Etika

ETIKA HINDU PADA SENI MABEBASAN
Oleh
I Wayan Sukarma

I. Pendahuluan
Etika, menurut Nala (materi kuliah Etia Hindu, 2003) berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethos atau La Ethos, berarti kebiasaan atau adat istiadat yang berhubungan dengan kesusilaan. Kata “kesusilaan” sering disebut tata susila yang mengandung pengertian sebagai sopan santun, kaidah, norma atau bahkan perintah, sehingga diartikan sebagai pedoman tingkah laku. Akan tetapi, Etika Hindu termasuk dalam filsafat moral Hindu, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan menggunakan akal budi tentang baik-buruknya perilaku seseorang dinilai dari ajaran agama Hindu. Jadi, etika adalah tentang kebaikan atau keburukan dan keharusan sebagai kebajikan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik.
Dharma Gita adalah lagu-lagu keagamaan atau lebih dikenal dengan nyanyian keagamaan, dalam hal ini agama Hindu. Nyanyian ini berfungsi sebagai media untuk mengembangkan rasa keagamaan karena di dalamnya terkandung sastra-sastra agama. Dalam buku Pedoman 5 Tahun Utsawa Dharma Gita (1998) dijelaskan bahwa yang dapat digolongkan ke dalam Dharma Gita adalah a) Seloka dan Sruti, b) Palawakya, c) Kakawin, d) Kidung, dan e) Geguritan. Menurut Suka Yasa dalam Kidung Panca Yadnya, (2000:1) bahwa melagukan nyanyian-nyanyian keagamaan di Bali disebut makidung, makakawin, mageguritan atau mamutru. Bila kegiatan makakawin disertai dengan memberikan arti dan ulasan maka kegiatan itu disebut mabebasan.
Mabebasan dalam Kamus Bali-Indonesia (1978:75) berarti menyanyikan kakawin dengan diberi arti atau terjemahan. Akan tetapi, kakawin menurut Medera (1997:7) adalah syair yang berbahasa Jawa Kuno (Kawi) dengan memakai metrum (guru laghu) India. Menurut Jendra (1995:109) bahwa mabebasan artinya ‘peri hal berbahasa’. Akan tetapi, maknanya dalam situasi konstektual masyarakat Bali adalah membaca sekaligus menembangkan seloka Bahasa Kawi disertai terjemahannya dalam Bahasa Bali dan kadang-kadang diikuti dengan ulasan dengan memakai Bahasa Bali atau Bahasa Indonesia kalau situasi kontektual menghendakinya. Mabebasan merupakan seni tradisional masyarakat (umat Hindu) Bali, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan beragama sehari-hari. Seni mabebasan hampir selalu hadir pada setiap pelaksanaan Upacara Agama Hindu, yaitu pada kegiatan Upacara Panca Yajna.
Sebagai seni tradisional, mabebasan saat ini berkembang dengan pesat dalam masyarakat. Sebelumnya, mabebasan lebih banyak diminati dan dilakukan oleh orang-orang dewasa, bahkan sangat terbatas hanya dilakukan oleh orang-orang tua tertentu saja. Perkembangannya yang pesat itu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah dengan diselenggarakannya Utsawa Dharma Gita, baik di tingkat Kabupaten atau Kota dan di tingkat Propinsi maupun tingkat Nasional. Penyelenggaraannya yang juga mengikutsertakan anak-anak dan remaja maka seni mabebasan berkembang sampai ke sekolah-sekolah. Di samping itu dengan dikukuhkannya eksistensi Desa Pakraman melalui Perda Nomor 03 tahun 2001 telah pula mendorong terbentuk Sekaa Santhi di Banjar dan di Desa, juga tidak pernah sepi dari kegiatan mabebasan.
Pesatnya perkembangan mabebasan didukung pula oleh semakin tingginya perhatian Stasiun-stasiun Radio Swasta di Bali dengan memasang mabebasan sebagai mata acara favorit pada program siarannya. Biasanya acara ini hadir dalam Darma Gita. Di samping itu, kehadiran Stasiun Televisi Swasta di Bali dengan acara Gita Santhi-nya, juga merupakan dorongan yang tidak kecil bagi kemajuan perkembangan Dharma Gita, khususnya Mabebasan.
Perkembangan mabebasan yang pesat itu, jika tidak didukung oleh pemahaman sastra agama, terutama tentang etika Hindu dan penerapannya secara benar dalam mabebasan maka kegiatan tersebut tidak akan dapat mencapai tujuan yang sebenarnya. Kemudian, persoalannya adalah bagaimana penerapan etika Hindu pada seni mabebasan. Oleh karena itu, kajian ini dibatasi hanya untuk megetahui kejelasan tentang penerapan etika Hindu dalam seni mabebasan dalam masyarakat Hindu Bali. Sistematika pembahasannya dimulai dari deskripsi konsep mabebasan dengan metode studi kepustakaan dan metode observasi digunakan mengamati pelaksanaan kegiatan mabebasan.

