asli adalah umat Hyang Widhi Wasa di Bali. Ini anjuran agar krama desa lebih menguatkan sradha-bhakti, sebagaimana Tri Murti memberikan landasan ideal pada desa pakraman. Brahma adalah titik asal-mula kehidupan, Siwa adalah titik tujuan kehidupan, dan Wisnu adalah garis eksistensi kehidupan. Pemaknaan sradha-bhakti kepada Hyang Widhi Wasa dalam dunia metafisis-idealistis memang semestinya dapat mencerahi kehidupan dunia fisis-materialistis yang terkapling-kapling berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan manusia. Jadi, sradha-bhakti bukanlah entitas yang lepas-terpisah dari dunia nyata, tetapi bertali-kelindan dengan bidang-bidang kehidupan lainnya.
Sradha-bhakti inilah yang menuntun pikiran dan tindakan kreatif krama desa sekaligus melindungi kebebasannya. Dengannya Tri Hita Karana dan Tri Mandala menjadi sumber moral dalam memahami kehendak Ruang dan Wilayah Desa Pakraman – Jati Diri Bali. Di sini agama Hindu lebih fungsional dalam kehidupan setidak-tidaknya, dapat menjadi sumber penjelasan terakhir tentang masalah fundamental kehidupan karena memberikan dasar-komitmen dan tujuan kehidupan; menjadi sumber ketenangan dan kedamaian karena memberi kepastian hidup; menjadi pembenaran atas praktik-praktik kehidupan dalam masyarakat karena memberi azas-azas moralitas; serta meneguhkan tata nilai dan memuaskan kerinduan yang paling mendalam karena memberi pengalaman mengenai keimanan. Pada gilirannya bidang-bidang kehidupan yang semula dibatasi sekat-sekat spasial dan temporal semakin diresapi sradha-bhakti sehingga kehidupan kembali pada garis eksistensinya; dan sudah semestinya ’dari mana semuanya lahir, dengannya semua bertahan hidup, dan kepadanya semua kembali’. Dengan demikian Desa Pakraman tetap dan selalu menjadi Desa bagi Pakramannya. Inilah Asli: Wajah Bali.







Dharma Untuk Desa Pakraman

I Wayan Sukarma
(SARAD, NO. 112 AGUSTUS 2009)

