Moriltas

DASAR-DASAR MORALITAS DALAM BHAGAVADGITA


I Wayan Sukarma

Abastrak
Moralitas merupakan istilah yang lebih halus dan lebih abstrak dari istilah moral, yaitu norma-norma etis yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku, baik oleh individu maupun sekelompok individu atau masyarakat. Pedoman dasar-dasar moral ini banyak diuraikan dalam Bhagavadgita terutama dalam bentuk himbauan terhadap kemauan manusia, yaitu yang terindentifikasi sebagai sifat-sifat dewata dan raksasa (daiva sampad dan asura sampad). Artinya, dasar-dasar moralitas yang diajarkan dalam Bhagavadgita adalah berupa anjuran atau perintah sehingga harus dilakukan, sedangkan larangan merupakan perbuatan yang tidak boleh atau tidak pantas dilakukan. Walaupun pada prinsipnya dibedakan dua jenis perbuatan, yaitu yang baik dan yang buruk, tetapi perbuatan yang buruk dinyatakan sebagai bagian integral, yang tak terpisahkan dari perbuatan yang baik.

Kata Kunci: Moralitas dan Bhagavadgita.


1. Pendahuluan
Perhatian terhadap irama kehidupan antarmanusia menurut Sarkar (2001:16) telah membawa manusia ke arah ajaran humanisme, dan hal tersebut membuat mereka menjadi seorang humanis. Ini menjadi tujuan pendidikan humaniora seperti dikatakan Soenarja (dalam Hartoko, 1985:52) bahwa pendidikan humaniora tidak mengarah pada kejuruan dan keterampilan tertentu, tetapi menuju pada pendewasaan pribadi sebagai manusia dan warga negara, bukannya sebagai pekerja pada bidang tertentu. Pendidikan humaniora memusatkan perhatian pada kelangsungan dan perkembangan seni-seni dan keahlian, yang ungkapannya ditemukan pada khazanah-khazanah dan masalah-masalah besar serta pada nilai-nilai yang paling tinggi bagi umat manusia. Artinya, pendidikan yang hanya mempersiapkan siswa untuk mencari pekerjaan tidak akan mendewasakan orang menjadi pribadi sebagai manusia dan warga negara. Masyarakat juga tidak akan pernah menemukan jalannya sampai pada nilai-nilai yang paling tinggi bagi umat manusia, yaitu kemanusiaan.
Manusia humaniora menurut Soenarja (dalam Hartoko, 1985:69--70) adalah manusia yang mencintai keselarasan, yang dilihat di alam, dirasai dalam dirinya, tubuh, jiwa, hati, budi mendambakan itu, dan baru merasa tenang kalau keseluruhan menuju jalan atau sampai pada tujuan harmoni. Lebih jauh ditegaskan bahwa manusia humaniora itu harmoni, baik dengan alam semesta, sesama manusia, maupun dengan Tuhan. Harmoni seperti tersebut merupakan suatu kenyataan telah terciptanya keselarasan moral, dan dalam masyarakat Hindu di Bali diyakini sebagai sumber kesejahteraan dan dirumuskan dalam bentuk konsep Tri Hita Karana.
Menurut Sudjarwa (2001:26) ada sepuluh keistimewaan dan kemuliaan manusia, yaitu sebagai berikut.
(1) Manusia dapat menguasai dan memanfaatkan semua unsur alam ini untuk keperluan hidupnya; (2) manusia mampu mengatur perkembangan hidup makhluk lain dan menghindarkan dari kepunahan; (3) manusia dapat mengusahakan agar segala yang ada di alam ini tidak saling meniadakan; (4) manusia mampu mengubah alam ini yang secara alamiah tidak bermanfaat menjadi bermanfaat, baik bagi dirinya maupun kehidupan pada umumnya; (5) manusia memiliki kreativitas untuk menciptakan benda-benda yang diperlukan dengan bentuk dan model yang diinginkan; (6) manusia memiliki rasa indah sehingga mampu menciptakan benda-benda seni yang dapat menambah kenikmatan hidup rohaninya; (7) manusia memiliki alat komunikasi dengan sesamanya yang disebut bahasa, yang memungkinkan mereka untuk dapat saling bertukar informasi demi kesempurnaan hidup bersama; (8) manusia memiliki sarana pengatur kehidupan bersama yang disebut sopan santun atau tata susila, yang memungkinkan terciptanya suasana kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai; (9) manusia memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka dapat berkembang dan makin sempurna; serta (10) manusia memiliki pegangan hidup, baik di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat kelak, yang dihubungkan dengan Sang Pencipta alam semesta.

Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia tidak cukup ditentukan oleh tingkat kemakmuran ekonomi yang hanya dinyatakan dengan angka-angka atau indek mutu hidup. Akan tetapi, ada aspek-aspek kualitas manusia atau keistimewaan dan kemuliaan manusia yang patut diperhitungkan, yaitu kemanusiaan, yang kualitasnya ditemukan dalam moralitas. Sehubungan dengan ini, Denis Goulet (dalam Triguna, 2000:87) mengajukan tiga tolok ukur pembangunan, yaitu (1) penopang hidup (lifesustenance), (2) harga diri (selfesteem), dan (3) freedom atau liberation. Unsur-unsur ini merupakan satu kesatuan yang bersifat integral dan ketiganya menjadi ciri dasar pembangunan berwajah manusiawi. Model tolok ukur pembangunan ini lebih memperhatikan aspek subjektivitas manusia, baik individual maupun sosial. Walaupun penekanannya lebih mengutamakan aspek kemanusiaan, tetapi secara inplisit yang hendak diekspresikan adalah moralitas sebagai ciri khas manusia.
Dengan khas dimaksudkan bahwa moralitas hanya menjadi milik manusia dan itu membedakannya dari makhluk lainnya. Seperti dikatakan oleh Bertens (2002) bahwa bukan saja moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahap perorangan maupun pada tahap sosial, namun harus dikatakan juga bahwa moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain. Artinya, baik dan buruk dalam arti etis memainkan peranan dalam hidup setiap manusia, baik sekarang maupun di masa lampau. Akan tetapi, tidak semua bangsa dan tidak semua zaman mempunyai pengertian yang sama tentang baik dan buruk. Kecuali moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yaitu pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat dimana-mana, dan pada segala zaman. Jadi, manusia dikatakan baik atau buruk ditentukan oleh kualitas kemanusiaannya yang dalam pengalaman empiris dinyatakan dengan berbudi luhur dan berakhlak mulia, yaitu kewajiban moral, morlitas. Hal ini menjadi paradigma dan filosofi pendidikan pada semua bangsa dalam segala zaman, termasuk di Indonesia. Artinya, moralitas merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia sehingga menarik untuk dikaji, terutama dalam kaitannya dengan sosiologi agama, dalam hal ini agama Hindu.
Kajian terhadap dasar-dasar moralitas dalam penelitian ini hanya mengangkat kitab Bhagavadgita sebagai objek kajian dengan dasar pertimbangan sebagai berikut.
(1) Kitab ini adalah salah satu dari prasnatraya (tiga kitab sumber inspirasi para pemikir Hindu dalam mengembangkan pandangan filosofisnya, terutama tentang filsafat ketuhanan. Tiga kitab dimaksud adalah Vedanta, Brahmasutra, dan Bhagavadgita) yang paling banyak tersebar luas dalam berbagai versi terjemahan, tafsiran, dan belakangan ini semakin sering dirujuk oleh tokoh-tokoh agama Hindu di Indonesia.
(2) Kitab ini adalah bagian dan atau dipandang sebagai inti dari kitab Mahabharata yang telah memasyarakat sejak zaman jayanya agama Hindu di Indonesia. Bagian Mahabharata yang mengandung teks Bhagavadgita, yaitu Bhismaparwa telah dibahasajawakan pada abad ke-10, yaitu pada zaman Dharmawangsa Teguh.
(3) Teks Bhagavadgita yang menjadi pusat dialog antara Sri Krsna dengan Arjuna adalah kristalisasi dari nilai perjuangan manusia untuk menemukan Jati Diri di tengah-tengah konflik moral dan kemanusiaan (perang di medan Kuru).
Dengan studi kepustakaan dan ekplanasi, seloka-seloka Bhagavadgita dipilah-pilah, dikodifikasi, dan dideskripsikan kemudian diinterpretasi sesuai dengan fokus kajian untuk sampai pada suatu pemahaman, yaitu untuk menemukan kejelasan mengenai dasar-dasar moralitas.

2. Pembahasan
2.1 Pengertian Moralitas
Berbicara moral ternyata yang dimaksudkan adalah sesuatu yang penting karena moral dimengerti sebagai filsafat, yaitu filsafat moral. Untuk menunjuk istilah “filsafat moral” dalam kajian teoretis digunakan “etika”, tetapi dalam pengalaman hidup sehari-hari penggunaannya sering tidak jelas. Kadang-kadang kata “moral” dan “etika” digunakan secara bergantian untuk menunjuk suatu fenomena dari gejala yang sama. Bertens (2002) mengatakan bahwa etika merupakan filsafat moral atau filsafat yang mempelajari moralitas. Etika menyelidiki apa itu moralitas, sama seperti filsafat kesenian menyelidiki apa itu kesenian. Tentang pertanyaan terakhir ini perlu dikatakan: etika tidak sama dengan cabang-cabang filsafat yang lain dalam arti bahwa ia membatasi diri pada pertanyaan “apa itu moral?”. Oleh karena itu, ada baiknya dengan mempelajari terlebih dahulu cara-cara kata itu dipakai bersama dengan beberapa istilah yang dekat dengannya.
Etika menurut Bertens (2002) berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (la etha) artinya adalah adat kebiasaan. Dijelaskan pula bahwa arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 s.M) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal-usul kata ini maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Akan tetapi, menurut Wiratmadja (1988:1) bahwa etika merupakan pengetahuan tata susila yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Hyang Widhi Wasa, sesama manusia, dan alam lingkungannya.