2. Seni Mabebasan
2.1 Bentuk Mabebasan
Mabebasan merupakan salah satu bentuk kegiatan ‘Nyastra’ yang umumnya dilakukan oleh umat Hindu dalam pelaksanaan upara agama. Kegiatan ini juga dimanfaatkan sebagai wahana pembelajaran diri, sehingga mabebasan lebih bersifat paedagogik. Di samping itu, mabebasan juga digunakan sebagai media untuk mengapresiasikan rasa kecintaan terhadap ajaran agama dan kebudayaan (Hindu). Tradisi nyastra ini biasanya dilakukan dalam kelompok-kelompok yang disebut pesantian. Medera (1989:24) mengatakan bahwa melalui pesantian penyinta sastra, baik sebagai agamawan maupun budayawan membahas dan mendiskusikan secara mendalam teks karya sastra agama. Nyastra dijelaskan pula sebagai tradisi masyarakat Hindu di Bali dapat dilakukan dengan mabebasan, mamakawin, dan mapapaosan. Ketiga istilah tersebut di dalam bahasa Bali mengandung makna yang sama, namun tidak sepenuhnya mempunyai pengertian yang sama. Artinya, ada kecenderungan bahwa anggota pesantian akan menjadi agamawan atau budayawan, mengingat kegiatan ini sedang marak dilaksanakan di Bali.
Umumnya bentuk kegiatan mabebasan terdiri atas pembacaan seloka atau bait-bait kakawin dengan metrum (guru-laghu) tertentu dengan diberikan arti sebagai terjemahan dan di beri ulasan-ulasan, kemudian dilanjutkan dengan diskusi sebagai pembahasan. Perkembangan berikutnya, tidak hanya kakawin atau seloka-seloka saja yang dijadikan bahasan dalam mabebasan, tetapi banyak jenis geguritan sering pula digunakan sebagai bahan bahasan. Amanat pokok yang ingin disampaikan bermaksud menggugah pendengarnya agar menyadari tugas utamanya sebagai manusia agar senantiasa mendasarkan diri pada nilai-nilai kemanusiaan. Dalam kegiatan mabebasan, umumnya terdiri atas pembaca (pangawacen) dan penerjemah (peneges/pangartos), yang memberikan ulasan, dan pendengar. Agar kegiatan ini mencapai hasil yang optimal maka pembaca dan penerjemah hendaknya memahami ketentuan khusus dalam mabebasan. Adapun ketentuan-ketentuan khusus tersebut menurut Mendera (1989) meliputi antara lain wirama, wiraga, dan wirasa.
Wirama meliputi guru-laghu, onek-onekan, nada (reng), dan suara. Menurut Medera, sebagai pembaca yang baik unsur wirama harus benar-benar dipahami. Suara yang baik, irama yang khusuk, pembacaan teks (onek-onekan) yang tepat, tekanan metrum (guru-laghu) yang tepat dan benar, semuanya ini akan menghasilkan alunan irama yang indah.
Wiraga meliputi penampilan (tikas), expresi (raras). Tikas menyangkut sikap dan penampilan pembaca (pangawacen) dan penerjemah (peneges). Pembaca dituntut menguasai pengetahuan tentang tetikasan yang baik dan benar sejak berawal dari pengambilan lontar, meletakan lontar, cara memulai pembacaan lontar, sikap duduk, cara mengucapkan salam pertemuan (panganjali), dan mengakhiri pembacaan. Sebaliknya, bagi penerjemah, sikap-sikap tetanganan (sikap tubuh dan gerak tangan) yang paling diutamakan. Raras juga sangat menentukan dalam mabebasan. Dengan raras yang baik dan meyakinkan pembaca maupun penerjemah akan mampu mengantarkan para pendengar lebih mengerti dan memahami apa yang tersurat dan tersirat dalam teks yang sedang dibahas. Di samping itu, unsur ketepatan dan kebenaran penerjemah, seperti anggah-ungguhing basa dan kelengutan bebasan (daya impropisasi penerjemah), juga sangat mempengaruhi penampilan dan pemahaman.
Wirasa merupakan unsur yang lebih menekankan kemampuan pemahaman dan penghayatan terhadap amanat dan nilai-nilai yang terkandung dalam teks yang sedang dibaca dan dibahas. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra-sastra agama dapat lebih memeribadi dan tidak terbatas hanya pada tingkat menjadi pengetahuan saja.