Komitmen Wali Kota Denpasar Rai Mantra dalam melestarikan dan menjaga eksistensi desa pakraman tidak diragukan lagi karena gelontorkan 875 juta rupiah untuk 35 desa pakraman (Bali Post, 1 Juli 2009:hal.3). Bisa jadi komitmen ini merupakan suatu bentuk keprihatinan terhadap semakin tergerusnya nilai-nilai tradisional yang disebabkan oleh semakin derasnya pengaruh nilai-nilai modern di desa pakraman. Prihatin karena desa pakraman yang sesungguhnya media ekspresi religiusitas umat Hindu Bali telah menjadi medan ekspresi nilai-nilai nonreligius dan permainan moral. Keprihatinan ini merupakan himbauan moral agar orang Bali semakin perduli kepada desanya, apabila tidak maka desa pakraman tinggallah kenangan. Pertanyaannya, bagaimanakah caranya agar orang Bali (krama desa) dapat mengambil tanggung jawab tersebut di tangannya sendiri? Kalau ditelusuri yang paling wajar memikul tugas ini adalah pemimpin desa pakraman, yaitu prajuru desa.
Mungkin ada prajuru desa yang melontarkan balik pertanyaan, memangnya siapa saya? Emangnya gue pikirin? Mereka bukannya hendak menyangkal tanggung jawab, tetapi mungkin persoalan-persoalan desa pakraman telah memangsanya, mungkin permainan moralnya sendiri telah menelannya mentah-mentah. Menjadi relevan ungkapan (Hardono Hadi (2007:103) dalam Kepemimpinan Religius Transformatif), “bagaimana saya dapat mengentaskan orang lain dari benaman lumpur kehidupan ini, kalau saya sendiri terpasung di dalamnya”. Akan tetapi takdir warga desa bukanlah melarikan diri dari ketidaksempurnaan, karena itu jauh lebih baik mencoba daripada terbenam dan menjadi lumpur itu sendiri. Persoalan desa pakraman memang menjamah seluas jangkauan globalisasi dan sedalam batin warga desa. Nilai-nilai nonreligius begitu perkasa menjelajahi sendi-sendi kehidupan pakraman, bahkan telah mewabah ke dalam sanubari warga desa. Menghadapi persoalan ini tidak terlalu mudah kalau hanya mengandalkan kemampuan prajuru. Prajuru desa perlu mengadakan temu-wirasa, berbagi-hati dengan mereka yang sama-sama merasa prihatin.
Berbagi keprihatinan tidak dapat dihindari karena desa pakraman memang bukan tempat yang memuaskan dan sifat warga desa memang tidak begitu ideal. Ketidaksempurnaan ini bukan kondisi yang harus diratapi ataupun dosa yang harus dimanipulasi, tetapi digunakan untuk memahami keterbatasan. Kesadaran akan keterbatasan dapat menjadi pintu masuk ke dalam ketidakterbatasan untuk memahami indahnya kebebasan. Warga desa memang tidak perlu mencari kebebasan di dunia lain, karena dunia seperti desa pakraman adalah tempat bagi kebebasan. Kebebasan untuk memahami perbedaan cara-cara kehadiran dalam dunia yang tidak seragam karena alam telah membentuk banyak bahasa, agama, dan tradisi sosial yang berbeda. Perbedaan inilah tugas warga desa untuk menciptakan tatanan desa pakraman dan menemukan jalan hidup bersama. Dengannya desa pakraman menjadi tempat persemakmuran bersama melalui kerja sama untuk mencapai martabat dan kehidupan mulia bagi semua.
Kemuliaan yang ditawarkan dalam menjaga eksistensi desa pakraman adalah prinsip dasar dharma. Dharma (yang menurut Radhakrishnan (2003) dalam Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat) sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan catur purusha artha (empat tujuan kehidupan), catur varna (empat kelompok lapisan sosial), dan catur asrama (empat tingkatan kehidupan). Dharma sebagai realisasi kehormatan spiritualitas manusiawi, kehidupan sosial warga desa tempat mengenal hak-hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan berkembang dalam persahabatan. Tempat warga desa melatih diri mencapai suasana kesempurnaan dan kemurnian spiritual menuju perkembangan kondisi sosial yang dapat mengantarkannya kepada kehidupan material, moral, dan intelektual sesuai dengan kebaikan dan kedamaian semua orang.
Akhirnya harus diterima, warga desa memang manusia religius sehingga desa pakraman memang lingkungan tempat memperoleh pengetahuan agama, merefleksikan kesadaran agama, dan mempraktikkan agama. Tuhan sebagai yang esensial dalam agama dipahami sebagai Pengada di titik asal-mula, Pemelihara pada sepanjang garis-eksistensi, dan Pelebur di titik tujuan-kehidupan. Kehidupan yang dihiasi indahnya nilai-nilai ketuhanan akan memberikan kegembiraan keberagamaan dalam dunia sosial yang diselimuti moral. Kegembiraan semacam ini tidak menyisakan ruang bagi tindakan munafik dan hipokrit, seperti mereka yang berpengetahuan agama tanpa berkesadaran agama, yang menebar ketakutan, kengerian, kehancuran, dan kemusnahan ras manusia. Jadi, warga desa harus mengambil tanggung jawab sradha-bhaktinya di tangannya sendiri tanpa menunggu teladan prajuru karena merealisasikan ketuhanan merupakan tujuan hidup pribadi. Inilah Dharma Desa Pakraman.



Kalau Prajuru Desa Pakraman Kesurupan

I Wayan Sukarma
(SARAD, NO. 113 SEPTEMBER 2009)

