Dharma Untuk Keluarga Ideal:
Akar Moralitas Generasi Muda Hindu


I Wayan Sukarma

Krisis Masa Kini
Sekarang sedang terjadi pengenduran tradisi, norma-norma, dan hukum, serta tatanan kehidupan yang telah mapan pada taraf yang mencengangkan. Ini akibat dari proses modernisasi dan industrialisasi yang mendorong manusia mengalami perkembangan menakjubkan dalam bidang material, tetapi secara bersamaan mengalami perkembangan terbatas dalam bidang moral. Malahan Radhakrishnan (2003:1--2), mengingatkan bahwa “kita sekarang hidup dalam sebuah dunia, di mana tragedi bersifat universal tengah berlangsung. Ide-ide yang pada masa lalu dipandang sebagai hal yang tidak terpisahkan dari kepatutan dan keadilan sosial, yang mampu mengarahkan dan mendisiplinkan tingkah laku selama berabad-abad sekarang mulai sirna. Dunia dikoyak oleh kesalahpahaman, kebencian, dan perselisihan. Atmosfer kehidupan dipenuhi dengan suasana kecurigaan, ketidakpastian, dan ketakutan mencekam terhadap masa depan. Kita hidup dalam suatu periode ketegangan yang penuh derita, kecemasan luar biasa, dan berbagai kekecewaan. Dunia sekarang berada dalam suatu kondisi kesurupan”.
Dunia kesurupan – mungkin “zaman edan” menurut Ranggawarsita atau seperti “anything goes” yang diteriakkan Paul Feyerabend dalam dunia ilmu pengetahuan – yang digambarkan oleh Radhakrishnan tersebut bukan dunia yang berdiri sendiri nun jauh di sana yang lepas dari ikatan moral. Akan tetapi dunia manusia tempat membangun interaksi untuk saling memahami setiap kehadiran, keluarga manusia. Dunia tempat mengenal hak anggota keluarga untuk hidup dan berkembang dalam persahatan. Dunia yang mewadahi aktivitas manusia menuju perkembangan kondisi sosial yang mengantarkannya pada kehidupan material, moral, dan intelektual sesuai dengan keutamaan dan kemuliaan. Dunia ini yang memungkinkan pencapaian kesempurnaan dan kemurnian manusiawi. Akan tetapi kenyataan bebicara lain, dorongan buta ke arah kehancuran tampaknya merasuki manusia. Keserakahan pada sumber daya alam, begitu banyak didemontrasikan melalui rendahnya pengendalian nafsu-selera. Akibatnya, kehancuran sosial justru disebabkan oleh mereka yang berpengetahuan tanpa kesadaran, bahkan oleh mereka yang berpengetahuan agama tanpa kesadaran agama. Ini sebuah refleksi kesedihan yang bersumber dari semakin sirnanya fungsi keluarga dalam penataan kehidupan sosial.
Kata “keluarga Hindu”, bukan hanya sekadar menunjuk pada suatu unit interaksi, melainkan sebuah sistem tempat keseluruhan tatanan sosial dimulai, sumber penataan sosial yang sangat luas, bahkan melebihi batas-batas keluarga. Keluarga dalam kebudayaan tradisional, seperti ditunjukkan komunitas banjar dan desa pakraman, yang dimulai dari sebuah perkawinan. Upacara perkawinan (pawiwahan) merupakan alat pengesahan keluarga baru dan kehadirannya menjadi krama banjar atau krama desa pakraman. Di sini, indikator stratifikasi sosial dalam menentukan pemimpin ditentukan berdasarkan, antara lain ketuaan, kewangsaan, formal, dan kepemilikan. Indikator ketuaan dan kewangsaan pada beberapa desa tradisional masih memiliki kedudukan dan peranan yang menentukan. Kedudukan mereka memang tidak formal, tetapi nyata diakui dan didudukkan sebagai kendali sosial. Sebaliknya, pemimpin formal dan pimpinan atas dasar kepemilikan terbentuk kemudian. Jika pemimpin formal merupakan kepanjangan tangan pemerintah maka munculnya pemimpin berdasarkan atas kepemilikan lebih merupakan fenomena new comers. Ini sebagai konskuensi dari ‘keberhasilan’ interaksi warga banjar dengan dunia luar. Pada akhirnya, semua itu membentuk pola dan cara bertindak yang dianggap baik dalam suatu keluarga orang Bali (Triguna, 2004). Dengannya keluarga menjadi tempat tradisi Hindu berlangsung, seperti pemujaan kepada leluhur (sanggah/merajan, bahkan dadia). Keluarga menjadi tempat berseminya tradisi keagamaan yang memberi pengalaman belajar berkaitan dengan upaya penanaman nilai moral dan kemanusiaan. Keluarga merupakan benteng moral yang kuat, tempat nilai-nilai dipelihara dan tindakan sosial dirancang bersama. Walaupun demikian, keluarga Hindu, seperti juga banyak keluarga lainnya, tidak lagi menjadi tanda dari adanya sebuah kebudayaan, tetapi menjadi wakil dari sebuah dunia yang terdapat di luarnya. Keluarga kehilangan kepercayaan dari anggotanya, karena itu bukan ungkapan kosong ketika Abdullah (2006:153) mengatakan bahwa ”keluarga sedang mengalami kematian”.