2.2 Fungsi dan Makna Mabebasan
Mabebasan biasanya digunakan menyertai berbagai kegiatan keagamaan, khususnya yang berhubungan dengan ritual atau yadnya. Mengingat irama lagunya yang memiliki berbagai pariasi metrum, sangat membantu dalam menciptakan suasana hening, hidmat atau khusuk yang dipancari oleh getar kesucian. Di samping itu, juga karena di dalam syair-syairnya terkandung ajaran agama, susila, dan tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebesaran Hyang Widhi dalam berbagai prabhawa-Nya.
Dalam banyak kakawin maupun seloka-seloka banyak yang menyebutkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan Hindu meliputi antara lain keberanian, cakap dalam weda, suka menolong, cinta kepada sesama makhluk hidup, kedamaian, kebenaran, dan sebagainya. Akan tetapi, menurut Bhagawan Sri Sathya Narayana (dalam Kasturi, 1988:48) bahwa menurut konsep Hindu nilai-nilai kemanusiaan mempunyai lima dasar, yaitu sathya (kebenaran), dharma (kebajikan), prema (kasih), shanti (kedamaian) dan ahimsa (tanpa kekerasan). Amanat tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan seperti tersebut sering pula disampaikan melalui kakawin misalnya, Mahabarata, Ramayana, Arjuna Wiwaha, dan banyak lagi lontar-lontar lainnya. Melalui mabebasan diharapkan nilai-nilai tersebut dapat ditelusuri, dimengerti, dan dipahami sehingga mampu membentuk integritas kepribadian yang mantap. Dengan kepribadian yang kuat seseorang akan lebih mampu mengenal dan memahami dirinya sendiri secara lebih baik sehingga ia mampu ber-adaftasi dan menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya. Akhirnya, dengan adaftasi dan penyesuaian diri yang baik seseorang dapat menjadi manusia yang mandiri dan mampu hidup bersama dalam mewujudkan masyarakat madani.
Mabebasan dapat berfungsi sebagai pendidikan, yaitu pendidikan jalur luar sekolah. Pendidikan tradisional melalui nyastra merupakan bentuk pendidikan yang sangat efektif untuk memperoleh mengertian dan pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Oleh karena itu, nyastra, khususnya seni mabebasan dapat melaksanakan fungsi pendidikan seperti yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu (1) membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.; (2) membentuk manusia yang beretika, yaitu manusia beradab yang berwawasan budaya; (3) membentuk manusia yang memiliki nalar, yaitu manusia yang berpikiran maju, cakap, cerdas, kreatif, inovatif dan bertanggungjawab; (4) membentuk manusia yang berkemampuan berkomonikasi sosial, yaitu manusia yang tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif, dan demokratis; dan (5) melalui mabebasan juga dapat dibangun manusia yang mandiri.
Mabebasan juga dapat digunakan sebagai media yang strategis dalam menggali dan mengkaji nilai-nilai agama dan budaya Hindu, agar dapat lebih dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, melalui mabebasan, baik langsung maupun tidak atau disadari maupun tidak telah dilakukan kajian terhadap teks dengan tema-tema yang kontekstual. Dengan demikian, tidaklah berlebihan, jika ada harapan dari mabebasan akan lahir generasi yang menyintai sastra. Generasi yang memiliki kesadaran, keyakinan, dan kepercayaan yang mantap terhadap Hyang Widhi. Generasi yang berbudi pakerti luhur dan berakhlak mulia. Generasi yang mempunyai kecerdasan emosi positif dalam konteks tri hita karana, sesui dengan sistem sosial kemasyarakatan di Bali. Generasi yang sarat dengan pemahaman nilai, norma, dan etika agama. Akhirnya, lahir generasi Weda, yaitu generasi yang bisa dan mampu mengapresiasikan dan mengekspresikan nilai-nilai Weda dalam bentuk perilaku nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Generasi yang mampu menjaga dan memelihara harkat dan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, jika boleh berharap lebih banyak lagi maka sangat diharapkan kegiatan mabebasan ini dapat diteruskan dalam fungsinya sebagai media untuk meneruskan dan mewariskan serta melestarikan nilai-nilai agama dan kebudayaan Hindu.