Bertens (2002), juga menjelaskan bahwa kata “moral” berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga kebiasaan, adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda, yaitu yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), “etika” dijelaskan dengan membedakan tiga arti, yaitu “(1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat”.
Arti yang ketiga lebih mendasar dari yang lain maka menurut Bertens lebih baik, jika urutannya menjadi sebagai berikut. Pertama, kata “etika” bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Oleh karena itu, dalam arti ini etika bisa dirumuskan juga sebagai “sistem nilai”. Sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup manusia, baik perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, “etika” berarti juga sebagai kumpulan asas atau nilai moral. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kode etik. Ketiga, “etika” mempunyai arti lagi sebagai ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat – sering kali tanpa disadari – menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Tentang kata moral yang etimologinya sama dengan etika, walaupun bahasa asalnya berbeda, tetapi memiliki arti yang sama, yaitu adat, kebiasaan. Akan tetapi, kata moral yang artinya sama dengan etika menurut arti pertama tadi, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sebaliknya, “moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnnya sama dengan “moral” hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruk.
Sampai di sini telah diperoleh pengertian moralitas, tetapi ada baiknya mengetahui bagaimana istilah “moralitas” digunakan bersama istilah-istilah lain yang dekat dengannya. Seperti dijelaskan oleh Bertens (2002) bahwa kata Inggris amoral berarti “tidak berhubungan dengan konteks moral”, “di luar suasana etis”, “non-moral”. Sebaliknya, immoral berarti “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara moral buruk”, “tidak etis”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru tidak dimuat kata “immoral”, sedangkan terdapat kata “amoral” yang dijelaskan sebagai “tidak bermoral, tidak berakhlak”. Pengertian ini mengacaukan arti amoral dan immoral. Oleh karena itu, dikatakan sebaiknya kata “amoral” diartikan sebagai “netral dari sudut moral” atau “tidak mempunyai relevansi etis”.
Dalam kenyataan empiris tidak jarang ditemukan kekacauan makna kata yang dekat dengan kata “moralitas”, yaitu etika dan etiket. Terutama etika dan etiket kerap kali dicampuradukkan pada hal perbedaan di antaranya sangat hakiki. “Etika” berarti “moral” dan “etiket” berarti “sopan santun”. Seperti ditegaskan oleh Bertens (2002) bahwa pengertian etika dan etiket menjadi lebih jelas jika dibandingkan dalam bahasa Inggris, yaitu ethics dan etiquette. Di samping memiliki kedekatan satu sama lain ada juga persamaannya. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Artinya, hanya digunakan oleh manusia, sedangkan hewan atau binatang tidak mengenalnya. Kedua, baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif. Artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Akan tetapi, ada perbedaan penting antara etika dan etiket, yaitu (1) etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Di antara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat; (2) etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain maka etiket tidak berlaku; (3) etiket bersifat relatif, sedangkan etika jauh lebih absolut; (4) etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam. Dengan demikian, sesuai dengan pemakaian internasional sudah menjadi kebiasaan umum memasukkan “moralitas” ke dalam lingkungan etika, bukan lingkup etiket.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak terdapat pada makhluk lain. Oleh karena itu banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang-plus, yaitu binatang dengan ditambah suatu perbedaan khas. Perbedaan khas itu adalah rasio, bakat untuk menggunakan bahasa (symbol), kesanggupan untuk tertawa, untuk membikin alat-alat, dan seterusnya. Mungkin semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat khas manusiawi, tetapi sekurang-kurang harus ditambah satu lagi, yaitu manusia adalah binatang-plus karena mempunyai moral. Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan dilarang, tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas dilakukan.
Mengenai kata “harus” dalam sebutan “harus dilakukan” merupakan keharusan moral. Kaharusan ini didasarkan atas suatu hukum moral. Hukum moral tidak dijalankan “dengan sendirinya”, karena merupakan semacam imbauan kepada kemauan manusia. Hukum moral mengarahkan diri kepada kemauan manusia dengan menyuruhnya dia untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan juga bahwa hukum moral mewajibkan manusia, maka keharusan moral adalah kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma. Norma-norma adalah hukum, tetapi manusia sendiri harus menaklukkan diri pada norma-norma itu. Manusia harus menerima dan menjalankannya. Keharusan moral sebagai kewajiban merupakan dasar-dasar moralitas, dan ini yang akan ditelusuri dalam kitab Bhagavadgita.

2.2 Dasar-dasar Moralitas dalam Bhagavadgita
Bhagavadgita merupakan Upanisad yang terdiri atas Brahmavidya dan Yogasastra, seperti dijelaskan pada setiap akhir bab yang membahas suatu topik secara khusus. Walaupun kitab ini terdiri atas 18 bab dan 700 seloka, tetapi pada intinya mengandung lima tema ajaran, yaitu tentang (1) Brahman (Tuhan), (2) Atman (hidup), (3) Prakrti (material), (4) Kala (waktu), dan (5) Karma (perbuatan).