Ketika keluarga tidak lagi menjadi tempat harmoni dan jaminan sosial, sebagaimana fungsi yang telah dijalankannya berabad-abad maka dapat diduga bahwa rumah bukan lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi generasi muda. Rumah bukan lagi merupakan pernaungan dan perlindungan yang memadai, baik secara fisik maupun mental. Kondisi ini mendorong mereka lari ke luar rumah untuk menemukan dirinya dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Dalam kegundahannya, mereka merasa kehilangan pedoman hidup dan merasa tidak diperhatikan, bahkan tidak diterima dalam lingkungan keluarga. Perasaan semacam ini mendorong mereka melakukan pencarian bersendirian misalnya, dalam pergaulan teman sebaya (veer group) dan kelompok lainnya dengan kegiatan yang cenderung memberikannya tantangan baru. Kadang kala juga mereka suntuk menjelajahi dan menggumuli dunia virtual yang memang menyajikan beragam informasi dalam berbagai saluran, bahkan di sini mereka membangun dunia imajinasi sendiri. Dunia maya ini kemudian, dipandangnya menjadi sebuah kebenaran yang layak “di-rumah-i”. Akibatnya, lahir budaya jalanan, yakni budaya yang secara sistematis berada di luar budaya induk yang telah mapan, baku, dan formal.
Budaya jalanan yang menurut Abdullah (2006:194-195) lebih merupakan serangkaian simbol, yang memberikan identitas dan kekuatan dalam adaptasi kultural dan struktural, yang dilakukan sekelompok orang di suatu tempat. Norma yang dikembangkan kelompok ini menunjukkan pemberlakuan prinsip-prinsip yang “menyimpang” dari norma-norma yang berlaku secara general. Modifikasi kendaraan bermotor misalnya, merupakan fenomena budaya jalanan yang didemontrasikan oleh generasi muda di kota-kota besar, bahkan ramainya kelompok pengendara kendaraan merek tertentu di jalan raya juga merupakan gejala sejenis. Budaya semacam ini menampilkan diri sebagai tegangan dari budaya induk dan minta diterima sebagai sebuah kebenaran, sebagaimana halnya budaya induk yang telah mapan. Tegangan yang demikian tidak jarang melahirkan ide-ide tentang kebaruan yang justru mampu menjadi inspirasi bagi produk-produk berikutnya. Perhatikan model mutahir modifikasi kendaraan yang segera diikuti pihak produsen karena hubungan antara produsen dan konsumen memang tidak lebih dari sekadar nikmat dan kenikmatan. Walaupun begitu, tetap saja “penyimpangan” seperti ini bukan menjadi tujuan keluarga yang pada prinsipnya lebih bertumpu pada kemapanan budaya induk.
Dalam konteks inilah perlu dipertanyakan peran sekaa teruna, yang secara genealogis ataupun antropologis merupakan sebuah keluarga yang mewadahi aktivitas generasi muda Hindu dalam banjar dan desa pakraman. Demikian juga generasi muda Hindu dibesarkan dalam keluarga tradisional, yakni sebuah keluarga yang tertata dalam terminologi krama banjar dan krama desa pakraman. Kata “krama” memang sengaja digunakan untuk menunjukkan bahwa keluarga merupakan sebuah komune. Kata “komune” merujuk pada sebuah ikatan yang dilandasi oleh kemampuan “berbagi tanpa membagi”, bahkan juga masyarakat dibentuk atas dasar kata ini. Apabila tidak demikian maka masyarakat adalah penjumlahan individu dan tentu di dalamnya sarat dengan perebutan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan (Sponville, 2006). Kemudian, gugatan terhadap kata “krama” dalam perkembangan dunia sekarang ini tentu akan menggerus pondasi moralitas keluarga Hindu. Gugatan inilah yang mendorong munculnya pertanyaan, proses sosial manakah yang mendorong perubahan posisi dan relasi keluarga? Bagaimanakah proses membangun keluarga ideal agar menjadi kekuatan moral bagi generasi muda (Hindu)?
Mungkin pertanyaan semacam ini masih ada gunanya, tetapi bukanlah dimaksudkan sebagai ambisi untuk menjawab semua persoalan moralitas yang sedang dihadapi generasi muda Hindu. Walaupun hanya sebuah koreksi kecil, akan tetapi sekecil apapun partisipasinya dalam pembicaraan moral, setidak-tidaknya tetap berharap, generasi muda Hindu tidak terperosok ke dalam era kegelapan intelektual dan barbarisme etik. Pencapaian luhur generasi masa lalu memang tidak boleh disia-siakan, karena dengannya generasi muda semakin mampu melihat himpitan beban fisik, derita jiwa, dan kedukaan hati yang ditimbulkan oleh permainan moral dalam dunia sosial yang sarat kontradiksi kehidupan.