3. Etika Hindu pada Seni Mabebasan
3.1 Sistem Etika yang Diterapkan pada Seni Mabebasan
3.1.1 Deontologikal atau Deskriptif
Seni mabebasan memiliki sistem etika sebagai kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh para peminat dan penyinta sastra. Dalam Buku Pedoman 5 tahun Utsawa Dharma Gita, kriteria etika mabebasan diuraikan sebagai berikut.
a) Kriteria untuk pembaca meliputi, antara lain Tikas (penampilan), Suara, Guru-Laghu, Reng (nada suara), Onek-onekan (jelas tidaknya dan tepat tidaknya ucapan) dan Raras (expresi).
b) Kriteria untuk penerjemah meliputi, antara lain Tikas (penampilan), Terjemahan (tepat tidaknya terjemahan), Anggah-ungguhing basa (tatacara/penyesuaian bahasa terjemahan), Kelengutan bebasan (keserasian, keindahan, penjiwaan terjemahan), dan Raras (expresi).
Raras (expresi) merupakan hal yang menentukan terhadap pemahaman nilai-nilai yang terkandung dalam bait-bait syair atau seloka-seloka dari sebuah kakawin. Oleh karena itu, perlu disajikan kriteria expresi seperti termuat dalam lontar Paniti Tata Gambuh antara lain menyebutkan sebagai berikut.
(1) Jenjen, yaitu mengexpresikan wajah tampak biasa-biasa saja, penglihatan pandangan mata agak lamban yang selalu diiringi arah wajah sepertinya belum terpengaruh hal-hal yang ada di sekitarnya.
(2) Demdem, yaitu mengekxpresikan wajah tampak menaruh perhatian terhadap sesuatu yang tidak menyulitkan/tenang dan agak serius.
(3) Bingar, yaitu expresi wajah tampak mengandung kegembiraan/ceria/timbul tawa kecil (kenying) dan kening terkadang bergerak secara otomatis.
(4) Bangga, yaitu roman muka agak ceria karena rasa puas akan sesuatu keberhasilan, gerak kepala sering bergoyang ke kanan dan ke kiri.
(5) Banggi, expresi pandangan menjurus kepada sasaran, mata terbuka lebar kadang-kadang dipejamkan sewakti-waktu (ngecir) kanan dan kiri bergantian, jebat-jebet, kadang-kadang lidah dikeluarkan bibir dicibirkan ditopang dengan gerakan yang berlebihan.
(6) Nerawa/tan riamban, yaitu expresi muka seperti memikirkan sesuatu masalah-masalah yang agak peka, tidak mempedulikan kejadian sekitarnya, pandangan cendrung menjurus ke atas dan jarang terjadi kedipan mata.
(7) Sango-sango, yaitu expresi wajah tampaknya memikir sesuatu dengan segala keragu-raguan, tidak hirau kejadian sekitarnya, ditopang dengan gerakan mondar-mandir, kadang menggapai-gapai dalam tari, telapak tangan sering ditempel di hulu hati pandangan sering terpusat ke suatu arah (titir akedip), mata sering terkedip.
(8) Nges-nges jenger, yaitu expresi wajah tampak sebagai memusatkan pikiran kepada sesuatu masalah sengaja tidak memberi perhatian ke arah sekitarnya seperti ada sesuatu yang diinginkan untuk segera tercapai, sangat serius, dan mecuk alis (mengerutkan kening).
(9) Sendu, yaitu expresi wajah seperti menderita beban batin, biasanya dengan tidak sadar mengorak-orek sesuatu (anurat-nurat lemah) wajah tampak sangat kusut.
(10) Sekel/sedih, yaitu expresi wajah sangat kusut, air mata berlinang-linang, jika melangkah tertatih-tatih, pandangan mata sangat kaku (dalam tarian biasanya diiringi tabuh tangis).
(11) Misra/garjita, yaitu expresi wajah berseri-seri menandakan rasa puas terhadap sesuatu. Mulai menaruh perhatian akan sesuatu (kenying-kenying) dan mangguk-mangguk.
(12) Serenggara, yaitu dengan roman muka yang ceria bertegur sapa dengan menunduk-nundukkan kepala diiringi ucapan manis.
(13) Demba/begug, yaitu expresi wajah seperti tidak memperhatikan lawan bicara, disertai pandangan yang sering berpaling berlawanan, kurang perhatian /ngawur dan acuh tak acuh.
(14) Singa kreti/galak, yaitu expresi wajah seperti nges-nges (nomor 8) bibir ditarik kebelakang, sampai kelihatan gigi yang dirapatkan (magiet) dan mengulum.
(15) Galak amanis, yaitu expresi wajah menampakkan pandangn mata galak dan terbuka tetapi bibir menghamburkan kata-kata, kening digerak-gerakkan.
(16) Aberawa, yaitu expresi pada sikap yang berlebih-lebihan untuk menakut-nakuti (untuk kelihatan gagah), wajah seperti galak (seperti nomor 14 di atas), gerakkan tubuh oyag-oyog (bergoyang-goyang ke kiri dan ke kanan).
(17) Kroda, yaitu expresi wajah galak (seperti nomor 16 di atas) mata dibuka samapai melotot dan sikap selalu beringas.
Penggunaan expresi-expresi tersebut di atas disesuaikan dengan isi teks yang sedang dibaca atau diterjemahkan. Dengan penampilan expresi yang sesuai dengan isi teks yang dibaca atau diterjemahkan akan sangat mendukung penjiwaan dan keindahan serta daya tarik dalam mabebasan.
Medera (1997) menekankan perlunya etika pada pelaksanaan mabebasan yang meliputi antara lain sebagai berikut.
(1) Peserta sebagai anggota pesantian hendaknya duduk rapi mengelilingi sebuah dulang (alas tempat membaca). Di atas dulang telah disiapkan lontar bersama kropaknya yang akan dibahas pada pertemuan tersebut.
(2) Setelah menghaturkan banten pejati, pemimpin pesantian membuka acara dengan mengawalinya dengan panganjali “Om Swastyastu”. Peserta menyambutnya dengan panganjali yang sama.
(3) Pemimpin pesantian mulai membicarakan topik yang akan dibahas pada mabebasan saat itu.
(4) Pemimpin menunjuk salah seorang anggota yang dipandang mampu untuk membaca (ngewacen) seloka yang telah ditentukan.
(5) Yang ditunjuk sebagai pembaca maju ketengah-tengah di depan dulang, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengangkat lontar dari dalam keropaknya. Kemudian lontar taersebut perlahan-lahan ditaruh di atas dulang, sedangkan keropaknya di taruh dibawah sebelah pembaca.
(6) Pembaca dan penerjemah bersama-sama menghaturkan panganjali “Om Swastyastu”.
(7) Pembaca mengambil lontar dan mengangkat talinya sehingga kelihatan lontar itu seperti ditimbang. Maksudnya adalah untuk menentukan bagian lontar yang lebih berat, bagian yang berat inilah tempat lontar itu mulai dibaca.
(8) Setelah mengucapkan “Om Awighnam astu”, mulailah melagukan baris pertama.
(9) Pembacaan baris pertama hendaknya di ulang lagi sekali, maksudnya adalah sebagai permakluman untuk mengingatkan kembali pola guru-laghu yang akan dipakai. Di samping itu dimaksudkan pula untuk memantapkan pengambilan suara.
(10) Selanjutnya penerjemah melakukan terjemahan dengan memberikan penekanan pada suku kata yang terakhir dengan suara lebih berat dan panjang.
(11) Setelah kegiatan membaca dipandang sudah cukup dan selesai, dilanjutkan dengan pembahasan atau diskusi untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam seloka-seloka tersebut. Sehingga mendapatkan satu kesatuan tafsir.
(12) Akhirnya, setelah simpulan pembahasan dapat disepakati, seluruh rangkaian kegiatan mabebasan ditutup dengan panganjali parama shanti “ Om Santih Santih Santih Om”.