Brahman dijelaskan sebagai kenyataan utama, satu tiada duanya, di luar batas nama dan rupa, tanpa sifat, tanpa permulaan, pertengahan, dan akhir. Brahman, juga dikatakan sebagai kebenaran yang tak berubah, di luar batas ruang, waktu, dan sebab-akibat. Agar dapat dipercaya maka Brahman tak terbatas mewujudkan dirinya sebagai alam semesta dan makhluk hidup melalui maya-Nya. Ini dikatakan sebagai Isvara. Brahman, Tuhan Yang Maha Esa juga dijelaskan sebagai pengendali. Artinya, segala sesuatu bekerja dibawah kehendak dan perintah-Nya. Ketika menjadi hidup dari hidupnya segala makhluk , Brahman disebut Atman.
Atman, para jiwa atau makhluk hidup diakui oleh Tuhan sebagai bagian dari diri-Nya yang mempunyai sifat sama seperti-Nya. Makhluk hidup adalah isvara-isvara kecil yang takluk. Artinya, makhluk hidup adalah prakrti yang utama. Alam material atau alam semesta merupakan prakrti yang lebih rendah atau alam rendah. Kedua prakrti ini, baik alam semesta maupun makhluk hidup semuanya tunduk, dikuasai, dan dikendalikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dijelaskan dalam Gita.VII.5 bahwa inilah prakrti-Ku yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya, ketahuilah prakrti-Ku yang lebih tinggi, unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini. Dalam seloka ini Tuhan hendak menyatakan unsur-unsur kandungan-Nya yang terdiri atas prakerti atau material dan jiwa-hidup sebagai esensi dari realitas yang dinyatakan pula sebagai unsur pendukung yang lebih tinggi.
Prakrti atau alam semesta dimanifestasikan melalui ruang, waktu, dan penyebab (desa-kala-nimitta). Ruang tercipta ketika manusia dan makhluk hidup lainnya mendapatkan badan. Waktu tercipta ketika manusia mulai berpikir. Penyebab, yaitu karma atau perbuatan tercipta ketika manusia dibatasi. Artinya, Gita memberikan pelajaran tentang apa itu Tuhan, apa itu makhluk hidup atau jiwa, apa itu manifestasi alam semesta, dan bagaimana alam semesta dikendalikan oleh waktu, serta bagaimana kegiatan (karma) para makhluk hidup. Oleh karena itu, manusia adalah ilahi. Sifat sejatinya adalah atman tak terbatas, abadi, suci identik dengan brahman. Tujuan kehidupan manusia adalah untuk menyadari keilahiannya dan tujuan agama adalah untuk mengajar manusia bagaimana memanifestasikan keilahian dalam dirinya. Jadi, ajaran ini hanya dapat dipahami berdasarkan panca sradha, yaitu keimanan Hindu.
Alam material memiliki tiga sifat yang disebut triguna, yaitu sattva, rajah, dan tamah. Satva sebagai sifat kebaikan, rajah sebagai sifat nafsu, dan tamah sebagai sifat kebodohan. Dalam Gita.XIV.5 dijelaskan bahwa sattva – rajah – tamah, ini adalah guna (sifat hakikat) yang lahir dari prakrti, yang mengikat penghuni badan yang kekal dengan eratnya. Dari seloka ini dapat diketahui bahwa yang mengikat Sang Jiwa di dalam raga adalah sifat-sifat dari prakrti, yaitu triguna. Sifat sattva memancar karena kesuciannya, rajah bersumber pada nafsu yang lahir dari keterikatan pada keinginan, dan sifat tamah lahir dari kebodohan. Hal ini diuraikan dalam Gita.XIV.16 bahwa dinyatakan hasil perbuatan orang yang sattvika memperoleh kesucian, pahala sifat rajah adalah penderitaan, sedangkan kebodohan adalah pahala sifat tamah.
Dalam Gita.XIV.17 dinyatakan bahwa dari sifat sattva muncul kebijaksanaan dan dari sifat rajah (timbul) loba, serta dari tamah timbul ketidakpedulian dan kesalahan, demikian juga kebodohan. Dalam Gita.XIV.18 ditegaskan pula bahwa ke atas perginya yang sattvika, di tengah-tengah bersemayamnya yang rajahika, sedangkan yang tamahika ke bawah perginya diantar sifat keadaan yang paling rendah. Jadi, apabila rajah memberi dorongan kepada sattvam maka timbul kebijaksanaan dan apabila rajah memberi dorongan pada tamah akan muncul sifat-sifat kebodohan yang terbingungkan. Apabila rajah hanya menggunakan kekuatan bagi dirinya sendiri maka lahir kegiatan-kegiatan secara terus-menerus, yaitu kelobaan. Artinya, rajah adalah inti sebagai asas kekuatan dari gerak yang dinamis, sedangkan sattvam dan tamah keduanya sama-sama hanya memiliki sifat statis yang apatis. Di atas ketiga sifat tersebut ada waktu yang kekal dan kegiatan yang disebut karma terjadi karena gabungan dari sifat-sifat alam tersebut di bawah pengendalian dan pengawasan waktu. Kegiatan tersebut dilakukan sejak masa lampau, dari waktu ke waktu, dan manusia menikmati hasilnya sebagai penderitaan. Inilah yang disebut karma.