Perubahan Posisi dan Relasi Keluarga
Kontradiksi kehidupan sosial tidak dapat dihindari karena modernisasi dan industrialisasi telah menjadi kekuatan penting yang memaksa penyesuaian nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Masyarakat global dewasa ini memang tengah menuju ke arah sebuah dunia dengan tingkat kompleksitas kehidupan yang semakin tinggi, bersamanya membawa berbagai kontradiksi kehidupan, baik sosial dan kebudayaan maupun agama (Suhandji-Waspodo, 2004:44; Fakih, 2007:12; Snow, 2007:16). Perubahan yang terjadi secara meluas yang mengubah posisi dan relasi keluarga menurut Abdullah (2006:155) paling tidak, bisa dilihat pada tiga tahapan berikut.
(1) Masuknya pasar ke dalam masyarakat petani yang mulai mempengaruhi budaya agraris yang bukan hanya mempengaruhi proses komodifikasi dari hasil-hasil pertanian, tetapi juga telah memperluas jaringan sosial dan orientasi masyarakat ke luar desa. Di sini anggota keluarga mulai terintegrasi ke dalam suatu sistem dunia dan sistem relasi di luar keluarga dan teritori budaya.
(2) Integrasi pasar, yakni semakin kuatnya pengaruh pasar sejalan dengan semakin terikatnya penduduk desa ke dalam suatu tatanan yang lebih luas, seperti ke dalam ide-ide, nilai-nilai, dan praktik-praktik yang bersifat nasional. Di sini definisi keluarga mulai diambil alih oleh negara hingga munculnya konsep keluarga kecil dengan “dua anak cukup”.
(3) Ekspansi pasar, yakni suatu perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan sistem sosial yang bersifat global dengan serangkaian nilai dan norma baru. Di sini daya beli dan kekuatan ekonomi menjadi faktor dominan dalam identifikasi diri dan pengelompokan sosial, oleh karena itu kelas sosial telah membentuk karakter keluarga.
Dalam kondisi demikian, keluarga kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri karena menurut Abdullah (2006:160) keluarga telah menjadi wakil dari kepentingan politik dan pasar. Pilihan-pilihan yang dilakukan di dalam rumah merupakan pilihan-pilihan yang telah disediakan oleh pemerintah dan pasar. Pemerintah misalnya, telah menyediakan pilihan tentang jumlah anak, jarak kelahiran, bahkan termasuk alat kontrasepsi yang digunakan. Pemerintah juga menyediakan jenis dan jenjang pendidikan, dari “gratis” hingga “kemahalan”, bahkan strata pendidikan yang diraih seseorang telah menjadi simbol status dalam dunia sosial. Sementara itu, juga pasar telah menghadirkan kebutuhan-kebutuhan simbolis yang mengarah pada pembentukan status dan pendefinisan identitas keluarga. Status sebuah keluarga lebih ditentukan oleh kepemilikan atas barang-barang hasil industri, bukan berdasarkan harmoni dan jaminan sosial yang melekat padanya. Keluarga telah menjadi objek dari ekspansi pasar melalui iklan yang secara persuasif menghegemoni kebutuhan keluarga dalam hubungan kekuasan simbolik. Pasar telah menentukan pilihan-pilihan dengan mendikte nafsu-selera anggota keluarga, seperti makanan, pakaian, dan aksesoris penampilan lainnya, yang secara umum di luar batas kebutuhan biologis, bahkan cenderung tidak fungsional. Pada proses konsumsi sedang berlangsung telah terjadi perubahan nilai dan aturan normatif keluarga secara berkala.
Perubahan nilai dan aturan normatif tersebut telah membuat keluarga kehilangan otoritas dan juga lokasi keluarga mulai bergeser ke luar batas-batas keluarga. Kepala keluarga yang semula memiliki kekuasaan dalam mengatur sikap dan tindakan ideal yang harus diperlihatkan anggota keluarga kemudian, harus tunduk pada kekuasaan di luar keluarga. Pusat-pusat kekuasaan baru itu memberikan kekuatan kepada anggota keluarga melakukan pembangkangan terhadap nilai-nilai dan aturan keluarga yang telah mapan. Jadi, keluarga tidak hanya berhadapan dengan negara, tetapi juga terlibat dalam jaringan yang lebih luas dan kompleks dengan melibatkan pasar. Malahan Abdullah (2006:158) menegaskan, relasi antara state, market, dan society inilah yang menjadi basis ideologi bagi praktik-praktik sosial yang mendefinisikan keluarga sebagai lokasi konsumsi. Keluarga bukan lagi sekadar tempat berbagai program pemerintah dijalankan, tetapi beragam program pasar yang melibatkan anggota keluarga dalam proses konsumsi massal. Pada gilirannya, keluarga menjadi objek atas nilai-nilai yang dibentuk pasar yang memberikan kekuatan individual untuk menegosiasikan nilai-nilai dan keabsahan suatu tindakan karena pasar memberikan pilihan baru. Misalnya, model berpakaian yang ditawarkan pasar sangat potensial menggugat nilai kesopanan yang ditanamkan dalam keluarga.