3.1.2 Teleologikal atau Normatif
Berdasarkan pengamatan, ternyata pada kenyataannya tidak setiap mabebasan dapat mengkuti dan sesuai dengan etika seperti di uraikan di atas. Sebagai contoh, tidak setiap mulai akan membaca lontar dimulai dengan mengangkat lontar pada talinya seperti menimbangnya. Hal itu sebabkan karena mabebasan yang sedang dilakukan merupakan lanjutan dari kegiatan terdahulu. Mungkin juga karena topik yang akan dibahas telah ditetapkan pada kegiatan sebelumnya sehingga tidak harus dimulai dengan menimbang lontar. Akibatnya, semakin lama-kelamaan tata cara mengambil lontar dari dalam keropak tidak lagi memenuhi kaidah tersebut. Demikian pula halnya dengan penggunaan pola guru-laghu, akibat dari logat dan dialek bahasa daerah (lokal) tertentu sehingga pola guru-laghu tidak dapat diterapkan secara seragam di seluruh daerah. Sama hal dengan penerjemahan, tidak mungkin dapat diseragamkan dalam pemenggalan bait-bait selokanya. Rasa bahasa yang berbeda-beda pada setiap orang, memberikan nuansa irama dan dialektika yang berbeda pula. Seperti, nada berat dan suara panjang untuk setiap akhir kata pada terjemahan. Akibatnya, penampilan mabebasan dari Bali Timur akan berbeda dengan penampilan mabebasan dari Bali Barat atau dari Bali Utara. Hal ini sesuai dengan desa-kala-patra.


3.2. Prinsip Etika yang Diterapkan pada Seni Mabebasan
3.2.1 Kebebasan
Hukum seni mabebasan secara eksplisit belum ada dalam wujud pisiknya yang berupa buku hukum mabebasan. Sepanjang tidak bertentangan dengan etika dan kriteria seperti tersebut di atas maka mabebasan dapat dilakukan secara bebas sesuai dengan desa-kala-patra. Terutama tidak bertentangan adat istiadat, sila, dan sadacara yang berlaku di daerah masing-masing. Pesantian bebas menentukan jalannya mabebasan, bebas menetukan topik atau tema yang akan dibahas, bebas menafsirkan makna nilai-nilai yang terkandung dalam seloka-seloka kakawin, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya Hindu.