Gita memandang bahwa manifestasi alam semesta ini terjadi dalam jangka waktu tertentu, bertahan selama beberapa waktu, dan kemudian lenyap. Akan tetapi, peredaran ini berjalan terus-menerus dan selamanya. Oleh karena itu, prakrti adalah kekal walaupun keberadaannya hanya sementara. Manifestasi dunia tidak dianggap palsu, tetapi sebagai sesuatu yang nyata yang benar-benar ada, dalam Gita.VII.5 dikatakan bahwa prakrti ini sebagai prakrti-Ku. Alam semesta adalah tenaga yang terpisah dengan Yang Maha Esa, sedangkan makhluk hidup adalah tenaga dari Yang Maha Esa. Makhluk hidup mempunyai hubungan yang kekal dengan Tuhan. Jadi, Tuhan, makhluk hidup, alam semesta, dan waktu semua mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain dan semuanya adalah kekal. Akan tetapi karma, yaitu perbuatan tidaklah kekal, dan karenanya boleh jadi karma merupakan tema sentral dalam Gita.
Setiap kelahiran disebabkan oleh benih karma masa lampau dan setiap kelahiran adalah untuk menikmati hasil karma masa lampau. Oleh karena itu, setiap kelahiran sudah pasti diikuti oleh kematian, seperti dijelaskan dalam Gita.II.27 bahwa sesungguhnya setiap yang lahir, kematian adalah pasti, demikian pula setiap yang mati kelahiran adalah pasti, dan ini tak terelakkan. Artinya, manusia meninggalkan bekas perbuatannya pada masa kini, dan ini yang menyebabkan kelahiran berulang-ulang. Oleh karena itu, setiap kelahiran merupakan masa untuk meningkatkan kualitas karma atau perbuatan. Sebelum karma itu mencapai kesempurnaan dan kebebasan selama itu pula kelahiran dan kematian akan dialami secara terus menerus. Jadi, di samping untuk menikmati karma masa lalu, terpenting dari kelahiran adalah untuk menyempurnakan karma atau perbuatan masa kini agar mencapai pembebasan. Dalam hal ini, dasar-dasar moralitas sebagai panduan perbuatan sesuai dengan kitab suci mutlak diperlukan.
Kedudukan Tuhan Yang Maha Esa adalah sebagai kesadaran yang tertinggi. Makhluk hidup sebagai prakrti merupakan bagian dari Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai sifat yang sama seperti Tuhan, yaitu sadar. Akan tetapi, prakrti yang lain karena terpisah dari Tuhan maka ia tidak memiliki kesadaran. Artinya, manusia sadar hanya pada (badan) dirinya sendiri, sedangkan Tuhan sadar secara sempurna sehingga sadar akan segala badan. Hal ini disebabkan kerena Tuhan bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup, Beliau sadar akan gerak-gerik batin para jiwa masing-masing. Paramatma, Kepribadian Yang Maha Esa bersemayam di dalam hati setiap manusia sebagai isvara, yaitu kepribadian yang mengendalikan segala tindakan dan kehendak makhluk hidup. Artinya, baik kesadaran Tuhan maupun kesadaran manusia merupakan kesadaran yang bersifat rohani. Kesadaran ini disebut kesadaran lain karena berada di luar pengetahuan konvensional, di luar kesempurnaan alat candra dan empiri manusia.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Gita memandang manusia dari dua dimensi tubuh, yaitu yubuh jasmani dan tubuh rohani. Realitas dalam segala manifestasinya merupakan kesatuan dari yang Satu ketika menjadi dua, yaitu jiwa dan raga. Seperti dijelaskan dalam Gita II.13 bahwa sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa muda dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya badan baru, orang bijaksana tak akan tergoyahkan. Demikian sang roh itu ada dalam badan yang terus menerus mengalami perubahan dari masa kanak-kanak sampai usia tua dan sampai sang roh masuk ke badan lain pada waktu meninggal. Manusia menjadi lupa akan esensinya sebagai roh individu karena dipengaruhi oleh maya atau kekuatan alam material, yaitu sattva, rajah, dan tamah.
Oleh karena itu, Gita mengajarkan empat cara atau jalan (yoga) agar manusia memperoleh kembali kesadarannya sebagai sang diri dan bukan badan jasmani. Karmayoga merupakan perbuatan tanpa pamrih. Jnanayoga merupakan jalan kebijaksanaan. Bhakti dengan jalan pengabdian. Rajayoga dengan jalan meditasi. Jalan ini sebagai sarana yang bisa mengantarkan manusia sampai pada kesadaran murni, yaitu sang diri sadar akan Jati Dirinya. Dikatakan demikian karena tat tvam asi mengajarkan bahwa engkau adalah itu. Jadi, engkau bukan badan ini, badan ini bukanlah engkau. Dalam Weda dikatakan dengan “Brahman Atman Aikyam”, dan atau “Aham Brahman Asmi”.