Kemajuan industri dalam berbagai mode produksi baru telah melahirkan diferensiasi nilai dan norma sehingga komunalisme diragukan dalam penataan sosial. Nilai-nilai tidak lagi dikonstruksikan dengan harmoni, tetapi dengan serangkaian negosiasi yang melibatkan agen yang berbeda. Proses semacam ini bisa berlangsung karena ikatan-ikatan tradisional mulai runtuh. Kepemimpinan tradisional dan jaring-jaring otoritas yang melemah kemudian, menyebabkan prinsip-prinsip kekuasaan dan kontrol diatur oleh pertimbangan-pertimbangan rasional dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai mulai dinegosiasikan dalam keluarga secara lebih terbuka sehingga nilai keluarga bukan lagi ditentukan oleh orang tua, ayah-ibu. Hubungan antargenerasi kemudian, terjadi dalam bentuk dialektis yang menjadi dasar bagi pembentukan karakter keluarga. Kekuasaan mulai terpecah dan otoritas orang tua dalam proses pengambilan keputusan mulai terbatas. Lemahnya otoritas orang tua dan hilangnya fungsi tradisional keluarga sejalan dengan semakin tingginya mobilitas pekerjaan dan intensipnya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Komunikasi antaranggota keluarga tidak lagi dilakukan dalam suasana komune sehingga relasi keluarga kering dari rasa-manusia karena keduanya berlangsung lewat handpone dan tergesa-gesa. Model komunikasi seperti ini mempengaruhi cara kerja dan nilai-nilai yang melekat sangat mempengaruhi ritme kehidupan dan pembentukan norma. Akhirnya secara perlahan, namun pasti terjadi proses dehumanisasi, manusia semakin terasing dari rasa-diri manusia, sebuah kondisi yang telah menjadi suatu mode pembicaraan tentang dampak teknologi yang melahirkan keterasingan (Schoorl, 1991; Goode, 2004; Abdullah, 2006).
Selain karena tekanan politik dan intervensi pasar, hilangnya kekuatan keluarga juga disebabkan oleh semakin tingginya tingkat mobilitas anggota keluarga. Mobilitas ini tidak jarang disebabkan oleh tuntutan dunia pekerjaan karena spesifikasi kehidupan yang melahirkan beragam profesi mendorong anggota keluarga melakukan pilihan-pilihan pekerjaan yang cenderung berada di luar lingkungan keluarga. Ketika anggota keluarga mulai terlibat di luar lingkungan keluarga, baik permanen maupun temporer menurut Abdullah (2006:161) unsur-unsur yang menjadi penyusun dan pengikat keluarga tidak mudah dilestarikan. Kepentingan-kepentingan keluarga telah dikalahkan oleh kepentingan pekerjaan di luar rumah, bahkan intensitas pekerjaan menarik anggota keluarga untuk tinggal di luar rumah. Dalam situasi ketika keluarga terkontaminasi dunia luar, seperti dunia politik dan pasar termasuk pekerjaan yang memaksakan kepatuhan-kepatuhan atas nilai telah menyebabkan keluarga sebagai intitusi semakin melemah. Keluarga tidak dapat lagi melaksanakan azas-azas kepatutan dan keadilan sosial serta tidak dapat mempertahankan nilai-nilai generik dalam keluarga. Keluarga tidak dapat dijadikan tempat yang nyaman untuk memecahkan setiap gejolak yang dialami anggotanya dan bukan lagi menjadi tempat melegakan untuk membenamkan segala kegelisahan dan kegalauan sosial. Pada gilirannya bisa diterima bahwa keluarga memang bukan lagi menjadi simbol kenyamanan dan ketenteraman, seperti dipahami generasi masa lalu, dalam lingkungan kebudayaan tradisional. Perubahan posisi dan relasi keluarga ini lebih disebabkan oleh tekanan politik, intervensi pasar, dan tuntutan pekerjaan.