3.2.2 Kebenaran
Dalam hal memberikan tafsir terhadap seloka-seloka, walaupun bebas, tetapi hendaknya masih mengacu pada tahapan-tahapan kebenaran agama, yaitu weda (srutti), smrti, sada cara, sila, dan atmanastuti. Mengingat kebenaran tersebut telah diterima oleh masyarakat sebagai etika tertinggi dalam berbagai jenjangnya dari semua macam etika Hindu. Hendaknya pesantian benar-benar dapat dimanfaatkan sebagai wahana nyastra untuk meningkatkan kualitas diri. Agar kebenaran agama yang disajikan dalam bentuk seni mabebasan dapat dinikmati sebagai suatu nilai hidup yang berguna, baik oleh anggota sekaa santi maupun oleh masyarakat pada umumnya.

3.2.3 Tidak Merusak dan Merugikan
Pelaksanaan mabebasan hendaknya tidak merusak dan merugikan masyarakat dan umat Hindu khususnya. Mabebasan hendaknya dilakukan tidak sampai terlalu larut malam, jika dilaksanakan pada malam hari. Di samping mengganggu lingkungan sekitar, juga perlu mempertimbangkan kesehatan sendiri untuk melakukan kewajiban-kewajiban hidup lainnya pada keesokan harinya. Dalam menerjemahkan dan memberikan ulasan hendaknya benar-benar dilakukan dengan pertimbangan nilai-nilai agama, agar tidak terjadi penyimpangan makna yang pada akhirnya dapat merusak dan merugikan diri sendiri dan masyarakat.
3.2.4 Menguntungkan Umat
Dari seni mabebasan ini diharapkan, terutama kepada anggota pesantian dapat menikmatinya sebagai kegiatan nyastra dalam rangka meningkatkan kualitas mental spiritual. Dengan kesehatan mental spiritual yang mantap diharapkan dapat melaksanakan hidup dan kehidupan secara lebih bermoral dan manusiawi serta lebih bertanggungjawab. Menjadi anggota masyarakat yang lebih memahami nilai-nilai hidup dalam berbagai fungsi dan strukur sosial. Biasanya, keuntungan ekonomi tidak menjadi tujuan pokok dari seni mabebasan, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Dari sejumlah sesari pada umumnya digunakan untuk melengkapi kebutuhan sekaa shanti termasuk kelengkapan busana anggota. Di samping itu, baik langsung maupun tidak mereka yang lebih memahami nilai-nilai kemanusiaan akan lebih mudah menata kehidupannya, termasuk kehidupan dalam bidang ekonomi.

3.2.5 Keadilan
Dalam satu kelompok sekaa shanti anggotanya diperlakukan sesuai dengan kemampuannya. Yang mampu melagukan akan diberikan membaca dan yang sanggup menerjemahkan akan diberikan menerjemahkan. Demikian pula halnya bagi yang mampu memberikan pembahasan terhadap makna nilai-nilai yang terkandung dalam seloka-seloka yang sedang dibaca akan diberikan kesempatan untuk memberikan ulasan atau pembahasan. Masyarakat umumnya, juga bersikap adil terhadap pesantian-pesantian, misalnya, akan mengundang pesantian yang dipandang memiliki kualitas yang lebih baik. Dengan keadaan ini, maka masing-masing pesantian berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitasnya. Pada gilirannya nanti, akan terwujud kehidupan yang harmonis dan selaras sebagai keadilan humanisme dan tujuan akhir dari etika.