Bumi mungkin akan hancur oleh kelalaian hukumnya sendiri misalnya, tabrakan dengan planet lain, kerusakan dalam perutnya (seperti semburan lumpur di Porong, Sidoarjo), sirnanya sinar matahari atau mungkin oleh kejahatan alam lainnya. Akan tetapi ini hanya kemungkinan yang sangat kecil, dibandingkan dengan kemungkinan yang ditimbulkan oleh kejahatan moral. Bumi akan musnah lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh perbuatan manusia, bahkan kebodohannya yang memuncak pada kebingungan (sad ripu) dapat memusnahkan dirinya sendiri. Perbuatan immoral yang bercenderungan destruktif rupanya, lebih besar kemungkinannya disebabkan oleh kebingungan. Kebingungan yang membuat manusia mengalami frustasi berkepanjangan dalam kelahiran berulang-ulang. Malahan untuk meyakinkan Arjuna yang sedang kebingungan dan putus asa, Krishna harus memeras sebuah penjelasan tentang struktur keseluruhan jagad-raya dan kultur seluruh kehidupan menjadi tujuh ratus seloka. Artinya, keseluruhan struktur Bali dan seluruh kultur kehidupan manusia Bali akan musnah, lebih besar karena perbuatan orang Bali sendiri daripada bencana alam. Bali akan sirna, bila manusia Bali kebingungan dan putus asa.
Manusia bingung memilih antara ’yang benar’ dan ’yang salah’ atau antara ’yang baik’ dan ’yang buruk’, suatu kelaziman yang disodorkan dalam dunia sosial. Walaupun suatu kelaziman, melakukan penilaian moral memang bukan perkara mudah. ’Benar-salah’ ataupun ’baik-buruk’ bukanlah peristiwa ’hitam-putih’ karena relativitas dunia sosial tidak memutlakkan nilai. Dari sifat nilai inilah penyesatan logika dan permainan moral dimulai karena pengesahan etis memang melewati begitu banyak pertimbangan ’yang mesti’ dan ’yang harus’ diperhatikan. Pertimbangan berdasarkan dimensi Rasionalitas dan Moralitas ini mungkin merupakan kesulitan yang memaksanya kebingungan dan mendesaknya hingga putus asa. Kondisi ini dapat saja mendorongnya lebih mengikuti sifat liarnya (untuk melakukan pemutarbalikan logika dan moral) daripada kebebasannya (untuk mengakui agama, kebudayaan, hukum, tradisi sosial, dan adatnya). Dapat diduga, prajuru seperti ini yang lebih banyak dijumpai Windia sehingga menurutnya, ke depan diperlukan prajuru yang tidak pongah dan tidak bengkung (Bali Post, 13 Agustus 2009:hal.19). Mungkin dapat diusulkan, juga pada masa depan diperlukan prajuru yang tidak pangkah.
Prajuru pangkah biasanya, melakukan apa yang tidak dapat dilakukan (diskompetensi). Misalnya, bertindak menyimpang, bahkan melampaui kekuasaan, kewenangan, dan otoritas yang melekat pada kata ”prajuru”. Prajuru pongah umumnya, melakukan apa ’yang tidak semestinya’ dan ’yang tidak seharusnya’ dilakukan (immoral). Misalnya, berbuat menyimpang, bahkan bertentangan dengan spirit awig-awig dan pararem desa. Prajuru yang pangkah dan pongah inilah lazimnya bengkung, kira-kira ’tidak tahu diri’ alias ’tanpa kesadaran’ atau ’kesurupan’. Prajuru kesurupan akan (bengkung dengan pangkah dan pongah) memaksakan kehendak menggantikan kebebasan berpikir dengan kepatuhan membabibuta, menggantikan perkembangan moral dengan kebungkaman moral, bahkan menggantikan rasa kemanusiaan dengan arogansi dan keegoisan. Akibatnya, kondisi moralitas menjadi abnormal, dikoyak-koyak oleh kesalahpahaman, kebencian, dan perselisihan; bahkan kehidupan dipenuhi dengan suasana ketidakpastian, kecurigaan, dan ketakutan. Warga desa mengalami ketegangan mental, bahkan hidup dalam kecemasan dan kekecewaan. Akhirnya, desa pakraman pun berada dalam kondisi kesurupan, tidak ada lagi agama dan satu adat yang bisa diterima oleh semua warga desa. Boleh jadi, ini sandyakalaning keseluruhan struktur dan seluruh kultur kehidupan desa pakraman, bila tidak etis disebut pralaya.
Warga desa yang berpikir jernih tentu tidak membiarkan desa pakramannya ‘busuk’ hanya karena prajuru kesurupan yang ‘korup’ dalam merumuskan dan mempraktikkan awig-awig dan pararem desa. Mereka yang tafakur bisa merasakan desa pakraman yang ditinggalinya bukan sebuah kekeliruan dan kesangsian, tempat kebingunan dan putus asa. Melainkan arena damai bagi berseminya rasa kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan, seperti pencapaian luhur generasi masa lalu. Pada masa depan desa pakraman lebih memerlukan prajuru berpengetahuan dan berkesadaran agama Hindu. Bukan hanya mengenai sradha dan bhakti, tetapi juga prajuru yang secara nyata mempraktikkan susila dalam perbuatannya. Prajuru susila menerima agama Hindu menjadi sistem keyakinan dan inti sistem nilai dalam rekontruksi sosial desa pakraman. Membiarkan dirinya disusup-lingkupi sradha-bhakti serta menerima susila menjadi pendorong dan pengontrol perbuatan dan tindakan warga desa. Merelakan agama Hindu menjadi orientasi dan motivasi kehidupan warga desa untuk membantu mereka mengenal dan menghayati sesuatu yang suci dan sakral. Melalui pengalaman keberagamaan dan penghayatan kepada Hyang Widhi, mereka memiliki kepekaan rasa untuk memahami indahnya mencintai sesama dan mengasihi sarwa prani. Cinta-kasih ini membangun visi mereka tentang keselamatan Jagad Bali dan selalu eling: “manusia menderita akibat dirinya sendiri”.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...