Keluarga Ideal itu Akar Moralitas
Ketika keluarga kehilangan emosional dan cita rasa kemanusiaan maka otonomi manusia memang patut dikembalikan kepada harkat dan martabatnya. Otonomi manusia tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakini sendiri sebagai kewajibannya. Kebebasan mengakui norma-norma inilah dimensi moralitas manusia. Mungkin dapat dikatakan, bukan saja moralitas merupakan suatu dimensi nyata dalam hidup setiap manusia, baik pada tahapan perorangan maupun pada tahapan sosial, namun juga harus dikatakan bahwa moralitas hanya terdapat pada manusia. Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan dilarang atau tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas dilakukan (Bertens, 2002:6). Artinya, ketika anggota keluarga menerima norma-norma keluarga sebagai kewajiban maka keluarga tersebut telah menjadi keluarga ideal. Keluarga ideal adalah tempat anggota keluarga menjalankan kewajiban moralnya, kesadaran tentang yang harus dilakukan dan yang pantas dilakukan atas nama, dari, dan untuk keluarga. Interaksi antarkesadaran inilah yang dimaksudkan dengan keluarga ideal, akar moralitas generasi muda.
Perlu ditegaskan bahwa pembicaraan ini tidak maksudkan sebagai upaya revitalisasi keluarga karena keluarga mungkin sudah digantikan oleh institusi-institusi lain. Walaupun begitu, mungkin bisa diterima bahwa fungsi keluarga masih substansial dan potensi yang dimilikinya dapat menjadi dasar yang cukup kuat untuk merancang sebuah model keluarga ideal. Model sebuah keluarga yang menjadi sumber moralitas dan mengalirkannya ke tengah-tengah samudera kehidupan sosial. Dengannya keluarga dapat memberikan kehidupan yang lebih baik, bukan hanya bagi keluarga itu sendiri, tetapi juga bagi komunitas dan masyarakat tempat keluarga itu menjadi bagian integralnya. Rupanya masih penting dan relevan diketengahkan pesan dalam berlalu lintas, “sopan di rumah dan tertib di jalan raya” karena pesan ini berisi himbauan moral bagi keselamatan semua pengendara. Di jalan raya misalnya, pengendara berubah menjadi “setan” jalanan, berebut kesempatan menyalip tanpa aturan, bahkan dapat mencelakakan pengendara lainnya. Jalan raya telah menyediakan tempat, di mana pengendara kendaraan memiliki kesempatan menunjukkan kemanusiaannya dan kesetanannya yang selama ini tersembunyi. Ini berarti masih penting dan relevan memelihara sopan-santun dalam keluarga untuk mewujudkan generasi muda bermoral.
Keluarga bukan institusi yang statis tanpa mengalami perubahan, tetapi senantiasa mengalami dinamika dalam proses adaptasinya. Oleh karena itu bukan tindakan bijaksana, bila memikirkan untuk mengembalikan keluarga ke dalam bentuknya semula. Pembicaraan ini memang tidak sedang mengimpikan dan mengigau untuk merindukan sebuah harmoni, seperti didemontrasikan oleh keluarga pada masa lalu. Akan tetapi menggunakan pencapaian luhur generasi masa lalu bagi penataan keluarga pada masa kini sehingga melalui jejak-jejak sejarah kecerahan masa depan dapat