3.3 Peraturan Etika
Seni Mabebasan, seperti telah diuraikan di atas sesungguhnya adalah seni berbicara, yaitu perihal berbahasa. Baik dalam konteks melagukan seloka-seloka tertentu maupun menerjemahkannya. Demikian pula dalam pembahasannya, baik dalam bentuk diskusi maupun ceramah sangat diperlukan etika berbicara agar lebih mudah dimengerti dan dipahami serta menyenangkan. Seseorang yang aktip dalam kegiatan mabebasan biasanya memiliki kecendrungan lembut dalam berbicara dan menguasai ilmu pengetahuan yang lebih baik. Sesungguhnya ilmu pengetahuan itu adalah kebijaksanaan, seperti banyak diuraikan dalam Bhagavadgita, dan hakikat dari kebijaksanaan adalah etik moralis yang terpancar dalam sikap dan segala bentuk perilakunya. Bila dicermati dari Trikaya Parisuda maka dari mabebasan sepantasnya lahir generasi yang sopan dalam berpikir, santun dalam berbicara, dan etik dalam berperilaku.
Sehubungan dengan etika berbicara (berbahasa), Sarasamusccaya lebih rinci menjelaskan dari perspektif Trikaya Parisuda sebagai berikut.
1) Berpikir yang baik dan suci yang meliputi tiga pengendalian pikiran :
a. tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal;
b. tidak berpikir buruk terhadap makhluk lain;
c. tidak mengingkari karma phala.
2) Berbicara (berkata) yang baik dan suci yang meliputi empat pengendalian sebagai berikut :
a. tidak suka mencaci maki;
b. tidak berbicara kasar kepada makhluk lain;
c. tidak memfitnah;
d. tidak ingkar janji.
3) Bertingkah laku yang baik dan suci yang meliputi tiga pengendalian sebagai berikut :
a. tidak menyiksa makhluk lain;
b. tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda;
c. tidak berzina (berselingkuh).
Berbicara yang baik, terlebih-lebih lagi pada seni mabebasan merupakan hal yang patut dan wajib diperhatikan karena hal itu adalah hal yang sangat penting, seperti diuraikan dalam Sarasamuschaya, seloka 125 sebagai berikut. “Maksud yang baik dan baik pula dalam pengucapannya, menyebabkan banyak orang merasa senang. Meskipun maksudnya baik tetapi tidak baik caranya mengatakan, bukannya menyebabkan sakit hatinya si pendengar saja, tetapi malah juga membikin malapetaka pada yang mengatakan.”
Pentingnya memahami etika berbicara, juga menjadi bagian penting dari wejangan Bhagawan Sri Sathya Narayana (dalam Kasturi, 1981) sebagai berikut. “Seluruh kekayaan yang didapat manusia diperoleh melalui kata-kata. Persahabatan dan perhubungan manusia ditegakkan dengan perkataan. Pada akhir hayatnya maut pun mendekati manusia melalui kata-kata”.
Pentingnya peranan etika berbicara juga diuraikan dalam Rg. Weda X, 71, 1-2 sebagai berikut.
“Brahaspate pratanam vace agram
yat prairata namadheyam dadhanam
yad esam sresvam yad aripram asit
prempa tad esam mihitam guhavih”.
“Saktum iva titauna punanto
yatra ghira manasa vacam akrata
atra sakhayam sakyani janate
bhadraisan laksmih nihitadhi vaci”
Artinya
“Bicara sangat utama, oh Brahaspati yang diucapkan oleh orang-orang suci menyebut namanya. Bicaranya mulia, tiada ternoda. Dengan cinta kasih, diungkapkan Yang Mahasuci dengan kata-kata tersaring dalam bathin seperti mengayak tepung dalam ayakan”.
“Disitulah terjadi ikatan persahabatan dalam bicara, di situlah terkandung keindahan”.
Dalam berbicara hendaknya memperhatikan kualitas pembicaraan, kuantitas pembicaraan, relevansi pembicaraan, dan cara berbicara. Sehubungan dengan hal itu, Jendra (2000:54-55) menguraikan secara terperinci sebagai berikut.
(a) Kualitas pembicaraan itu harus merupakan sumbangan pikiran yang benar; dan jangan mengatakan sesuatu yang buktinya tidak cukup.
(b) Kuantitas pembicaraan itu harus merupakan sumbangan pikiran yang benar-benar informatif demi tuntutan tujuan; dan jangan memberi informasi melebihi keperluan (to the point).
(c) Isi pembicaraan harus relevan dan terkait dengan topik; dan jangan berbicara yang tidak ada hubungannya dengan pokok atau topik.
(d) Berbicara harus tenang, jangan emosional; jelas, jangan bermakna ganda; singkat dan padat serta sistematik.
Secara manis Jendra (2000) memberikan rambu-rambu sebagai pengendali etika berbicara dalam bentuk akronim WATCH yang dalam bahasa Inggeris berarti jam. Akan tetapi dalam konteks pengendalian diri diberi makna ‘jaga’ atau ‘kendalikan’. Adapun kepanjangannya adalah sebagai berikut.
W : Kendalikan kata-katamu (your word)
A : Kendalikan tindakanmu (your action)
T : Kendalikan pikiranmu (your thought)
C : Kendalikan karaktermu (your character)
H : Kendalikan hatimu (your heart)