Walaupun untuk menyempurnakan karma Gita telah memberikan empat jalan utama, tetapi Gita juga memberikan dasar-dasar moralitas sebagai penuntun bagi pikiran, ucapan, dan tindakan agar senantiasa berada dalam kerangka dharma. Perbuatan yang diperintahkan dan harus dilaksanakan Gita mengidentifikasikannya melalui sifat-sifat manusia yang mulia, yaitu sifat-sifat devata. Akan tetapi, perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dilaksanakan Gita mengidentifikasikannya melalui sifat-sifat manusia yang jahat, yaitu sifat-sifat raksasa. Hal ini diuraikan sebagai berikut.
Gita menjelaskan bahwa ada dua jenis makhluk ciptaan, yaitu yang mulia dan yang jahat, seperti uraikan dalam XVI.6 bahwa ada dua jenis makhluk ciptaan di dunia ini, yaitu yang mulia dan yang jahat. Artinya, sebagai makhluk hidup manusia juga ada dua jenis, yaitu yang mulia dan yang jahat. Ciri-ciri manusia yang mulia itu dirinci pada Gita.XVI.1—3 sebagai sifat-sifat devata, yaitu dalam Gita.XVI.1 dijelaskan bahwa tak gentar, kemurnian hati, bijaksana, mantap dalam mencari pengetahuan dan melakukan Yoga, dermawan, menguasai indera, berkurban, dan mempelajari kitab suci, melakukan tapa, dan kejujuran. Dalam Gita.XVI.2 dijelaskan bahwa tidak menyakiti, benar, bebas dari nafsu amarah, tanpa keterikatan, tenang, tidak memfitnah, kasih sayang terhadap sesama makhluk, tidak dibingungkan oleh keinginan, lemah lembut, sopan, dan berketetapan hati. Selanjutnya dalam Gita.XVI.3 dijelaskan bahwa cekatan, suka memaafkan, teguh iman, budi luhur, tidak iri hati, tanpa keangkuhan, semuanya ini adalah harta dari dia yang dilahirkan dengan sifat-sifat devata. Ini merupakan dasar-dasar moralitas yang dinyatakan dengan pernyataan positif sehingga yang harus dilaksanakan.
Sebaliknya, manusia yang jahat dilahirkan dengan memiliki sifat-sifat raksasa diuraikan dalam Gita.XVI.4 – 20 sebagai berikut. Dalam seloka 4 disebutkan bahwa berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh. Dalam seloka 5 disebutkan bahwa sifat-sifat ilahi dipandang sebagai jalan yang menyesatkan atau jalan menuju keterikatan. Dalam seloka 6 dipertegas lagi mengenai keberadaan dua jenis manusia, yaitu yang suci atau mulia (bersifat devata) dan yang jahat (bersifat raksasa). Dalam seloka 7 dijelaskan bahwa yang jahat tidak mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan tidak memiliki kemurnian kelakukan baik dan benar. Dalam seloka 8 dijelaskan bahwa mereka mengatakan “dunia ini tidak nyata, tanpa dasar moral, tanpa Tuhan, yang timbulnya hanya karena hubungan yang disebabkan oleh hawa nafsu birahi, lain tidak”. Dalam seloka 9 dikatakan bahwa jiwa yang rusak dengan pengertian picik timbul karena pandangan yang teguh ini menimbulkan perbuatan keji yang menonjol untuk memusnahkan dunia sebagai musuhnya.
Dalam seloka 10 disebutkan bahwa mereka yang memiliki sifat berpura-pura, kebanggaan, dan kesombongan. Dalam seloka 11 dijelaskan bahwa mereka yang memiliki keinginan yang tak habis-habisnya dengan menganggap pemuasan nafsu keinginan sebagai tujuan utama. Dalam seloka 12 dijelaskan bahwa mereka yang dibelenggu oleh ratusan ikatan harapan, menyerahkan diri kepada nafsu dan kemarahan serta berusaha mengumpulkan kekayaan demi kepuasan nafsu dengan jalan yang tidak halal. Dalam seloka 13 disebutkan bahwa mereka berpikir hari ini telah kudapatkan, keinginan ini harus kupenuhi, ini kekepunyaaku dan kekeyaan itu juga akan menjadi milikiku nanti. Dalam seloka 14 disebutkan bahwa mereka yang berpikir musuh ini telah kubunuh dan yang lain akan kubunuh pula, aku adalah penguasa, aku adalah penikmat, aku berhasil, berkuasa, dan bahagia. Dalam seloka 15 disebutkan bahwa mereka yang berpikir aku kaya raya dan kelahiran bangsawan dan mengkhayal dalam ketololan.