diidolakan. Dalam konteks ini Abdullah (2006:164) menegaskan bahwa yang diperlukan sekarang ini adalah upaya memformat ulang keluarga dan memfungsikannya sesuai dengan zaman dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Pikiran memformat ulang institusi keluarga ini, tiada lain adalah upaya membangun interaksi kesadaran anggota keluarga inheren dalam perkembangan zaman. Mengingat kesadaran manusia sendiri ditentukan oleh pengetahuannya tentang zaman itu sendiri. Ini berarti harmoni keluarga, bukanlah kondisi yang baku dan kaku, melainkan senantiasa dinegosiasikan bagi kemuliaan setiap generasi.
Kemuliaan moralitas generasi muda Hindu memang seharusnya berakar dalam keluarga yang sistem nilainya sungguh-sungguh dibangun berdasarkan prinsip Dharma. Dharma yang menurut Radhakrishnan (2003) sebagai seluruh tugas manusia berdasarkan catur purusha artha (empat tujuan kehidupan), catur varna (empat kelompok lapisan sosial), dan catur asrama (empat tingkatan kehidupan). Dharma sebagai realisasi kehormatan manusiawi, kehidupan sosial tempat generasi muda mengenal hak anggota masyarakat untuk hidup, bekerja, dan berkembang. Tempat generasi muda mencapai suasana kesempurnaan dan kemurnian kehidupan yang mengantarkannya kepada kelimpahan material, moral, dan intelektual sesuai dengan kebaikan semua orang. Dharma yang dalam Perda Provinsi Bali tentang Desa Pakraman menjadi landasan bagi tatanan kemasyarakatan yang diatur dengan tertib berdasarkan prinsip harmoni Tri Hita Karana. Prinsip yang menuntut generasi muda senantiasa menjaga keselarasan hubungan antara dirinya dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan alam. Dengan landasan moralitas Hindu Dharma mereka bekerja dalam spirit persembahan, karena itu kerja adalah yadnya. Di sini tidak tersedia kesempatan untuk menggeser batas-batas keluarga keluar dari dimensi keluarga itu sendiri. Di dalamnya generasi muda merasa betah berbagi hati dan keprihatinan sosial untuk merancang kesepakatan tindakan sosial demi kebaikan bersama.
Kini saatnya harus diterima bahwa keluarga Hindu yang ideal memang merupakan akar moralitas generasi muda. Dengannya banjar dan desa pakraman menjadi lingkungan etis yang menggembirakan, menyediakan tempat di mana generasi muda memperoleh pengetahuan dan kesadaran moralitas. Kesadaran yang menuntun pengertian dan pemahamannya bahwa keluarga, banjar, dan desa pakraman pada prinsipnya merupakan tradisi dan lembaga sebuah masyarakat tempat kewajiban moral berakar perlu dirumuskan ulang dalam sebuah tatanan sosial yang dinamis. Tradisi dan lembaga yang memberikan pendidikan moral bagi anggota masyarakat ini, janganlah sampai tertinggal jauh di belakang kesadaran masyarakat. Dengannya pencapaian luhur generasi masa lalu tetap menjadi teladan generasi masa kini dan kemudian, dengan teladan ini generasi masa kini (generasi muda) belajar membaca ketenteraman masa depan. Inilah keluarga ideal, benteng moral yang kuat, akar moralitas generasi muda Hindu.