4. Etika dalam Pelaksanaan Seni Mabebasan
Pada kegiatan mabebasan tidak jarang dijumpai masih ada yang belum sesuai dengan etika Hindu dan bahkan lebih merupakan sebagai suatu kelalaian. Hal itu dapat diamati dari perilaku mabebasan pada masyarakat yang tergabung dalam sekaa shanti di banjar-banjar atau desa-desa. Misalnya masih ada, (jika tidak boleh dibilang banyak) yang mengabaikan tatacara mengambil lontar, tatacara membacanya, dan tatacara menyimpan lontar kembali ke dalam keropaknya. Ada pula dijumpai, sementara yang menerjemahkan masih menyampaikan amanat, sedangkan yang membaca sudah meninggalkan tempat dan pergi entah kemana. Di samping itu, ada pula ditemukan, sementara temannya membaca seloka tertentu yang menjadi topik bahasan pada saat itu, beberapa anggota yang lain membaca dan melagukan seloka yang lain pula, sehingga suasana menjadi kurang kondusip.
Ada pula peserta mabebasan, karena tidak dapat mengontrol diri ketika disuguhkan arak (alkohol) sehingga mabuk saat kegiatan mabebasan sedang berlangsung. Selanjutnya, dapat dibayangkan apa yang terjadi, peserta dan pendengar menjadi tertawa-tawa karena pembacaan seloka atau terjemahannya menjadi tidak sesuai. Hal itu dipandang lucu sehingga layak untuk ditertawakan, dan suasana mebebasan berubah menjadi suasana bebondresan.
Tidak jarang dijumpai, sebagian peserta mabebasan sudah memulai kegiatannya sebelum dibuka oleh pemimpin sekaa-nya, bahkan sebelum banten pejati di hatur-kan. Jika pendengar tidak berada di tempat itu, akan disangkanya kegiatan itu dilangsungkan dua kali. Minimal akan disangka bahwa di sana ada dua sekaa shanti yang mengadakan kegiatan mabebasan.
Sehubungan hal-hal tersebut di atas maka dipandang perlu bagi penyinta sastra terutama penyinta mabebasan agar lebih memperhatikan dan memahami etika Hindu yang berkaitan dengan etika seni mabebasan.

5. Simpulan
Etika Hindu adalah pedoman tingkah laku yang harus ditaati oleh umat Hindu, dalam hal ini terutama pada seni mabebasan. Hanya dengan mengkuti etika tersebut mabebasan akan mencapai tujuannya sesuai dengan arti dan makna mabebasan itu sendiri. Dalam konteks ini, yaitu meningkatkan kualitas manusia agar dapat hidup harmonis dan selaras dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.
Sistem etika yang diterapkan dalam seni mabebasan adalah sistem etika yang bersumber dari sastra agama Hindu dan sistem etika yang berlaku di tempat, yaitu sesuai dengan desa-kala-patra.
Prinsip etika yang digunakan dalam seni mabebasan adalah tidak memberatkan anggota pesantian dan tidak memberatkan masyarakat, umat Hindu. Di samping itu, digunakan pula prinsip yang mudah dan murah dilaksanakan dengan tidak mengabaikan dasar-dasar sastra agama Hindu.
Dasar-dasar pelaksanaan seni mabebasan berdasarkan etika kebenaran yang terdapat Weda, sila, dan sadacara (desa-kala-patra), serta atmanastuti. Sebaliknya, materi mabebasan dipetik dari kakawin, seloka-seloka, dan geguritan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan.
Umumnya pelaksanaan seni mabebasan di Bali sudah semakin mantap sesuai dengan etika Hindu. Hal ini terutama didukung oleh penyelenggraan Utsawa Dharma Gita, di samping kesadaran nyastra di kalangan umat Hindu sudah semakin meningkat. Agar umat lebih memiliki keyakinan dalam melaksanakan mabebasan, perlu lebih sering diberikan dharma wacana mengenai etika Hindu, khususnya tentang fungsi dan makna terkait dengan seni mabebasan ini.
Akhirnya, tulisan ini ditutup dengan sebuah harapan:
“Semoga mabebasan sebagai media membangun generasi Weda,
tetap lestari dalam koridor etika Hindu”.


Daftar Kepustakaan
Adia Wiratmadja, Drs. G.K. 1988, Etika Tata Susila Hindu Dharma, Magelang.

Jendra, Wayan, Prof.Dr., SU, 2000, Metode Dharmawacana dan Etika Berbicara, Denpasar, Pt. BP.

-------------------, 1995, “Desertasi: Kedwibahasaan Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia Dalam Aktivitas Seni Mabebasan di Bali”, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.

Kasturi, N. 1981, Sathyam, Sivam, Sundaram, (diterjemahkan Retno Buntoro: Kebenaran, Kebajikan dan Keindahan, Jakarta, YSS. Sai Center Indonesia.

Medera, I Nengah, 1989, Penuntun Mabebasan, Denpasar: Upada Sastra.

Nala. N, 2003, Etika Hindu, Materi Kuliah mata pelajaran Etika Hindu di PPs. Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi.I
Pemda Bali, 2000, “Materi Pendalaman Srada Generasi Muda Hindu Se Bali”, Denpasar.

Proyek Bimbingan dan Penyuluhan Kehidupan Beragama,1995, Naskah/Buku Pedoman 5 Tahun Utsawa Dharma Gita, Denpasar.

Pudja, I Gede, 1985, (Penerjemah), Sarasamuscaya, Jakarta, Depag. R.I.

Sudharta, Tjok Rai, 1991, Sarasamusdhaya, Denpasar, Upada Sastra.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...