Lebih lanjut dijelaskan dalam sloka 16 bahwa mereka yang terperangkap dalam berbagai macam pikiran yang membingungkan, terseret ke dalam pemuasan nafsu yang menjijikkan. Dalam seloka 17 disebutkan bahwa mereka yang senang memuji diri sendiri, benar sendiri, bangga dan mabuk akan harta dan tidak mengindahkan peraturan. Dalam seloka 18 disebutkan bahwa mereka yang memiliki kebiasaan buruk, membohongi diri sendiri dengan keakuan, kekuatan, kesombongan, nafsu dan kemarahan serta membenci Tuhan yang ada di dalam dirinya. Dalam seloka 19 disebutkan bahwa mereka yang membensi dan mencampakkan diri sendiri. Dalam seloka 20 disebutklan bahwa mereka yang terbingungkan terjerumus dalam kandungan raksasa sehingga jatuh ke jalan yang paling rendah.
Semua sifat raksasa ini dipertentangkan dengan sifat-sifat devata yang telah teridentifikasi melalui sat, cit, dan ananda seperti telah dijelaskan di atas. Sesungguhnya sifat-sifat raksasa itu bersumber dari nafsu dalam bentuknya berupa keinginan-keinginan, kemarahan, keserakahan, keangkuhan, kebodohan, dan kebingungan. Sifat-sifat ini dikatakan sebagai jalan menuju ke neraka, yaitu jurang kehancuran diri. Oleh karena itu, ini merupakan larangan dan sama sekali tidak boleh dilaksanakan. Seperti dijelaskan dalam Gita.XVI.21 dikatakan bahwa tiga pintu menuju ke neraka, jurang kehancuran diri, yaitu kama, kroda, dan loba. Jadi, ada tiga gerbang menuju ke gelapan atau kehancuran, yaitu nafsu dalam wujudnya berbagai keinginan, rasa marah, dan keserakahan. Pemenuhan terhadap nafsu merupakan pemuasan yang membabi buta, sedangkan rasa marah timbul kalau jalan ke arah pemuasan nafsu ini terhalang. Keserakahan adalah salah satu nafsu untuk memperkaya diri sendiri dengan objek-objek duniawi, baik secara material maupun psikologis yang sebenarnya demi memenuhi nafsu indera-indera pribadi. Hal ini bertentangan dengan realitas raga manusia yang dikatakan hanya sebagai instrumen atau alat untuk memenuhi kebutuhan spiritual.
Potensi spiritual yang ada di dalam diri setiap manusia sebenarnya merupakan kekuatan luar biasa yang sekiranya dapat digunakan secara baik dan benar akan memungkinkan mencapai Yang Maha Esa dengan lebih sempurna. Akan tetapi bila manusia berjalan di atas jalan nafsu dan keserakahan maka ia akan menghadapi oposisi dari pihak lain karena ia berjalan di jalan yang salah. Jalan yang salah ini berarti bertentangan dan berlawanan dengan dharma sebagai hukum kebenaran abadi. Vivekananda (1991) mengatakan bahwa dharma sebagai hukum ini tidak tampak, tetapi senantiasa hadir dan berkuasa di alam semesta ini. Hukum ini yang akan membuat manusia meledak dalam kemarahan yang dasyat, membenci, dan menyerang secara brutal terhadap mereka yang berada dalam oposisi. Selama dikuasai oleh kemarahan, yakinlah bahwa manusia sedang dalam keadaan diikat erat-erat oleh nafsu inderawi dan objek-objek duniawi dan ini berarti perjalanan sedang melaju dengan cepat ke neraka yang dalam dan gelap. Jadi, selama manusia mengeksploitasi nafsu-nafsu dan dirinya sendiri, merusak alam, dan makhluk lainnya maka selama itu pula ia akan hanyut dalam perputaran lingkaran lahir-mati.