Penutup
Benar, pembicaraan ini memang ditujukan pada terwujudnya generasi muda Hindu yang bermoral melalui sebuah keluarga ideal, sebuah keluarga yang merupakan interaksi kesadaran dharma. Kesadaran ini hanya mungkin dibentuk melalui pengetahuan tentang dharma, karena itu yang diperlukan generasi muda adalah kajian-kajian tentang Hindu Dharma. Selain di sekolah, pendalaman ajaran dharma, juga dapat ditanamkan di dalam keluarga dan sekaa teruna di tingkat banjar. Fakta menunjukkan bahwa tradisi Hindu Dharma tidak melawan perubahan, bahkan digunakan sebagai sarana untuk menangani ruang dan waktu dengan memasukkan segala pengalaman dalam keberlanjutan masa lalu, masa kini, dan masa depan yang distrukturkan oleh praktik-praktik sosial yang sedang berlangsung. Di sini generasi muda yang bermoral Hindu menjadi penting, apalagi ketika mereka harus mengambil peran sebagai ahli waris dan pewaris tradisi Hindu Dharma. Tanggung jawab ini sebaiknya ditangani mulai dari keluarga, kemudian sekolah, dan seterusnya masyarakat sesuai dengan tiga pusat pendidikan. Generasi muda harus menemukan ulang tradisinya ketika hendak mengambil alih warisan budaya dari pendahulunya karena pewarisan nilai tidak dimungkinkan tanpa melalui proses pembelajaran. Pengalaman belajar inilah upaya merangkai masa lalu, masa kini, dan masa depan agar keluarga, komunitas, dan masyarakat selalu selaras dengan nilai agamanya.
Akan tetapi gelombang perubahan zaman dalam berbagai varisasi dan variannya telah mendorong keluarga dan masyarakat luas harus mengikutinya. Perubahan karakter masyarakat yang ditandai semakin lemahnya ikatan-ikatan tradisional merupakan peristiwa pengenduran moralitas di bawah tekanan semakin kuatnya rasionalitas. Pada saat bersamaan individu memiliki otonomi yang lebih besar, karena itu minat individual sedang mendapat ruang yang lebih luas dalam berekspresi. Keluarga tradisional benar-benar runtuh dan harus tunduk kepada kekuatan kekuasaan yang berada di luar dirinya. Akan tetapi kodrat manusia bukanlah menyerahkan nasibnya kepada kekuatan yang berada di luar dirinya. Manusia memiliki kekuatan akal dan kemampuan budi serta penalaran yang memadai sehingga hasrat manusiawi dapat menjadi alat yang menjadikan sesuatu yang ideal bisa terwujud. Hasrat untuk mewujudkan keluarga ideal sebagai akar moralitas generasi muda merupakan kesadaran ilahi. Dunia yang ditinggali manusia menurut Radhakrishnan (2003:72), bukan sebuah kekeliruan, bukan tempat manusia kebingungan dan tersesat, melainkan arena evolusi spiritual yang dengannya kesadaran ilahi dapat dimanifestasikan. Kemajuan spiritual menuju kesadaran yang jauh lebih agung daripada pikiran manusia adalah suatu manifestasi dari aktivitas ilahi itu sendiri. Dengannya kehidupan manusia tidak boleh dianggap tidak bernilai. Menjadikan hidup dan kehidupan lebih bernilai merupakan undangan kepada Anda; dan “keberanian” memenuhinya membuktikan Anda, generasi muda bermoral Dharma.