Akan tetapi bila mampu melepaskan diri dari ketiga pintu tersebut maka manusia akan dapat mencapai tujuan tertinggi. Hal ini dijelaskan dalam Gita.XVI.22 dikatakan bahwa orang yang terbebas dari ketiga pintu kegelapan mencapai tempat teritinggi. Manakala manusia tidak memiliki kebutuhan-kebutuhan lagi maka ia bebas dari kegelapan yang berarti kesadarannya telah tercerahkan maka ia mencapai tempat tertinggi, Yang Maha Esa. Untuk itu, kitab suci hendaknya dijadikan pedoman dalam berpikir, berujar, dan berperilku. Seperti dijelaskan dalam Gita.XVI.23 dikatakan bahwa ia yang meninggalkan ajaran kitab suci dan berada dalam pengaruh nafsu keinginan tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, dan tujuan tertinggi. Seloka ini menegaskan bahwa untuk mencapai kesempurnaan, kebahagiaan, dan tujuan tertinggi hendaknya manusia berpegang teguh pada kitab suci. Dengan tuntunan kitab suci manusia dapat membebaskan diri dari cengkraman nafsu keinginan yang oleh banyak ahli psikologi dikatakan sebagai dasar perilaku. Hanya saja nafsu keinginan ini ditransformasikan ke dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan sebagai akibat dari norma dan aturan manusia, yaitu etika-moralitas. Oleh karena itu, dalam Gita.XVI.24 disebutkan bahwa biarkanlah kitab-kitab suci menjadi petunjukmu untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Setelah mengetahui apa yang dikatakan dalam ajaran kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya. Seloka ini menganjurkan agar manusia menggunakan kitab suci sebagai satu-satunya tuntunan dalam hidupnya untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Ditegaskan pula, bila sudah mengetahuinya jangan dibiarkan berhenti hanya sebagai pengetahuan saja dalam wujud konsep-konsep atau teori-teori belaka. Pengetahuan kebenaran hendaknya dilaksanakan dalam bentuk tindakan nyata untuk mendapatkan makna dan artinya yang luas dan sedalam-dalamnya. Swami Rama (2002) juga menyatakan bahwa hanya dalam pengalaman langsung teori dan konsep memperoleh makna yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya. Di luar itu pengetahuan tidak berarti apa-apa bagi manusia. Artinya, hanya dalam prakteknya sebuah konsep atau teori akan mendapatkan nilai tertinggi dari kebenarannya yang sebenar-benarnya dalam konteks kemanfaatan dan kegunaannya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa seseorang dikatakan baik tentulah ia telah secara nyata berbuat baik dan bukan hanya dalam kata-kata dan pikirannya. Pikiran hanyalah bahasa hati yang sangat rahasia dan kata-kata hanyalah bahasa yang penuh misteri, tetapi dalam tindakan semuanya memiliki nilai dan mendapatkan arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, Gita menyarankan agar manusia selalu bekerja dan secara terus-menerus berada dalam kerja yang didasari oleh pikiran dalam pengetahuan yang benar. Dengan demikian seluruh perbuatan telah berubah menjadi pengabdian yang tinggi dalam batasan bhakti yang tulus dan sungguh-sungguh, yaitu yadnya. Ini yang dikatakan sebagai tindakan atau perbuatan yang berdasarkan tuntunan kitab suci dan perbuatan seperti ini juga dikatakan akan mengantarkan manusia sampai pada tujuan tertinggi, yaitu realisasi diri.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa dalam Gita ditemukan dasar-dasar moralitas yang dalam bentuk pernyataan positif teridentifikasi melalui sifat-sifat manusia yang mulia. Akan tetapi, dalam bentuk pernyataan negatif terindentifikasi melalui manusia yang jahat.

3. Simpulan
Moralitas (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti sama dengan “moral” hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruk. Ini merupakan ukuran kemanusiaan. Oleh karena itu hanya berkenaan dengan manusia, dan karenanya menjadi ciri khas manusia dari makhluk lainnya.
Dasar-dasar moralitas dalam Bhagavadgita dirumuskan dengan dua jenis pernyataan, yaitu positif dan negatif. Pernyataan positif merupakan perintah yang harus dilaksanakan yang teridentifikasi melalui sifat-sifat devata, yaitu sat (kebenaran), cit (kesadaran), dan ananda (kebahagiaan). Sebaliknya, pernyataan negatif merupakan larangan sehingga tidak boleh dilaksanakan yang terindentifikasi melalui sifat-sifat raksasa, yaitu kama (keinginan), kroda (kemarahan), dan loba (keserakahan).
Hal ini merupakan penajaman terhadap identitas yang eksrem, yaitu tentang kebajikan dan keburukan. Kepribadian dari para orang suci (yogi atau muni) dan bijak dinyatakan lebih banyak bersifat kedewataan dibandingkan dengan kepribadian dari seorang pengecut, seorang yang rusak moralnya, seorang yang fanatis-hipokrit, dan sangat jahat. Bagian esensial dari ajaran Gita adalah hal yang berlawanan (dvandva), seperti terang dan kegelapan. Walaupun sisi terang dari kehidupan telah teridentifikasi melalui sat, cit, dan ananda, tetapi bagian gelap dari kehidupan merupakan bagian integralnya. Bagi pemikiran Gita tidak ada masalah kejahatan karena setiap hal tergantung pada pasangan kebalikannnya. Akan tetapi, moralitas selamanya menjadi cita-cita kemanusiaan.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bertens, K., 2002, Etika, Jakarta: Gramedia.
Pudja, G., 1999, Bhagavadgita, Surabaya: Paramita.
Suami Rama, 2002, Hidup Bersama Para Rsi dan Yogi di Himalaya, Surabaya: Paramita.
Triguna, I.B.G. Yudha. 2000a, Mengenal Teori-Teori Pembangunan. Denpasar: Widya Dharma
Vivekananda, Swami, 1991, Karmamarga, Surabaya: Paramita.
Wiratmadja, Adia, 1988, Etika Tata Susila Hindu Dharma, Magelang: -

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...