Daftar Bacaan

Abdullah, Irwan, 2006, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abraham, Francis M, 1991, Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Alan, woods dan Ted Grant, 2006, Reason In Revolt: Revolusi berpikir dalam ilmu pengetahuan modern, Yogyakarta: Ire Press.

Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Brinton, Crane. 1981. Pembentukan Pemikiran Modern. Jakarta: Mutiara.

Brower, Maw. 1976. Bapak Ibu Dengarlah: Bunga Rampai Masalah Keluarga. Jakarta: PT. Gramedia.

Bruce, Steve. 2000. Fundamentalisme: Pertautan Sikap Keberagamaan dan Modernitas. Jakarta: Erlangga.

Casanova, Jose. 2003. Agama Publik Di Dunia Modern: Public Religion in the Modern World. Surabaya: Pustaka Eureka; Malang: ReSIST, dan Yogyakarta: LPIP.

Dormer, Peter. 2008. Makna Desain Modern: Budaya Material, Konsumeisme, (Peng)Gaya(an). Yogyakarta: Jalasutra.

Fakih, Mansour, 2007, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony, 2005, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Goode, William J. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

Gunarsa & Gunarsa, Singgih. 1979. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hazlitt, Henry, 2003, Dasar-dasar Moralitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Perquin, Russen, Carp. 1981. Pendidikan Keluarga dan Masalah Kewibawaan. Bandung: Jenmars.

Poedjawijatna, 1996, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta: Rineka Cipta.

Praja, Juhaya S., 2003, Aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Prenada Media.

Rachels, James, 2004, Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius.

Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

Salam, Burhanuddin H., 2000, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, Jakarta: Rineka Cipta.

Schoorl, JW, 1991, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sponville, Andre Comte, 2006, Spiritualitas Tanpa Tuhan, Jakarta: Pustaka Alvabet.

Suhanadji-Waspodo TS, 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif Global. Malang: Insan Cendekia.

Suhartin C, R.I. 1980. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Bhratara.

Teichman, Jenny, 1998, Etika Sosial, Yogyakarta: Kanisius.
* Makalah disajikan pada Kegiatan Pembinaan Sekaa Teruna yang diselenggarakan oleh Departemen Agama Kantor Kota Denpasar di Denpasar pada tanggal 7 – 9 Agustus 2009.

BALI PUSEH

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Bumi Rumah Kita

  Membaca Ulang Wasudewa Kutumbakam   I   W a y a n   S u k a r m a   Bumi adalah rumah kita bersama. Dunia adalah keluarga kita...